
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah
Disusun Oleh :
Ali Anwar
NIM : 1400018020
PROGRAM
MAGISTER STUDI ISLAM
PROGRAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
/ 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada
masa permulaan Islam, para sahabat tidak begitu merasakan adanya sesuatu yang
asing dalam perkataan Rasulullah SAW. Kerana pada masa itu, bangsa arab berada
pada puncak kemajuan dalam bahasa mereka. Namun tidak
demikian dengan umat sesudah mereka bahkan setelah masuknya bangsa selain arab
ke agama Islam. Percampuran “ajam” dengan bangsa arab menjadi salah satu
penyebab utama banyaknya didapati kata-kata yang asing dalam hadits tersebut.
Begitulah dari masa ke semasa sehingga dirasakan betapa pentingnya memahami
lafaz-lafaz yang asing ini. Oleh itu, banyak dikalangan ulama yang menulis dan
menjelaskan makna dari kata-kata yang asing, bahkan menjelaskan semua isi
kandungan hadits. Ulama hadits dan bahasa arab mulai menyumbang karya dalam
berkhidmat kepada ilmu ini pada akhir abad ke dua dan awal abad ke tiga Hijrah.
Hadits yang merupakan sumber ajaran Islam
pertama setelah Al-Qur’an maka dari itu dalam memahami hadis
sebagai warisan Nabi saw. haruslah menyeluruh dan universal. Menyeluruh dalam
artian memahami hadits secara benar, sedang universal berarti tidak
meninggalkan satu lafazh pun dalam menelaahnya. Terkait dengan memahami secara
menyeluruh dan universal di era kini akan terbentur dengan pemahaman bahasa
yang tentunya berkembang sebanding dengan perkembangan peradaban manusia itu
sendiri.
|
Dari uraian di atas maka pemakalah ingin membahas tentang Ilmu Gharib
al-Hadits.
B.
Rumusan Masalah
Bertitik dari latar belakang di atas maka rumusan masalahnyasebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Ilmu gharib al-Hadits dan bagaimana
sejarahnya?
2. Bagaimana cara menginterprestasikan gharib al-Hadits ?
|
PEMBAHASAN
A.
|
Secara bahasa :
ترددت عبارات علماءاللغة في معنى الغريب بين الغياب والبعد والغموض والخفاء
Ahli bahasa mengungkapkan
makna gharib yaitu adanya rasa keterasingan antara yang tersembunyi dan
jarak, misteri dan rahasia. (Ibn Kutaibah, 1977:22)
Imam az-Zamakhsyari
menta’rifkan:
تكلم فأغرب إذ جاء بغرائب الكلم ونودره ، تقول : فلا يغرب كلمه و يغرب فيه وفي كلمه غرابة ، وقد
غربت هذه الكلمة اي غمضت وخفيت فهي غربة ومنه مصنف الغريب
Apabila kamu berbicara gharib
dengan ada kata aneh pada suatu kata, kamu berkata : tidak tesimpan kata gharib pada kata
ini, kata ini telah ditetapkan, sesungguhnya penetapan kata yang ambigu dan
rahasia itu ditetapkan oleh pengarang (kitab,bahwa kata ini) gharib.
Sedangkan Ilmu Gharib
al-hadits menurut Istilah yaitu:
Nuruddin ‘Itr menta’rifkan :
علم يعرف به ما وقع في متون
الأحاديث من الألفاظ مضةالبعدة عن الفهم
“Ilmu pengetahuan untuk
mengetahui lafazhh-lafazhh dalam matan hadis yang sulit lagi sukar difahamkan.
Ilmu Gharib al-Hadits, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَاوَقَعَ فى متون
اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلأَلْفَاظِ الْعَرَبِيَّةِ عَنْ أَذْهَانِ الَّذِيْنَ
بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِالْعَرَبِيَّةِ الْخَالِصَةِ .
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat
yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang
terpakai oleh umum”. (Soetari, 1997:209)
هو ما وقع في
متن الحديث من لفظة غامضة بعيدة من الفهم لقلة استعمالها.
“apa-apa yang ada dalam matan hadits
dari lafizh samar yang jauh dari
pemahaman karena sedikit penggunaannya”. (Thahan, 1985:135)
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa objek yang menjadi kajian ilmu Gharib al-Hadits terfokus pada matan
hadits bukan sanadnya. Mencakup kalimat-kalimat asing yang artinya tidak
diketahui karena jarang digunakan dalam percakapan juga pada kalimat yang sukar
dipahami. Sehingga bisa mengurangi kecenderungan untuk menafsirkan dengan
menduga-duga dan mentaqlidi pendapat seseorang yang bukan ahlinya.
Dalam hal ini Imam Ahmad pernah ditanya
oleh seseorang tentang arti suatu lafazh gharib yang terdapat dalam sebuah
matan Hadis, tetapi karena beliau merasa tidak mampu, lalu dia menjawab “tanyakanlah
kepada seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidang gharib al-Hadis, karena
aku tak pernah mempertanyakan sabda Rasulullah saw dengan purbasangka”.
Karena sangat hati-hatinya, Al-Ashmu’iy di kala ditanya oleh seseorang tentang
arti Hadis yang berbunyi الجارأحقَ بسقبه “tetangga itu lebih berhak untuk
didekati”. Mengatakan : saya enggan menafsirkan sabda Rasulullah ini,
tetapi orang-orang Arab menyangka, bahwa lafazh “ ِal-saqb”
itu artinya al-laziq (orang yang berdempetan tempat tinggalnya). (Rahman,
1968:281)
B.
Sejarah
Munculnya Ilmu Gharib al-Hadits
Rasulullah saw.
adalah orang yang terfasih lisannya, sehingga apabila beliau menyampaikan
sesuatau kepada sahabat, mereka dapat memahami apa yang telah disampaikannya.
Apabila ada lafazh yang tidak dimengertinya mereka langsung menanyakan kepada
Nabi.
Pada masa sahabat ini, lisan orang Arab
terlindung dari cela dan tidak bercampur dengan lisan `ajamya hingga sampai
masa penaklukan. Yakni dengan banyaknya masuk orang-orang `ajam, mereka membaur
bersama orang-orang Arab hingga saling menikahi, maka tumbuhlah suku bangsa dan
bercampurlah lisan ajamnya, mereka mengetahui lisan yang tidak semestinya dalam
pembicaraan mereka. Kemudian sedikit demi sedikit setelah masa tabiin, dan
seterusnya keadaan lisan arab menjadi ajam, sulitlah bagi manusia memahami sejumlah
lafazh-lafazh hadits Nabi.
Berawal dari masa inilah, timbul
lafazh-lafazh gharib dalam hadis. Di samping itu suatu faktor yang
sangat menunjang seputar kemunculan lafazh-lafazh gharib adalah adanya
periwayatan hadits secara makna. Muhammad Thahir al-Jawwabi menyebutkan, bahwa
Rasul dalam menyampaikan hadits berhadapan dengan berbagai suku yang memiliki
bahasa dan hafalan yang berbeda, mereka ada yang tidak menghafal hadits, tapi
menghubungkan maknanya dengan kemampuan intelektual yang mereka miliki kemudian
mengaitkan bahasanya, maka terhimpunlah hadits-hadits dalam pengertian yang
sama namun dengan lafazh-lafazh yang berbeda.
Menyadari kondisi seperti ini,
timbullah inisiatif para ulama membuat suatu panduan untuk menjelaskan kembali
berbagai lahjah yang pernah dipergunakan rasul kepada beragatn qabilah dan
suku-suku Arab. Sebab kalau tidak demikian, pemahaman terhadap hadits akan
semakin jauh dari maksud yang dikandung hadits itu sendiri.
Adapun ulama yang pertama menghimpun lafazh-lafazh gharib
al-¬hadits adalah Abu Ubaidah Ma'mar bin al-Mutsanna al-tamimy (w.210H),
kemudian Abu al-Hasan al-Nadhr bin Syumail al-Maziny (w.204H), kemudian
Muhammad al-Mustanir (yang lebiih populer dengan Quthrttb) (w.206H), kemudian
Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w.226H), Kemudian Abu Abdullah Muhammad bin
Muslim bin qutaibah al-Dainawari (w.276H) yang mengarang kitab "Gharih
al-Hadits", kemudian lbrahim al-Harby (w.285H), kemudian Abu Sulaiman Hamad
al¬-Khattaby (w.278H), kemudian Ahmad bin Muhammad al-Harawy (w.401 H),
Kemudian Abu al-qasitn Mahtnud bin Amr al-Zamakhsyari (w.537H) dengan kitabnya
"Al-Faiq Gharih al-Hadits", Kemudian Abu Musa Muhammad bin Abi Bakar
al-Madiny al-Asfahany (w.581 H), kemudian Abu al-Faraj IN al-Jauzy (w.594H),
kemudian Muhammad al-Syaibani yang lebih dikenal dengan Ibn Atsir (w.606H)
dengan karya menumentalnya "al-Nihayah Gharib al-Hadits", dan oleh
Jalal al-Din al-Syuyuthi (w.91 I H) meringkas kembali kitab al-Nihayah Ibn
Atsir yang diberinya nama dengan "al-Dur al-Natsir”. (Soetari, 1997:209)
Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa
promoter ilmu gharib hadits adalah Abu-Hasan An-Nadlr bin Syamil Al-Mazini,
seorang ulama ilmu nahwu, yang meninggal pada tahun 240 H. Ia adalah seorang
guru dari Imam Ishaq bin Rawaih. (Rahman,
1987:325)
C. Cara-Cara
Menginterpretasikan
Adapun
cara menginterprestasikan hadits sebagai berikut:
a. Dengan
menggunakan sanad yang berbeda dengan sanad yang bermatan gharib tersebut.
b. Melalui
penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadits atau dari sahabat lain yang
tidak meriwayatkannya.
c. Penjelasan
dari perawi selain sahabat.
Berikut
contoh hadits gharib:
1.
Contoh
penjelasan dari sahabat lain yang tidak meriwayatkan hadits. Hadits ini
diriwayatkan oleh Imran bin Husain, kemudian dijelaskan oleh Ali bin Abi Tholib
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ - رضى الله عنه - قَالَ كَانَتْ بِى بَوَاسِيرُ
فَسَأَلْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ :
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ
فَعَلَى جَنْب. [رواه البخارى]
“Diriwayatkan dari Imran bin Husein ra., ia berkata; ”Saya menderita
penyakit wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw., maka beliau
menjawab: “Shalatlah kamu sambil duduk. Jika tidak mampu (duduk), maka
hendaklah shalat di atas lambung (sambil berbaring).” [HR. al-Bukhari]
Dalam hadits di atas pada lafadz جَنْب على adalah
lafadz yang gharib. Menurut uraian Nuruddin Itr
dalam kitab Manhajun Naqdi fii ulum al-hadits. Untuk mendapatkan penafsiran yang tepat hadits tersebut di jelaskan lagi oleh Ali
bin Abi Thalib bahwa yang dimaksud جَنْب على bermakna على جنبه الايمن مستقبل القبلة بوجهه. Di atas lambungnya sebelah kanan dengan menghadapkan ke kiblat wajahnya. ( ‘Itr, 1972:332)
2.
Contoh penjelasan hadits dari perawi selain
sahabat yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah tentang keutamaan mandi di
hari jum’ah.
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ
يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa mandi pada hari jumat sebagaimana mandi janabah,
lalu berangkat menuju masjid, maka dia seolah berkurban dengan seekor unta.
Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kedua maka dia seolah berkurban
dengan seekor sapi. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) ketiga maka
dia seolah berkurban dengan seekor kambing yang bertanduk. Barangsiapa yang
datang pada kesempatan (waktu) keempat maka dia seolah berkurban dengan seekor
ayam. Dan barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kelima maka dia
seolah berkurban dengan sebutir telur. Dan apabila imam sudah keluar (untuk
memberi khuthbah), maka para malaikat hadir mendengarkan dzikir (khuthbah
tersebut).” (HR. Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850)
Yang menjadi perhatian untuk lafazh
dalam hadits di atas yaitu pada lafal بَدَنَةً berarti unta atau sapi. Para ulama berkata bahwa yang di maksud
kalimat itu dalam hadis ini adalah unta. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadis
yang di riwayatkan dalam Mushannaf Abdurrozaq dengan redaksi:
فله
من الآجر مثل الجزور
“maka ia akan mendapat pahala semisal unta”
Kalimat ini merupakan penafsiran terhadap lafal بَدَنَةً.
3.
Contoh matan hadis gharib
yang ditafsirkan dengan hadis yang bersanad lain, seperti sebuah Hadis
Muttafaq’alaih yang diriwayatkan oleh ibnu ‘Umar:
...قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيئًا
قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ هُوَ الدُّخُّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اخْسَأْ فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ..
“Nabi Muhammad saw bersabda : “ saya menyimpan sesuatu untukmu, apa itu?
“Sahut ibnu Shayyad. Asap”. kata Nabi saw “ salah!” “ kamu tidak akan secepat
fikiranmu”. (H.R. Al-Bukhari).
Lafad الدُّخُّ dalam hadis tersebut
adalah lafadh yang gharib. Menurut uraian yang dikemukakan oleh
al-Jauhari, lafadh الدُّخُّ tersebut berarti asap (
menurut pengertian bahasa), tetapi menurut pengertian lain berarti
tumbuh-tumbuhan, bahkan sebagian orang mengartikan dengan jima. Untuk
mendapatkan penafsiran yang tepat, kita berusaha mencari sanad selain sanad
Al-Bukhari. Ternyata di dapat dalam pen-takhrij-an Sunan Abu Daud dan Sunan
At-Turmudzi yang bersanad az-Zuhri, salim dan Ibnu ‘Umar r.a. memberikan
penafsiran terhadap ke-gharib-an hadis : kata ibnu ‘Umar r.a. :
...قال النبى صلى الله عليه وسلم خبأله ( يوم تأتى السَماء
بدخان مبين ) فأدرك ابن صيَاد البعض على عادة الكهَان فىي ختطاف بعض الشَيء من
الشَياطين من غير وقوف على تمام البيان ، هو الدَخ...
....suatu ketika Nabi saw. Menyembunyikan sesuatu untuk ibnu shayyad,
nabi berkata “ tunggulah sampai langit mengepul asapnya yang nyata “. Lalu ibnu
shayyad mendapat suatu alat yang biasa dipakai oleh tukang tenun untuk mendapat
sesuatu dengan perantara setan-setan,
dan tanpa berpikir pangjang ia menjawab itulah asap...dengan bantuan dari
hadis Sunan Abu Daud dan Sunan at-Turmudzi tersebut, maka lafad الدَخ
maknanya adalah asap. (Rahman, 1987:323)
Sholahudin dalam buku Ulumul Hadits menyebutkan beberapa kitab yang terkenal dalam masalah
ini diantaranya:
1.
Kitab Gharibul-Hadits, karya
Abul-Hasan An-Nadlr bin Syumail Al-Mazini (wafat 203 H), salah satu guru Ishaq
bin Rahawaih, guru Imam Bukhari.
2.
Kitab Gharibul-Atsar, karya Muhammad
bin Al-Mustanir (wafat 206 H).
3.
Kitab Gharibul-Hadits, karya Abu
‘Ubaid Al-Qasim bin Salam (wafat 224 H).
4.
Kitab Al-Musytabah minal- Hadits
wal-Qur’an, karya Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainuri
(wafat 276 H).
5.
Kitab Gharibul-Hadits, karya Qasim
bin Tsabit bin Hazm Sirqisthi (wafat 302 H).
6.
Kitab Gharibul-Hadits, karya Abu
Bakar Muhammad bin Al- Qasim Al-Anbari (wafat 328 H).
7.
Kitab Gharibul-Qur’an wal- Hadits,
karya Abu ‘Ubaid Al- Harawi Ahmad bin Muhammad (wafat 401 H).
8.
Kitab Smathuts-Tsurayya fii Ma’ani
Ghariibil-Hadits, karya Abul-Qasim Isma’il bin Hasan bin At-Tazi Al-Baihaqi
(wafat 402 H).
9.
Kitab Majma’ Gharaaib fii
Gharibil-Hadits, karya Abul-Hasan Abdul-Ghafir bin Isma’il bin Abdul- Ghafir
Al-Farisi (wafat 529 H).
10. Kitab
Al-Fa’iq fii Gharibil- Hadits, karya Abul-Qasim Jarullah Mahmud bin ‘Umar bin
Muhammad Az-Zamakhsyari (wafat 538 H).
11. Kitab
Al-Mughits fii Gharibil- Qur’an wal-Hadits, karya Abu Musa Muhammad bin Abi
Bakar Al-Madini Al-Asfahani (wafat 581 H).
12. Kitab
An-Nihayah fii Gharibil- Hadits wal-Atsar, karya Imam Majdudin Abu Sa’adat
Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari Ibnul- Atsir (wafat 606 H).
Upaya baik para ulama dalam
pembukuan dan penjelasan gharibul-hadits ini berakhir pada Ibnul-Atsir. Dalam
menyusun buku, dia berpedoman pada kitab Gharibul-Qur’an wal-Hadits karya
Al-Harawi dan kitab Al- Mughits fii Ghariibil-Qur’an wal- Hadits karya Abu Musa
Muhammad bin Abi Bakar Al- Madini.
Dan belum diketahui ada orang yang
melakukan upaya penyusunan gharibul-hadits setelah ibnul-Atsir kecuali Ibnu
Hajib (wafat 646 H). Setelah itu, upaya para ulama hanya sebatas pada memberi
lampiran dan ikhtishar, atau meringkas terhadap kitab An-Nihayah.
Di antara ulama yang memberi
lampiran pada kitab tersebut adalah Shafiyyuddin Mahmud bin Abi Bakar Al-Armawi
(wafat 723 H). Dan diantara yang melakukan ikhtishar adalah : Syaikh Ali bin
Husamuddin Al-Hindi, yang dikenal dengan nama Al-Muttaqi (wafat 975 H), ‘Isa
bin Muhammad Ash- Shafawi (wafat 953 H) kira-kira mendekati setengah ukuran
kitab, dan Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) yang mukhtasharnya dinamakan Ad-
Durrun-Natsir Talkhis Nihayah Ibnul-Atsir.
Pada mulanya kitab Ad-Durrun- Natsir
dicetak sebagai hamisy atau catatan pinggir pada kitab An-Nihayah. Namun
kemudian As- Suyuthi mempunyai inisiatif untuk memisahkan tambahan terhadap
kitab tersebut, dan diberi nama At-Tadzyil a’laa Nihayah Al- Gharib.
Kitab Nihayah juga disusun dalam
bentuk syair oleh Imaduddin Abul-Fida’ Isma’il bin Muhammad Al-Ba’labaki
Al-Hanbali (wafat 785 H) dengan nama Al-Kifayah fii Nudhum An-Nihayah.
Ibnul-Atsir telah mengatur kitabnya
An-Nihayah berdasarkan urutan huruf hijaiyyah, dan dicetak terakhir kalinya
dengan diteliti dan diperiksa oleh Thahir Ahmad Az- Zawi danMahmud Muhammad
Ath-Thanahi sebanyak lima jilid, dan diterbitkan oleh Pustaka Daar Ihya
Al-Kutub Al-’Arabiyyah, ‘Isa Al-Babi Al-Halabi dan rekannya di Mesir.
Ibnul-Atsir menyusun kitabnya
An-Nihayah berpedoman pada kitab Al-Harawi dan Abu Musa Al- Madini, yaitu
dengan memberi tanda atau rumus (ha’) jika mengambil dari kitab Al-Harawi, dan
tanda atau rumus huruf (sin) jika mengambil dari kitab Abu Musa. Adapun selain
dari kedua kitab tersebut dibiarkan tanpa tanda apapun, untuk membedakan mana
yang dari kedua kitab tersebut dan mana yang dari kitab yang lain.
BAB III
|
A.
Kesimpulan
Ilmu gahrib al-hadits adalah ilmu yang
membahas tentang matan hadits yang sulit dan sukar untuk difahami sehingga
membutuhkan keahlian yang khusus untuk memahaminya.
Objek dari ilmu gharibil hadist adalah
kata-kata yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami maksudnya.
Sebagian ulama berbeda pendapat terkait siapa promotor atau
perintis pertama ilmu gharib al-hadist. Golongan para muhaditsin menganggap
bahywa perintis ilmu gharib al-hadis adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsana
at-Taimy. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perintis pertama
ilmu ini adalah Abu Hasan an-Nadrl bin Syamil al Maziny.
|
|
‘Itr, Nuruddin. 1972. Manhaj
An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits, Dar al-Fikr, Damaskus
Agus
Solahudin dan Agus Suyadi, (2009), Ulumul Hadits, Bandung, Pustaka Setia.
Al-Zamaksari
Mahmud bin Umar, 1993. Al-Faiq fii Gharib al-Hadits, Beirut-Libanon : Dar al-Fikr.
Ath-Than, Mahmud. 1979. Taisir Musthalahul Hadits, Beirut: Dar
Al_Qur’an Al-Karim
Ibnu, Qutaibah 1977. Ghorib Al Hadits, Mutbi’atul’Ani. Bagdad
Imam Majduddin Abi Sa’adati al-Mubarrak
bin Muhammad al-juzari Ibnu al-Atsir, An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal atsr, Beirut-Libanon : Dar al-Fikr.
Muhammad
‘ajaj Al-Khathib, 1998, Ushul Al-Hadits (Pokok-pokok Ilmu Hadits). Jakarta,
Gaya Media Pratama
Rahman
Fathur, 1987, Ikhtisar Mushthalahul Hadist, Bandung, PT. Al Ma’Arif.
Subhi As
Shalih, 1995, Membahas Ilmu Ilmu Hadist, Terj Jakarta, Pustaka Firdaus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar