Minggu, 22 Januari 2017

MAKALAH GHORIB AL-HADITS



GHORIB  AL -HADITS


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


 











                                   



Disusun Oleh :

Ali Anwar
NIM : 1400018020



PROGRAM MAGISTER STUDI ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015 / 2016
 


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pada masa permulaan Islam, para sahabat tidak begitu merasakan adanya sesuatu yang asing dalam perkataan Rasulullah SAW. Kerana pada masa itu, bangsa arab berada pada puncak kemajuan dalam bahasa mereka. Namun tidak demikian dengan umat sesudah mereka bahkan setelah masuknya bangsa selain arab ke agama Islam. Percampuran “ajam” dengan bangsa arab menjadi salah satu penyebab utama banyaknya didapati kata-kata yang asing dalam hadits tersebut. Begitulah dari masa ke semasa sehingga dirasakan betapa pentingnya memahami lafaz-lafaz yang asing ini. Oleh itu, banyak dikalangan ulama yang menulis dan menjelaskan makna dari kata-kata yang asing, bahkan menjelaskan semua isi kandungan hadits. Ulama hadits dan bahasa arab mulai menyumbang karya dalam berkhidmat kepada ilmu ini pada akhir abad ke dua dan awal abad ke tiga Hijrah.
Hadits yang merupakan sumber ajaran Islam pertama setelah Al-Qur’an maka dari itu dalam memahami hadis sebagai warisan Nabi saw. haruslah menyeluruh dan universal. Menyeluruh dalam artian memahami hadits secara benar, sedang universal berarti tidak meninggalkan satu lafazh pun dalam menelaahnya. Terkait dengan memahami secara menyeluruh dan universal di era kini akan terbentur dengan pemahaman bahasa yang tentunya berkembang sebanding dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri.
1
 
Seperti yang kita ketahui, awal mulanya hadits merupakan bahasa lisan kemudian berubah menjadi bahasa teks setelah terjadi proses transformasi. Hal ini menjadi pertanyaan besar apakah esensi dari bahasa yang meliputi rasa dan karsa bisa terwakili dengan bahasa teks yang pembukuannya pun tidak disaksikan oleh pelaku dan saksi-saksi kejadiannya. Berangkat dari itu, maka perlu adanya pembahasan Gharib al-Hadits sebagai upaya dalam melestarikan bahasa hadits sehingga tidak asing diterima generasi yang semakin menjahui zaman Nabi saw.
Dari uraian di atas maka pemakalah ingin membahas tentang Ilmu Gharib al-Hadits.
B.     Rumusan Masalah
Bertitik dari latar belakang di atas maka rumusan masalahnyasebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Ilmu gharib al-Hadits dan bagaimana sejarahnya?
2.      Bagaimana cara menginterprestasikan gharib al-Hadits ?

 
BAB II
PEMBAHASAN
A.   
3
 
Pengertian Gharib al-Hadits
Secara bahasa :
ترددت عبارات علماءاللغة في معنى الغريب بين الغياب والبعد والغموض والخفاء
Ahli bahasa mengungkapkan makna gharib yaitu adanya rasa keterasingan antara yang tersembunyi dan jarak, misteri dan rahasia. (Ibn Kutaibah, 1977:22)
Imam az-Zamakhsyari menta’rifkan:
تكلم فأغرب إذ جاء بغرائب الكلم ونودره ، تقول :  فلا يغرب كلمه و يغرب فيه وفي كلمه غرابة ، وقد غربت هذه الكلمة اي غمضت وخفيت فهي غربة ومنه مصنف الغريب
Apabila kamu berbicara gharib dengan ada kata aneh pada suatu kata, kamu berkata :  tidak tesimpan kata gharib pada kata ini, kata ini telah ditetapkan, sesungguhnya penetapan kata yang ambigu dan rahasia itu ditetapkan oleh pengarang (kitab,bahwa kata ini) gharib.
Sedangkan Ilmu Gharib al-hadits menurut Istilah yaitu:
Nuruddin ‘Itr menta’rifkan :
علم يعرف به ما وقع في متون الأحاديث من الألفاظ مضةالبعدة عن الفهم
“Ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafazhh-lafazhh dalam matan hadis yang sulit lagi sukar difahamkan.
Ilmu Gharib al-Hadits, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَاوَقَعَ فى متون اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلأَلْفَاظِ الْعَرَبِيَّةِ عَنْ أَذْهَانِ الَّذِيْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِالْعَرَبِيَّةِ الْخَالِصَةِ .
Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”. (Soetari, 1997:209)
هو ما وقع في متن الحديث من لفظة غامضة بعيدة من الفهم لقلة استعمالها.
apa-apa yang ada dalam matan hadits dari lafizh samar  yang jauh dari pemahaman karena sedikit penggunaannya”. (Thahan, 1985:135)
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa objek yang menjadi kajian ilmu Gharib al-Hadits terfokus pada matan hadits bukan sanadnya. Mencakup kalimat-kalimat asing yang artinya tidak diketahui karena jarang digunakan dalam percakapan juga pada kalimat yang sukar dipahami. Sehingga bisa mengurangi kecenderungan untuk menafsirkan dengan menduga-duga dan mentaqlidi pendapat seseorang yang bukan ahlinya.
Dalam hal ini Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang tentang arti suatu lafazh gharib yang terdapat dalam sebuah matan Hadis, tetapi karena beliau merasa tidak mampu, lalu dia menjawab “tanyakanlah kepada seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidang gharib al-Hadis, karena aku tak pernah mempertanyakan sabda Rasulullah saw dengan purbasangka”. Karena sangat hati-hatinya, Al-Ashmu’iy di kala ditanya oleh seseorang tentang arti Hadis yang berbunyi  الجارأحقَ بسقبه   tetangga itu lebih berhak untuk didekati”. Mengatakan : saya enggan menafsirkan sabda Rasulullah ini, tetapi orang-orang Arab menyangka, bahwa lafazh “ ِal-saqb” itu artinya al-laziq (orang yang berdempetan tempat tinggalnya). (Rahman, 1968:281)

B.     Sejarah Munculnya Ilmu Gharib al-Hadits
Rasulullah saw. adalah orang yang terfasih lisannya, sehingga apabila beliau menyampaikan sesuatau kepada sahabat, mereka dapat memahami apa yang telah disampaikannya. Apabila ada lafazh yang tidak dimengertinya mereka langsung menanyakan kepada Nabi.
Pada masa sahabat ini, lisan orang Arab terlindung dari cela dan tidak bercampur dengan lisan `ajamya hingga sampai masa penaklukan. Yakni dengan banyaknya masuk orang-orang `ajam, mereka membaur bersama orang-orang Arab hingga saling menikahi, maka tumbuhlah suku bangsa dan bercampurlah lisan ajamnya, mereka mengetahui lisan yang tidak semestinya dalam pembicaraan mereka. Kemudian sedikit demi sedikit setelah masa tabiin, dan seterusnya keadaan lisan arab menjadi ajam, sulitlah bagi manusia memahami sejumlah lafazh-lafazh hadits Nabi.
Berawal dari masa inilah, timbul lafazh-lafazh gharib dalam hadis. Di samping itu suatu faktor yang sangat menunjang seputar kemunculan lafazh-lafazh gharib adalah adanya periwayatan hadits secara makna. Muhammad Thahir al-Jawwabi menyebutkan, bahwa Rasul dalam menyampaikan hadits berhadapan dengan berbagai suku yang memiliki bahasa dan hafalan yang berbeda, mereka ada yang tidak menghafal hadits, tapi menghubungkan maknanya dengan kemampuan intelektual yang mereka miliki kemudian mengaitkan bahasanya, maka terhimpunlah hadits-hadits dalam pengertian yang sama namun dengan lafazh-lafazh yang berbeda.
Menyadari kondisi seperti ini, timbullah inisiatif para ulama membuat suatu panduan untuk menjelaskan kembali berbagai lahjah yang pernah dipergunakan rasul kepada beragatn qabilah dan suku-suku Arab. Sebab kalau tidak demikian, pemahaman terhadap hadits akan semakin jauh dari maksud yang dikandung hadits itu sendiri.
Adapun ulama yang pertama menghimpun lafazh-lafazh gharib al-¬hadits adalah Abu Ubaidah Ma'mar bin al-Mutsanna al-tamimy (w.210H), kemudian Abu al-Hasan al-Nadhr bin Syumail al-Maziny (w.204H), kemudian Muhammad al-Mustanir (yang lebiih populer dengan Quthrttb) (w.206H), kemudian Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w.226H), Kemudian Abu Abdullah Muhammad bin Muslim bin qutaibah al-Dainawari (w.276H) yang mengarang kitab "Gharih al-Hadits", kemudian lbrahim al-Harby (w.285H), kemudian Abu Sulaiman Hamad al¬-Khattaby (w.278H), kemudian Ahmad bin Muhammad al-Harawy (w.401 H), Kemudian Abu al-qasitn Mahtnud bin Amr al-Zamakhsyari (w.537H) dengan kitabnya "Al-Faiq Gharih al-Hadits", Kemudian Abu Musa Muhammad bin Abi Bakar al-Madiny al-Asfahany (w.581 H), kemudian Abu al-Faraj IN al-Jauzy (w.594H), kemudian Muhammad al-Syaibani yang lebih dikenal dengan Ibn Atsir (w.606H) dengan karya menumentalnya "al-Nihayah Gharib al-Hadits", dan oleh Jalal al-Din al-Syuyuthi (w.91 I H) meringkas kembali kitab al-Nihayah Ibn Atsir yang diberinya nama dengan "al-Dur al-Natsir”. (Soetari, 1997:209)
Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa promoter ilmu gharib hadits adalah Abu-Hasan An-Nadlr bin Syamil Al-Mazini, seorang ulama ilmu nahwu, yang meninggal pada tahun 240 H. Ia adalah seorang guru dari Imam Ishaq bin Rawaih. (Rahman, 1987:325)

C.    Cara-Cara Menginterpretasikan
Adapun cara menginterprestasikan hadits sebagai berikut:
a.       Dengan menggunakan sanad yang berbeda dengan sanad yang bermatan gharib tersebut.
b.      Melalui penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadits atau dari sahabat lain yang tidak meriwayatkannya.
c.       Penjelasan dari perawi selain sahabat.
Berikut contoh hadits gharib:
1.    Contoh penjelasan dari sahabat lain yang tidak meriwayatkan hadits. Hadits ini diriwayatkan oleh Imran bin Husain, kemudian dijelaskan oleh Ali bin Abi Tholib
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ - رضى الله عنه - قَالَ كَانَتْ بِى بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ : صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْب. [رواه البخارى]

“Diriwayatkan dari Imran bin Husein ra., ia berkata; ”Saya menderita penyakit wasir, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw., maka beliau menjawab: “Shalatlah kamu sambil duduk. Jika tidak mampu (duduk), maka hendaklah shalat di atas lambung (sambil berbaring).” [HR. al-Bukhari]
Dalam hadits di atas pada lafadz جَنْب على adalah lafadz yang gharib. Menurut uraian Nuruddin Itr dalam kitab Manhajun Naqdi fii ulum al-hadits. Untuk mendapatkan penafsiran yang tepat hadits tersebut di jelaskan lagi oleh Ali bin Abi Thalib bahwa yang dimaksud جَنْب على bermakna  على جنبه الايمن مستقبل القبلة بوجهه. Di atas lambungnya sebelah kanan dengan menghadapkan ke kiblat wajahnya. ( ‘Itr, 1972:332)
2.      Contoh penjelasan hadits dari perawi selain sahabat yaitu hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah tentang keutamaan mandi di hari jum’ah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
Barangsiapa mandi pada hari jumat sebagaimana mandi janabah, lalu berangkat menuju masjid, maka dia seolah berkurban dengan seekor unta. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor sapi. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) ketiga maka dia seolah berkurban dengan seekor kambing yang bertanduk. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) keempat maka dia seolah berkurban dengan seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kelima maka dia seolah berkurban dengan sebutir telur. Dan apabila imam sudah keluar (untuk memberi khuthbah), maka para malaikat hadir mendengarkan dzikir (khuthbah tersebut).” (HR. Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850)
Yang menjadi perhatian untuk lafazh dalam hadits di atas yaitu pada lafal  بَدَنَةً berarti unta atau sapi.  Para ulama berkata bahwa yang di maksud kalimat itu dalam hadis ini adalah unta. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadis yang di riwayatkan dalam Mushannaf Abdurrozaq dengan redaksi:
فله من الآجر مثل الجزور
“maka ia akan mendapat pahala semisal unta”
Kalimat ini merupakan penafsiran terhadap lafal بَدَنَةً.
3.    Contoh matan hadis gharib yang ditafsirkan dengan hadis yang bersanad lain, seperti sebuah Hadis Muttafaq’alaih yang diriwayatkan oleh ibnu ‘Umar:
...قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيئًا قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ هُوَ الدُّخُّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْسَأْ فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ..
“Nabi Muhammad saw bersabda : “ saya menyimpan sesuatu untukmu, apa itu? “Sahut ibnu Shayyad. Asap”. kata Nabi saw “ salah!” “ kamu tidak akan secepat fikiranmu”. (H.R. Al-Bukhari).
Lafad الدُّخُّ dalam hadis tersebut adalah lafadh yang gharib. Menurut uraian yang dikemukakan oleh al-Jauhari, lafadh الدُّخُّ tersebut berarti asap ( menurut pengertian bahasa), tetapi menurut pengertian lain berarti tumbuh-tumbuhan, bahkan sebagian orang mengartikan dengan jima. Untuk mendapatkan penafsiran yang tepat, kita berusaha mencari sanad selain sanad Al-Bukhari. Ternyata di dapat dalam pen-takhrij-an Sunan Abu Daud dan Sunan At-Turmudzi yang bersanad az-Zuhri, salim dan Ibnu ‘Umar r.a. memberikan penafsiran terhadap ke-gharib-an hadis : kata ibnu ‘Umar r.a. : 
...قال النبى صلى الله عليه وسلم خبأله ( يوم تأتى السَماء بدخان مبين ) فأدرك ابن صيَاد البعض على عادة الكهَان فىي ختطاف بعض الشَيء من الشَياطين من غير وقوف على تمام البيان ، هو الدَخ...
....suatu ketika Nabi saw. Menyembunyikan sesuatu untuk ibnu shayyad, nabi berkata “ tunggulah sampai langit mengepul asapnya yang nyata “. Lalu ibnu shayyad mendapat suatu alat yang biasa dipakai oleh tukang tenun untuk mendapat sesuatu  dengan perantara setan-setan, dan tanpa berpikir pangjang ia menjawab itulah asap...dengan bantuan dari hadis Sunan Abu Daud dan Sunan at-Turmudzi tersebut, maka lafad  الدَخ  maknanya adalah asap. (Rahman, 1987:323)
Sholahudin dalam buku Ulumul Hadits menyebutkan beberapa kitab yang terkenal dalam masalah ini diantaranya:
1.        Kitab Gharibul-Hadits, karya Abul-Hasan An-Nadlr bin Syumail Al-Mazini (wafat 203 H), salah satu guru Ishaq bin Rahawaih, guru Imam Bukhari.
2.        Kitab Gharibul-Atsar, karya Muhammad bin Al-Mustanir (wafat 206 H).
3.        Kitab Gharibul-Hadits, karya Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam (wafat 224 H).
4.        Kitab Al-Musytabah minal- Hadits wal-Qur’an, karya Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainuri (wafat 276 H).
5.        Kitab Gharibul-Hadits, karya Qasim bin Tsabit bin Hazm Sirqisthi (wafat 302 H).
6.        Kitab Gharibul-Hadits, karya Abu Bakar Muhammad bin Al- Qasim Al-Anbari (wafat 328 H).
7.        Kitab Gharibul-Qur’an wal- Hadits, karya Abu ‘Ubaid Al- Harawi Ahmad bin Muhammad (wafat 401 H).
8.        Kitab Smathuts-Tsurayya fii Ma’ani Ghariibil-Hadits, karya Abul-Qasim Isma’il bin Hasan bin At-Tazi Al-Baihaqi (wafat 402 H).
9.        Kitab Majma’ Gharaaib fii Gharibil-Hadits, karya Abul-Hasan Abdul-Ghafir bin Isma’il bin Abdul- Ghafir Al-Farisi (wafat 529 H).
10.    Kitab Al-Fa’iq fii Gharibil- Hadits, karya Abul-Qasim Jarullah Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad Az-Zamakhsyari (wafat 538 H).
11.    Kitab Al-Mughits fii Gharibil- Qur’an wal-Hadits, karya Abu Musa Muhammad bin Abi Bakar Al-Madini Al-Asfahani (wafat 581 H).
12.    Kitab An-Nihayah fii Gharibil- Hadits wal-Atsar, karya Imam Majdudin Abu Sa’adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari Ibnul- Atsir (wafat 606 H).
Upaya baik para ulama dalam pembukuan dan penjelasan gharibul-hadits ini berakhir pada Ibnul-Atsir. Dalam menyusun buku, dia berpedoman pada kitab Gharibul-Qur’an wal-Hadits karya Al-Harawi dan kitab Al- Mughits fii Ghariibil-Qur’an wal- Hadits karya Abu Musa Muhammad bin Abi Bakar Al- Madini.
Dan belum diketahui ada orang yang melakukan upaya penyusunan gharibul-hadits setelah ibnul-Atsir kecuali Ibnu Hajib (wafat 646 H). Setelah itu, upaya para ulama hanya sebatas pada memberi lampiran dan ikhtishar, atau meringkas terhadap kitab An-Nihayah.
Di antara ulama yang memberi lampiran pada kitab tersebut adalah Shafiyyuddin Mahmud bin Abi Bakar Al-Armawi (wafat 723 H). Dan diantara yang melakukan ikhtishar adalah : Syaikh Ali bin Husamuddin Al-Hindi, yang dikenal dengan nama Al-Muttaqi (wafat 975 H), ‘Isa bin Muhammad Ash- Shafawi (wafat 953 H) kira-kira mendekati setengah ukuran kitab, dan Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) yang mukhtasharnya dinamakan Ad- Durrun-Natsir Talkhis Nihayah Ibnul-Atsir.
Pada mulanya kitab Ad-Durrun- Natsir dicetak sebagai hamisy atau catatan pinggir pada kitab An-Nihayah. Namun kemudian As- Suyuthi mempunyai inisiatif untuk memisahkan tambahan terhadap kitab tersebut, dan diberi nama At-Tadzyil a’laa Nihayah Al- Gharib.
Kitab Nihayah juga disusun dalam bentuk syair oleh Imaduddin Abul-Fida’ Isma’il bin Muhammad Al-Ba’labaki Al-Hanbali (wafat 785 H) dengan nama Al-Kifayah fii Nudhum An-Nihayah.
Ibnul-Atsir telah mengatur kitabnya An-Nihayah berdasarkan urutan huruf hijaiyyah, dan dicetak terakhir kalinya dengan diteliti dan diperiksa oleh Thahir Ahmad Az- Zawi danMahmud Muhammad Ath-Thanahi sebanyak lima jilid, dan diterbitkan oleh Pustaka Daar Ihya Al-Kutub Al-’Arabiyyah, ‘Isa Al-Babi Al-Halabi dan rekannya di Mesir.
Ibnul-Atsir menyusun kitabnya An-Nihayah berpedoman pada kitab Al-Harawi dan Abu Musa Al- Madini, yaitu dengan memberi tanda atau rumus (ha’) jika mengambil dari kitab Al-Harawi, dan tanda atau rumus huruf (sin) jika mengambil dari kitab Abu Musa. Adapun selain dari kedua kitab tersebut dibiarkan tanpa tanda apapun, untuk membedakan mana yang dari kedua kitab tersebut dan mana yang dari kitab yang lain.

BAB III

 
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu gahrib al-hadits adalah ilmu yang membahas tentang matan hadits yang sulit dan sukar untuk difahami sehingga membutuhkan keahlian yang khusus untuk memahaminya.
Objek dari ilmu gharibil hadist adalah kata-kata yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahami maksudnya.
Sebagian ulama berbeda pendapat terkait siapa promotor atau perintis pertama ilmu gharib al-hadist. Golongan para muhaditsin menganggap bahywa perintis ilmu gharib al-hadis adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsana at-Taimy. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perintis pertama ilmu ini adalah Abu Hasan an-Nadrl bin Syamil al Maziny.




11
 

 


 
DAFTAR PUSTAKA

‘Itr, Nuruddin. 1972. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits, Dar al-Fikr, Damaskus
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, (2009), Ulumul Hadits, Bandung, Pustaka Setia.
Al-Zamaksari Mahmud bin Umar, 1993. Al-Faiq fii Gharib al-Hadits, Beirut-Libanon : Dar al-Fikr.
Ath-Than, Mahmud. 1979. Taisir Musthalahul Hadits, Beirut: Dar Al_Qur’an Al-Karim
Ibnu, Qutaibah 1977. Ghorib Al Hadits, Mutbi’atul’Ani. Bagdad
Imam Majduddin Abi Sa’adati al-Mubarrak bin  Muhammad al-juzari Ibnu al-Atsir, An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal atsr, Beirut-Libanon : Dar al-Fikr.
Muhammad ‘ajaj Al-Khathib, 1998, Ushul Al-Hadits (Pokok-pokok Ilmu Hadits). Jakarta, Gaya Media Pratama
Rahman Fathur, 1987, Ikhtisar Mushthalahul Hadist, Bandung, PT. Al Ma’Arif.

Subhi As Shalih, 1995, Membahas Ilmu Ilmu Hadist, Terj Jakarta, Pustaka Firdaus.

Tidak ada komentar: