Minggu, 22 Januari 2017

MAKALAH KODIFIKASI AL-QUR’AN




MAKALAH
Dibuat Dalam Rangka Memenuhi tugas Mata Kuliah
TAFSIR QUR’AN
Yang Diampu Oleh : Dr. Zuhri

 









Oleh :
Ali Anwar
NIM. 1400018020





PROGRAM MAGISTER STUDI ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014




Al-Qur’an merupakan kitab suci untuk umat manusia yang berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh manusia (hudan li an-nas). Seluruh yang termaktub dalam al-Qur’an merupakan ajaran yang harus dipegang oleh umat Islam.
Al-Qur’an adalah sebuah peraturan bagi agama Islam, yang diyakini oleh orang muslim akan keaslian dari sang pencipta, tanpa ada campur tangan manusia dalam merubah atau mengganti lafadz serta maknanya.
Al-Quran diturunkan tidak secara keseluruhan melainkan secara berangsur kurang lebih selama 23 tahun lebih, yakni 13 tahun ketika Nabi masih tinggal di Mekkah sebelum hijriyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah. Penulisan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW yang berlanjut pada masa khalifah Abu Bakar sampai kepada masa khalifah Utsman bin Affan.
Salah satu aspek kajian al-Qur’an yang paling mendapat perhatian dan menimbulkan banyak kontroversi adalah sejarah kodifikasi al-Qur’an dan pembakuan Mushaf Uthmānī. Sudah sejak abad 2 H kajian sejarah al-Qur’an menjadi perhatian ulama Islam. Sejatinya dalam kajian tentang kodifikasi al-Qur’an sangat sensitif, karena berkaitan dengan keyakinan umat Islam paling fundamental dan adanya perbedaan mushaf yang digunakan para Sahabat.
Dari uraian diatas, pemakalah ingin membahas tentang kodifikasi al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar, Utsman bin Affan, dan masa penyempurnaan Mushaf Utsmani.


Kodifikasi Al Qur’an dalam bahasa Arab disebut  جمع القران (mengumpulkan al-Qur’an) yang mempunyai makna حفظه في الصدور (menjaga atau menghafalkan al-Qur’an di dalam hati) dan bisa pula bermakna  كتابه في الاشياء التى يمكن الكتابة فيها (menulis al-Qur’an pada sesuatu benda yang dapat dipergunakan untuk menulis) (Thanthawi, 2013:99).
Pada saat al-Qur’an masih diturunkan, menghafal al-Qur’an menjadi prioritas utama Rasulullah dan para sahabat beliau. Al-Qur’an diterima oleh Nabi secara berangsur-angsur berdasarkan pada peristiwa tertentu.
Meskipun yang menjadi perhatian utama Rasulullah dan para sahabat adalah menjaga al-Qur’an di dalam hati (menghafal), namun tidak mencegah para sahabat untuk menulis al-Qur’an dengan menggunakan alat yang masih sederhana, walaupun masih menggunakan alat yang sederhana hal itu tidak mempengaruhi keontetikan al-Qur’an karena jaminan atas keotentikan Al Quran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9)

Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
Ibnu Abbas Rs. berkata, “Setelah Rahulullah SAW menerima satu surat, satu ayat atau beberapa ayat, beliau memanggil para sahabat yang ditunjuk sebagai penulis wahyu. Kemudian beliau bersabda kepada mereka, “Letakkanlah satu surat, ayat atau beberapa ayat ini pada tempat ini dan itu”.
Adapun para sahabat Rasulullah, menjaga al-Qur’an merupakan sebuah tindakan yang paling utama atas kepedulian mereka terhadap al-Qur’an, harta dan benda tidak dapat mengganggu mereka dari menjaga al-Qur’an. Atas kecintaan yang sangat tinggi untuk menjaga al-Qur’an maka banyak para sahabat yang mampu menghafal al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW.

Adapun .periodisasi kodifikasi Al-Qur’an dijelasken berikut ini:

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad sejak Nabi berusia 41 tahun. Wahyu yang pertama diterima oleh Nabi adalah ayat 1-5 surat Al-‘Alaq di gua Hira dan wahyu yang terakhir adalah surat Al-Maidah ayat 3 pada waktu Nabi sedang berwukuf di Arafah melakukan Haji Wada’. Antara wahyu pertama dan wahyu terakhir yang diterima Nabi berselang kurang lebih 23 tahun.
Kerinduan Nabi atas kehadiran wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dengan bentuk tulisan. Setiap kali Nabi menerima wahyu, Nabi memanggil beberapa orang sahabat dan Nabi memerintahkan salah seorang lakai-laki. Mereka disebut juga sebagai kutub al-wahyi (para penulis wahyu) diantaranya adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Abban bin Sa’id, Mu’awiyyah bin Abu Sufyan, Kholid bin, Hanzhalah bin Ar-rabi’, dan lainnya (Anwar, 2009:74).
Proses penulisan pada masa Nabi sangatlah sederhana, mereka menulis ayat Al-Qur’an menggunakan alat tulis yang sangat sederhana berupa kulit kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu. Setelah selesai menulis wahyu tersebut lalu dikumpulkan di kediaman Nabi.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya ayat-ayat Al-Qur’an dengan lainnya, misalnya hadis Nabi, maka beliau tidak membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dari hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id Al-Khudriy:
لاتكتبوا عني غير القران ومن كتب عني غير القران فليمحه ) رواه مسلم(
Janganlah kalian tulis dariku sesuatu kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis dari (sumberku) selain Al-Qur’an supaya menghapusnya.
Kepada para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang akan mereka tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal ini disebabkan susunan ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah diturunkan sekaligus komplit. Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan semua ayat-ayatnya telah disusuli pula oleh surat-surat lainnya, sehingga apabila turun, Nabi lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila suatu surah telah lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Nabi lalu memberikan nama untuk surat itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat sebelumnya atau sesudahnya, Nabi menyuruh letakkan lafazh basmalah pada awal masing-masing surat itu. Tertib urut ayat-ayat dalam masing-masing surat itu dikokohkan pula oleh Nabi sendiri dengan bacaan-bacaannya dalam waktu shalat ataupun di luar shalat (Chairudji, 2007:49).
Di antara sahabat Nabi yang paling banyak menuliskan al-Qur’an adalah Zaid bin Tsabit al Anshari dan Mu’awiyyah. Dan pada waktu itu terdapat sistem yang sinergik dalam memelihara al-Qur’an yang meliputi tiga unsur yaitu:
a.    Hafalan dari para sahabat yang menghafal al-Qur’an secara sempurna
b.    Naskah-Naskah yang ditulis oleh para sahabat untuk Nabi.
c.    Naskah-naskah yang ditulis para sahabat yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing (Syakur, 2007:46-47).
Di antara faktor yang mendorong penulisan al-Qur’an pada masa Nabi adalah:
a.    Mem-back up hafalan yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya
b.    Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna. Bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa. Adapun tulisan tetap terpelihara walaupun tidak ditulis pada satu tempat (Anwar, 2009:74).
1)   Tadwin Al-Qur’an, telah terjadi pada masa Nabi, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun surat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.
Al-Suyuti mengatakan:
وقد كان القران كتب كله في عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم لكن غير مجموع في موضع واحد ولا مرتب السور
Al-Qur’an betul-betul talah ditulis seluruhnya (dengan lengkap) pada masa Nabi saw, hanya saja belum terhimpun dalam satu bahan yang seragam dan surat-suratnya pun belum tersusun urut (seperti yang dapat dilihat sekarang ini).
2)   Kegiatan-kegiatan dalam mentadwinkan Al-Qur’an di masa Nabi itu menurut yang diterangkan oleh riwayat-riwayat adalah terjadi dalam periode yang kedua, yaitu periode Madaniy, sedang dalam periode pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah ada juga lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu.

Pada dasarnya, penulisan Al-Qur’an bukanlah suatu hal yang baru sebab Nabi pernah memerintahkannya, hanya saja pada waktu itu Al-Qur’an terpencar-pencar, Abu Bakar kemudian berinisiatif untuk menghimpun semuanya.
Al-Qur’an telah mulai ditulis sejak masa Nabi SAW, awal mula disusunnya Al-Qur’an ialah oleh Abu Bakar Ashiddiq. Usaha pengumpulan Al-Qur’an pada masa itu terjadi setelah terjadinya perang Yamamah pada tahun 12 H. Karena pada peperangan itu telah menewaskan 70 orang lebih sahabat penghafal Al-Quran (Thantawi, 2013:106).
Setelah perang berdarah menimpa 70 penghafal Al-Qur’an Zaid diminta bertemu Abu Bakar. Turut hadir juga Umar, Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya engkaulah pemuda yang berakal. Aku tidak berprasangka buruk kepadamu. Sungguh kamu telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah SAW, maka titihlah Al-Qur’an dan kumpulkan ia”. Setelah Abu Bakar selesai bicara Zaid mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia arahkan juga kepada Umar karena usul itu berasal darinya, “Bagaiman mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Nabi saw”  lalu Abu Bakar menjawab, “Demi Allah ini sesuatu yang baik.” Kemudian Allah melapangkan Zaid sebagaimana Allah melapangkan Abu Bakar dan Umar (As Suyuti, 2008:130)
Maka Zaid pun memeriksa Al-Quran dan mengumpulkan kepingan-kepingan dan mendatangi orang-orang yang menghafalnya. Setelah melakukan itu semua Zaid mengumpulkan semua kepingan-kepingan ayat, nyatalah bahwasanya ada suatu ayat yang aku dengar dari Rasul tetapi tidak tertulis dalam kepingan. Setelah beberapa lama mencari, Zaid bertemu dengan seorang Anshar bernama Abu Khuzaimah ibn Aus Al-Anshary yang tidak didapatkan pada orang lain (Al-Qaththan, 2007:160).
Ayat itu ialah akhir surat At-Taubah yang berbunyi:
ôs)s9 öNà2uä!%y` Ñ^qßu ô`ÏiB öNà6Å¡àÿRr& îƒÍtã Ïmøn=tã $tB óOšGÏYtã ëȃ̍ym Nà6øn=tæ šúüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ Ô$râäu ÒOŠÏm§ ÇÊËÑÈ   bÎ*sù (#öq©9uqs? ö@à)sù š_É<ó¡ym ª!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ( Ïmøn=tã àMù=ž2uqs? ( uqèdur >u ĸöyèø9$# ÉOŠÏàyèø9$# ÇÊËÒÈ  

Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid sangat berhati-hati dalam mengumpulkan setiap ayat yang dikumpulkannya, ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan saja tanpa di dukung dengan tulisan. Sikap kehati-hatian Zaid itu sebenarnya berasal dari pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar, Abu Bakar berkata “Duduklah kalian dipintu masjid, siapa yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Quran dengan dua saksi maka catatlah”.
Perintah kodifikasi Al-Qur’an oleh Abu Bakar kepada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar dan para tokoh lainnya. Adapun Umar bin Khattab sebagai pemilik gagasan kodifikasi Al-Qur’an, sedangkan Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksana teknis.
Zaid sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia seorang penulis wahyu yang utama dan hafal Al-Qur’an. Ia dalam menjalankan tugasnya berpegangan dengan dua hal, yaitu:
a.    Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis dihadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi.
b.    Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Al-Qur’an.
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali kalau disaksikan dengan dua orang saksi yang adil bahwa ayat itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi atas perintah/petunjuknya.
Setelah sempurna, berdasarkan musyawarah, tulisan ai-Qur’an yang sudah terkumpul itu dinamakan mushaf. Kemudian Al-Quran itu disimpan di tangan Abu Bakar hingga wafatnya, setelah itu berpindah ke tangan Umar sewaktu masih hidup, setelah wafatnya Umar kemudian mushaf itu disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Nabi SAW. yang bernama Hafsah binti Umar ra (Anwar, 2004:97).
Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : "Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al Quran, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Quran sebagai Mushaf (As-Suyuti, 2008:130).
Maka faedah yang nyata dalam pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan Nabi. Adanya mushaf ini telah dapat menentramkan hati kaum muslimin, bahwa Al-Qur’an itu akan lebih terpelihara, dapat dihindarkan dari bahaya penambahan, pengurangan atau pemalsuan bahkan kehilangan sebagian ayat-ayatnya.

Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman tidak sebagaimana mestinya yang melatarbelakangi pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar. Pada masa Usman ini Islam telah tersebar luas. Kaum muslimin hidup berpencar diberbagai penjuru kota maupun pelosok. Di setiap kampung terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk kampung itu. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubai bin Kaab. Penduduk Kufah memakai qira’ah Abdullah bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa Al-Asy’ari. Maka tidak diragukan lagi timbul perbedaan bentuk qira’ah dikalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut (Qodirun, 2001:89).
Pada masa ini terjadi perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an pada salinan-salinannya. Selama ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan perselisihan ini muncul di kalangan tentara-tentara muslim, yang sebagian direkrut dari siria dan sebagian lagi dari irak, perselisihan ini cukup serius hingga menyebabkan pimpinan muslim, Hudzaifah, melaporkannya kepada khalifah Utsman dan mendesaknya agar segera mengambil langkah guna mengakhiri perbedaan-perbedaan bacaan tersebut. Ia berkata : "Wahai Utsman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al Quran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani" (As Suyuti, 2008:132).
Melihat itu semua, lalu Utsman berinisiatif membentuk “Panitia empat”  Keputusan Utsman membentuk panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit,  Abdullah bin Zubair,Sa’id bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harist, adalah  sebagai  langkah  konkret  untuk  mengatasi  kenyataan  pahit  yang  terjadi.  Untuk  itu  Utsman  segera melakukan Ijma’ untuk qira’at  yang  akan  di  tetapkan  atas  satu  huruf. Maka di ambillah mushaf yang ada pada Hafsah, atas perintah Utsman mereka menyalin mushaf  Abu Bakar  yang  di  bawa oleh Hafsah. Lalu mereka menulis Mushaf yang asli ini dalam bentuk beberapa mushaf tulisan  itu  dalam  bahasa  Quraisy, karena  dengan  bahasa  tersebut  Al-Qur’an  di  turunkan. Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manuai pujian dari umat Islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al Quran.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan sebagai berikut berikut:
a)    Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
b)   Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak  diyakini dibaca kembali dihadapan Nabi saw pada saat-saat terakhir.
c)    Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakup qira’at yang  berbeda sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun.
d)   Kronologi surat dan ayat seperti yang di kenal sekarang ini. Berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf  Utsmani.
e)    Semua yang bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan.misalnya yang di tulis di mushaf sebagian sahabat yang merasa juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh didalam mushaf.
Perbedaan penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan adalah sebagai berikut:
Pada Masa Abu Bakar
Pada Masa Utsman bin Affan
1)   Motifasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Qur’an dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Qur’an pada perang Yamamah.
2)   Abu Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang terpencar-pencar pada pelapah kurma, kulit, tulang dan sebagainya
1)    Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca Al-Qur’an (qira’at)
2)    Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Al-Quran turun.

Islam terus menerus berkembang baik wilayah maupun pemeluknya. Banyak orang non Arab yang telah masuk islam, maka dari itu benturan-benturan kultural antara masyarakat Arab dengan orang-orang ‘ajam (non-Arab) tidak dapat dielakan. Sebab, dikalangan masyarakat Islam terutama orang non Arab sering terjadi kesalahan dalam melafalkan ayat Al-Quran. Dikarenakan mushaf yang ditulis atas perintah Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik.
Salinan mushaf Usman tidak ber-syakl dan tidak bertitik. Cara penulisan yang demikian itu membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam bacaan di berbagai kota dan daerah yang mempunyai kekhususannya sendiri-sendiri sesuai dengan tabiat dan adat kebiasaan masing-masing. Akhirnya mulai dipikirkan penciptaan tanda- tanda tertentu yang dapat membantu bacaan dengan baik dan benar.
Abul Aswad Ad-Duali dikenal karena dialah orang yang pertama kali meletakkan kaidah tata bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi Thalib. Banyak orang berpendapat bahwa penemuan akan cara penulisan al-Qur’an dengan huruf-huruf bertitik merupakan kelanjutan dari kegiatan Abul-Aswad Ad-Duali. Terlalu banyak memang cerita yang menunjukkan betapa besar gairah Abul Aswad kepada bahasa al-Qur’an. Konon ia pernah mendengar orang membaca firman Allah surat al-Taubah ayat 3:” Annallaha barii’un minal musyrikina wa rasuluhu.” Bahwa Allah dan Rasul-Nya memutuskan hubungan dengan kaum musyrikin. Orang yang lain lagi mambaca:” Annallaha barii’un minal musyrikina wa rasulihi.” Bahwa Allah memutuskan hubungan dari kaum musyrikin dan dari Rasul-Nya. Karena mendengar bacaan itulah akhirnya hati Abul Aswad tergugah untuk melakukan pekerjaan ini, yakni memberi tanda bacaan pada al-Qur’an agar kesalahan membaca tidak terulang lagi dikalangan kaum muslimin. Ia memulai pekerjaan tersebut pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Namun As Suyuti berasumsi dalam kitab Al Itqan, bahwa pekerjaan itu pastinya dilakukan oleh beberapa orang dan kesempurnaannya tidak dapat dicapai selama satu generasi, malainkan beberapa generasi. Abul Aswad Ad-Duali hanya merupakan sebuah mata rantai pertama dalam proses perbaikan cara penulisan al-Qur’an (Al-Qaththan, 2007:160).
Kemudian pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, Gubernur al Hajjaj menyuruh Nashr ibn Ashim (murid Abul Aswad) dan Yahya ibn Ya’mar supaya menciptakan tanda-tanda yang membedakan huruf-huruf yang samamirip bentuknya. Tanda-tanda yang berupa titik dan garis itu tidak lain hanya diberi warna yang berbeda, kemudian disempurnakan lagi oleh al Khalil dengan memberi tanda sebagai berikut (Syakur, 2001:52):
a.    Huruf alif kecil miring di atas huruf sebagai Fathah
b.    Huruf alif kecil miring di bawah huruf sebagai Kasrah
c.    Huruf wawu kecil miring di atas huruf sebagai Dhummah
Diantara nama-nama diatas yang terlebih dahulu meletakan titik dan harakat atau tanda baca lainnya, bahwasanya mereka semua itu telah ikut andil dalam upaya menutup kemungkinan terjadinya kekeliruan didalam membaca Al-Quran, sekaligus memperbagus dan memperindah rasm Al-Quran. Karena itu suatu hal yang kurang logis dan kurang rasional kalau dikatakan hanya Abu al-Aswad al-Du’ali saja tanpa yang lain. Sedangkan Abu al-Aswad sendiri hanyalah merupakan sebuah mata rantai pertama dalam proses penyempurnaan rasm ‘Utsmany menuju kemudahan dalam membaca Al-Quran yang benar.



Berdasarkan pembahasan Kodifikasi dan kesempurnaan Al-Quran dapat disimpulkan  bahwa  terdapat  perbedaan  atau  perbandingan  kodifikasi  Al-Qur’an  yang  terjadi  pada  masa Rasulullah, Khalifah  Abu  Bakar  dan  Khalifah  Utsman  bin  Affan. Dan terdapat perbedaan yang lainnya dalam setiap tingkatan sahabat dan Tabi’in.
Pada masa Rasulullah kodifikasi al-Qur’an dengan cara dihafalkan dan dituliskan berdasarkan petunjuk Rasul, dengan menggunakan alat yang masih sederhan walaupun surat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini.
Pada masa Abu Bakar kodifikasi al-Qur’an dilakukan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang terpencar-pencar pada pelapah kurma, kulit, tulang dan sebagainya sehingga dapat dikumpulkan dan diseragamkan.
Pada masa Utsman bin Affan kodifikasi al-Qur’an dilakukan dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Al-Quran turun.



Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.
                                              , Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta, 1994
Amanah, Siti, Pengantar Ilmu Al-Qur’andan Tafsir, CV Asyifa’, Semarang, 1993
Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Quran, CV Pustaka Setia, Bandung, 2009
As Syuyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, Beirut: Muassasah ar-Risalah Nasyirun, 2008
Kahar Masyhur, Drs, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, Rinneka Cipta, Jakarta, 1993.
Kamaluddin Marzuki, Ulum Al-Qur’an, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta, 1994.
Syakur, Muhammad, ‘Ulum al-Qur’an, Mekar Ofset, Semarang, 2007.
Teungku Muhammad Hasbi As Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’andan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, Semarang,1999.
Thanthawi, Muhammad Sayyid, Ulumul Qur’an Teori dan Metodologi, IRCiSoD, Jogjakarta, 2013