MAKALAH
Dibuat Dalam Rangka Memenuhi tugas Mata Kuliah
TAFSIR QUR’AN
Yang Diampu Oleh : Dr. Zuhri
Oleh :
Ali Anwar
NIM. 1400018020
PROGRAM MAGISTER STUDI ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
Al-Qur’an merupakan kitab suci untuk umat manusia yang
berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh manusia (hudan li an-nas).
Seluruh yang termaktub dalam al-Qur’an merupakan ajaran yang harus dipegang
oleh umat Islam.
Al-Qur’an adalah sebuah peraturan bagi agama Islam, yang
diyakini oleh orang muslim akan keaslian dari sang pencipta, tanpa ada campur
tangan manusia dalam merubah atau mengganti lafadz serta maknanya.
Al-Quran diturunkan tidak secara keseluruhan melainkan
secara berangsur kurang lebih selama 23 tahun lebih, yakni 13 tahun ketika Nabi
masih tinggal di Mekkah sebelum hijriyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah
ke Madinah. Penulisan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW
yang berlanjut pada masa khalifah Abu Bakar sampai kepada masa khalifah Utsman
bin Affan.
Salah satu aspek kajian al-Qur’an
yang paling mendapat perhatian dan menimbulkan banyak kontroversi adalah
sejarah kodifikasi al-Qur’an dan pembakuan Mushaf Uthmānī. Sudah sejak abad 2 H
kajian sejarah al-Qur’an menjadi perhatian ulama Islam. Sejatinya dalam kajian
tentang kodifikasi al-Qur’an sangat sensitif, karena berkaitan dengan keyakinan
umat Islam paling fundamental dan adanya perbedaan mushaf yang digunakan para
Sahabat.
Dari uraian diatas, pemakalah ingin membahas tentang
kodifikasi al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar, Utsman bin Affan,
dan masa penyempurnaan Mushaf Utsmani.
Kodifikasi Al Qur’an dalam bahasa Arab disebut جمع القران (mengumpulkan al-Qur’an) yang mempunyai makna حفظه في الصدور
(menjaga atau
menghafalkan al-Qur’an di dalam hati) dan bisa pula bermakna كتابه في الاشياء التى يمكن الكتابة فيها
(menulis
al-Qur’an pada sesuatu benda yang dapat dipergunakan untuk menulis) (Thanthawi,
2013:99).
Pada saat al-Qur’an masih
diturunkan, menghafal al-Qur’an menjadi prioritas utama Rasulullah dan para
sahabat beliau. Al-Qur’an diterima oleh Nabi secara berangsur-angsur
berdasarkan pada peristiwa tertentu.
Meskipun yang menjadi perhatian
utama Rasulullah dan para sahabat adalah menjaga al-Qur’an di dalam hati
(menghafal), namun tidak mencegah para sahabat untuk menulis al-Qur’an dengan
menggunakan alat yang masih sederhana, walaupun masih menggunakan alat yang
sederhana hal itu tidak mempengaruhi keontetikan al-Qur’an karena jaminan atas
keotentikan Al Quran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam
firman-Nya
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨“tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”
(QS. Al-Hijr: 9)
Ayat ini
memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
Ibnu Abbas Rs. berkata, “Setelah
Rahulullah SAW menerima satu surat, satu ayat atau beberapa ayat, beliau
memanggil para sahabat yang ditunjuk sebagai penulis wahyu. Kemudian beliau
bersabda kepada mereka, “Letakkanlah satu surat, ayat atau beberapa ayat ini
pada tempat ini dan itu”.
Adapun para sahabat Rasulullah,
menjaga al-Qur’an merupakan sebuah tindakan yang paling utama atas kepedulian
mereka terhadap al-Qur’an, harta dan benda tidak dapat mengganggu mereka dari
menjaga al-Qur’an. Atas kecintaan yang sangat tinggi untuk menjaga al-Qur’an
maka banyak para sahabat yang mampu menghafal al-Qur’an pada masa Rasulullah
SAW.
Adapun .periodisasi kodifikasi Al-Qur’an
dijelasken berikut ini:
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad sejak
Nabi berusia 41 tahun. Wahyu yang pertama diterima oleh Nabi adalah ayat 1-5
surat Al-‘Alaq di gua Hira dan wahyu yang terakhir adalah surat Al-Maidah ayat
3 pada waktu Nabi sedang berwukuf di Arafah melakukan Haji Wada’. Antara wahyu
pertama dan wahyu terakhir yang diterima Nabi berselang kurang lebih 23 tahun.
Kerinduan Nabi atas kehadiran wahyu tidak saja
diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dengan bentuk tulisan. Setiap
kali Nabi menerima wahyu, Nabi memanggil beberapa orang sahabat dan Nabi
memerintahkan salah seorang lakai-laki. Mereka disebut juga sebagai kutub
al-wahyi (para penulis wahyu) diantaranya adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Abban bin Sa’id, Mu’awiyyah bin Abu
Sufyan, Kholid bin, Hanzhalah bin Ar-rabi’, dan lainnya (Anwar, 2009:74).
Proses penulisan pada masa Nabi sangatlah sederhana,
mereka menulis ayat Al-Qur’an menggunakan alat tulis yang sangat sederhana
berupa kulit kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu. Setelah selesai
menulis wahyu tersebut lalu dikumpulkan di kediaman Nabi.
Untuk menghindari kerancuan akibat bercampuraduknya
ayat-ayat Al-Qur’an dengan lainnya, misalnya hadis Nabi, maka beliau tidak
membenarkan seorang sahabat menulis apapun selain Al-Qur’an. Hal ini bisa
dilihat dari hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id Al-Khudriy:
لاتكتبوا عني
غير القران ومن كتب عني غير القران فليمحه
) رواه
مسلم(
Janganlah
kalian tulis dariku sesuatu kecuali Al-Qur’an. Barangsiapa yang telah menulis
dari (sumberku) selain Al-Qur’an supaya menghapusnya.
Kepada
para penulis wahyu ini Rasul menunjuk letak masing-masing ayat yang akan mereka
tuliskan, yaitu di dalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal ini
disebabkan susunan ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah
diturunkan sekaligus komplit. Seringkali suatu surat belum selesai diturunkan
semua ayat-ayatnya telah disusuli pula oleh surat-surat lainnya, sehingga
apabila turun, Nabi lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila suatu surah telah
lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Nabi lalu memberikan nama untuk surat
itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat sebelumnya atau
sesudahnya, Nabi menyuruh letakkan lafazh basmalah pada awal
masing-masing surat itu. Tertib urut ayat-ayat dalam masing-masing surat itu
dikokohkan pula oleh Nabi sendiri dengan bacaan-bacaannya dalam waktu shalat
ataupun di luar shalat (Chairudji,
2007:49).
Di antara sahabat Nabi yang paling banyak
menuliskan al-Qur’an adalah Zaid bin Tsabit al Anshari dan Mu’awiyyah. Dan pada
waktu itu terdapat sistem yang sinergik dalam memelihara al-Qur’an yang
meliputi tiga unsur yaitu:
a.
Hafalan dari
para sahabat yang menghafal al-Qur’an secara sempurna
b.
Naskah-Naskah
yang ditulis oleh para sahabat untuk Nabi.
c.
Naskah-naskah
yang ditulis para sahabat yang pandai menulis dan membaca untuk mereka
masing-masing (Syakur, 2007:46-47).
Di antara faktor yang mendorong penulisan
al-Qur’an pada masa Nabi adalah:
a.
Mem-back up
hafalan yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya
b.
Mempresentasikan
wahyu dengan cara yang paling sempurna. Bertolak dari hafalan para sahabat saja
tidak cukup karena terkadang mereka lupa. Adapun tulisan tetap terpelihara
walaupun tidak ditulis pada satu tempat (Anwar, 2009:74).
1)
Tadwin
Al-Qur’an, telah terjadi
pada masa Nabi, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu telah dituliskan dan telah
tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun surat-suratnya belum tersusun
seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya belum terhimpun
dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya
maupun ukurannya.
Al-Suyuti
mengatakan:
وقد كان القران
كتب كله في عهد رسول الله صلي الله عليه وسلم لكن غير مجموع في موضع واحد ولا مرتب
السور
Al-Qur’an betul-betul talah ditulis seluruhnya
(dengan lengkap) pada masa Nabi saw, hanya saja belum terhimpun dalam satu
bahan yang seragam dan surat-suratnya pun belum tersusun urut (seperti yang
dapat dilihat sekarang ini).
2)
Kegiatan-kegiatan
dalam mentadwinkan Al-Qur’an di masa Nabi itu menurut yang diterangkan oleh
riwayat-riwayat adalah terjadi dalam periode yang kedua, yaitu periode Madaniy,
sedang dalam periode pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah ada
juga lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an itu.
Pada dasarnya, penulisan Al-Qur’an bukanlah
suatu hal yang baru sebab Nabi pernah memerintahkannya, hanya saja pada waktu
itu Al-Qur’an terpencar-pencar, Abu Bakar kemudian berinisiatif untuk
menghimpun semuanya.
Al-Qur’an telah mulai ditulis sejak masa Nabi
SAW, awal mula disusunnya Al-Qur’an ialah oleh Abu Bakar Ashiddiq. Usaha
pengumpulan Al-Qur’an pada masa itu terjadi setelah terjadinya perang Yamamah
pada tahun 12 H. Karena pada peperangan itu telah menewaskan 70 orang lebih sahabat
penghafal Al-Quran (Thantawi, 2013:106).
Setelah perang berdarah menimpa 70 penghafal
Al-Qur’an Zaid diminta bertemu Abu Bakar. Turut hadir juga Umar, Abu Bakar
berkata: “Sesungguhnya engkaulah pemuda yang berakal. Aku tidak berprasangka
buruk kepadamu. Sungguh kamu telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah SAW, maka
titihlah Al-Qur’an dan kumpulkan ia”. Setelah Abu Bakar selesai bicara Zaid
mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia arahkan juga kepada Umar karena usul itu
berasal darinya, “Bagaiman mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Nabi
saw” lalu Abu Bakar menjawab, “Demi Allah ini sesuatu yang baik.” Kemudian
Allah melapangkan Zaid sebagaimana Allah melapangkan Abu Bakar dan Umar (As
Suyuti, 2008:130)
Maka Zaid pun memeriksa Al-Quran dan mengumpulkan
kepingan-kepingan dan mendatangi orang-orang yang menghafalnya. Setelah
melakukan itu semua Zaid mengumpulkan semua kepingan-kepingan ayat, nyatalah
bahwasanya ada suatu ayat yang aku dengar dari Rasul tetapi tidak tertulis
dalam kepingan. Setelah beberapa lama mencari, Zaid bertemu dengan seorang
Anshar bernama Abu Khuzaimah ibn Aus Al-Anshary yang tidak didapatkan pada
orang lain (Al-Qaththan,
2007:160).
Ayat itu ialah akhir surat At-Taubah yang
berbunyi:
ôs)s9
öNà2uä!%y`
Ñ^qßu
ô`ÏiB
öNà6Å¡àÿRr&
îÍtã
Ïmøn=tã
$tB
óOGÏYtã
ëÈÌym
Nà6øn=tæ
úüÏZÏB÷sßJø9$$Î/
Ô$râäu
ÒOÏm§
ÇÊËÑÈ bÎ*sù
(#öq©9uqs?
ö@à)sù
_É<ó¡ym
ª!$#
Iw
tm»s9Î)
wÎ)
uqèd
(
Ïmøn=tã
àMù=2uqs?
(
uqèdur
>u
ĸöyèø9$#
ÉOÏàyèø9$#
ÇÊËÒÈ
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid sangat
berhati-hati dalam mengumpulkan setiap ayat yang dikumpulkannya, ia tidak
menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan saja tanpa di dukung dengan
tulisan. Sikap kehati-hatian Zaid itu sebenarnya berasal dari pesan Abu Bakar
kepada Zaid dan Umar, Abu Bakar berkata “Duduklah kalian dipintu masjid, siapa
yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Quran dengan dua saksi maka
catatlah”.
Perintah kodifikasi Al-Qur’an oleh
Abu Bakar kepada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun,
yaitu pada tahun 13 H. di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar dan para tokoh
lainnya. Adapun Umar bin Khattab sebagai pemilik gagasan kodifikasi Al-Qur’an,
sedangkan Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksana teknis.
Zaid sangat hati-hati dalam menjalankan tugas
ini, sekalipun ia seorang penulis wahyu yang utama dan hafal Al-Qur’an. Ia
dalam menjalankan tugasnya berpegangan dengan dua hal, yaitu:
a.
Ayat-ayat
Al-Qur’an yang ditulis dihadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi.
b.
Ayat-ayat yang
dihafal oleh para sahabat yang hafidz Al-Qur’an.
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat
Al-Qur’an, kecuali kalau disaksikan dengan dua orang saksi yang adil bahwa ayat
itu benar-benar ditulis di hadapan Nabi atas perintah/petunjuknya.
Setelah sempurna, berdasarkan musyawarah,
tulisan ai-Qur’an yang sudah terkumpul itu dinamakan mushaf. Kemudian Al-Quran
itu disimpan di tangan Abu Bakar hingga wafatnya, setelah itu berpindah ke
tangan Umar sewaktu masih hidup, setelah wafatnya Umar kemudian mushaf itu disimpan oleh putrinya
dan sekaligus istri Nabi SAW. yang bernama Hafsah binti Umar ra (Anwar,
2004:97).
Sahabat Ali bin Abi thalib
berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : "Orang
yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat
Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al Quran, selain itu juga Abu
bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Quran sebagai Mushaf (As-Suyuti, 2008:130).
Maka faedah yang nyata dalam pengumpulan
Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu terkumpul di dalam
satu mushhaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang seragam, baik bahannya
maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai yang telah ditunjukkan
Nabi. Adanya mushaf ini telah dapat menentramkan hati kaum muslimin, bahwa
Al-Qur’an itu akan lebih terpelihara, dapat dihindarkan dari bahaya penambahan,
pengurangan atau pemalsuan bahkan kehilangan sebagian ayat-ayatnya.
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman tidak
sebagaimana mestinya yang melatarbelakangi pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu
Bakar. Pada masa Usman ini Islam telah tersebar luas. Kaum muslimin hidup
berpencar diberbagai penjuru kota maupun pelosok. Di setiap kampung terkenal qira’ah
sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk kampung itu. Penduduk
Syam memakai qira’ah Ubai bin Kaab. Penduduk Kufah memakai qira’ah Abdullah
bin Mas’ud, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa Al-Asy’ari. Maka
tidak diragukan lagi timbul perbedaan bentuk qira’ah dikalangan mereka,
sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri.
Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan
perbedaan qira’ah tersebut (Qodirun, 2001:89).
Pada masa ini terjadi perbedaan dalam bacaan
Al-Qur’an pada salinan-salinannya. Selama ekspedisi militer ke Armenia dan
Azerbaijan perselisihan ini muncul di kalangan tentara-tentara muslim, yang
sebagian direkrut dari siria dan sebagian lagi dari irak, perselisihan ini
cukup serius hingga menyebabkan pimpinan muslim, Hudzaifah, melaporkannya
kepada khalifah Utsman dan mendesaknya agar segera mengambil langkah guna
mengakhiri perbedaan-perbedaan bacaan tersebut. Ia berkata : "Wahai Utsman, cobalah lihat rakyatmu,
mereka berselisih gara-gara bacaan Al Quran, jangan sampai mereka terus menerus
berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani" (As Suyuti,
2008:132).
Melihat itu semua, lalu Utsman berinisiatif
membentuk “Panitia empat” Keputusan Utsman membentuk panitia empat
yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,Sa’id bin Al-Ash
dan Abdurrahman bin Al-Harist, adalah sebagai langkah konkret
untuk mengatasi kenyataan pahit yang
terjadi. Untuk itu Utsman segera melakukan Ijma’ untuk
qira’at yang akan di tetapkan atas
satu huruf. Maka di ambillah mushaf yang ada pada Hafsah, atas perintah
Utsman mereka menyalin mushaf Abu Bakar yang di bawa
oleh Hafsah. Lalu mereka menulis Mushaf yang asli ini dalam bentuk beberapa
mushaf tulisan itu dalam
bahasa Quraisy, karena dengan bahasa tersebut
Al-Qur’an di turunkan. Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan
Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manuai
pujian dari umat Islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah
pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al Quran.
Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar
adalah mushaf yang memenuhi persyaratan sebagai berikut berikut:
a)
Harus terbukti
mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.
b)
Mengabaikan
ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca
kembali dihadapan Nabi saw pada saat-saat terakhir.
c)
Sistem penulisan
yang digunakan mushaf mampu mencakup qira’at yang berbeda sesuai dengan
lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun.
d)
Kronologi surat dan ayat seperti yang di kenal sekarang ini. Berbeda dengan
mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsmani.
e)
Semua yang
bukan termasuk Al-Qur’an dihilangkan.misalnya yang di tulis di mushaf sebagian
sahabat yang merasa juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh
didalam mushaf.
Perbedaan penulisan al-Qur’an pada masa Abu
Bakar dan Utsman bin Affan adalah sebagai berikut:
Pada Masa Abu Bakar
|
Pada Masa Utsman bin Affan
|
1)
Motifasi penulisannya
adalah khawatir sirnanya Al-Qur’an dengan syahidnya beberapa penghafal
Al-Qur’an pada perang Yamamah.
2)
Abu Bakar
melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang
terpencar-pencar pada pelapah kurma, kulit, tulang dan sebagainya
|
1)
Motivasi
penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca
Al-Qur’an (qira’at)
2)
Utsman
melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh
huruf yang dengannya Al-Quran turun.
|
Islam terus menerus berkembang baik wilayah
maupun pemeluknya. Banyak orang non Arab yang telah masuk islam, maka dari itu
benturan-benturan kultural antara masyarakat Arab dengan orang-orang ‘ajam
(non-Arab) tidak dapat dielakan. Sebab, dikalangan masyarakat Islam terutama
orang non Arab sering terjadi kesalahan dalam melafalkan ayat Al-Quran.
Dikarenakan mushaf yang ditulis atas perintah Utsman tidak memiliki harakat dan
tanda titik.
Salinan
mushaf Usman tidak ber-syakl dan
tidak bertitik. Cara penulisan yang demikian itu membuka kemungkinan terjadinya
berbagai macam bacaan di berbagai kota dan daerah yang mempunyai kekhususannya
sendiri-sendiri sesuai dengan tabiat dan adat kebiasaan masing-masing. Akhirnya
mulai dipikirkan penciptaan tanda- tanda tertentu yang dapat membantu bacaan
dengan baik dan benar.
Abul
Aswad Ad-Duali dikenal karena dialah orang yang pertama kali meletakkan kaidah
tata bahasa Arab atas perintah Ali bin Abi Thalib. Banyak orang berpendapat
bahwa penemuan akan cara penulisan al-Qur’an dengan huruf-huruf bertitik
merupakan kelanjutan dari kegiatan Abul-Aswad Ad-Duali. Terlalu banyak memang
cerita yang menunjukkan betapa besar gairah Abul Aswad kepada bahasa al-Qur’an.
Konon ia pernah mendengar orang membaca firman Allah surat al-Taubah ayat 3:” Annallaha barii’un minal musyrikina wa
rasuluhu.” Bahwa Allah dan Rasul-Nya memutuskan hubungan dengan kaum
musyrikin. Orang yang lain lagi mambaca:” Annallaha
barii’un minal musyrikina wa rasulihi.” Bahwa Allah memutuskan hubungan
dari kaum musyrikin dan dari Rasul-Nya. Karena mendengar bacaan itulah akhirnya
hati Abul Aswad tergugah untuk melakukan pekerjaan ini, yakni memberi tanda
bacaan pada al-Qur’an agar kesalahan membaca tidak terulang lagi dikalangan
kaum muslimin. Ia memulai pekerjaan tersebut pada masa khalifah Abdul Malik bin
Marwan. Namun As Suyuti berasumsi dalam kitab Al Itqan, bahwa pekerjaan itu
pastinya dilakukan oleh beberapa orang dan kesempurnaannya tidak dapat dicapai
selama satu generasi, malainkan beberapa generasi. Abul Aswad Ad-Duali hanya
merupakan sebuah mata rantai pertama dalam proses perbaikan cara penulisan
al-Qur’an (Al-Qaththan,
2007:160).
Kemudian pada masa khalifah Abdul Malik bin
Marwan, Gubernur al Hajjaj menyuruh Nashr ibn Ashim (murid Abul Aswad) dan
Yahya ibn Ya’mar supaya menciptakan tanda-tanda yang membedakan huruf-huruf
yang samamirip bentuknya. Tanda-tanda yang berupa titik dan garis itu tidak
lain hanya diberi warna yang berbeda, kemudian disempurnakan lagi oleh al
Khalil dengan memberi tanda sebagai berikut (Syakur, 2001:52):
a.
Huruf alif
kecil miring di atas huruf sebagai Fathah
b.
Huruf alif
kecil miring di bawah huruf sebagai Kasrah
c.
Huruf wawu
kecil miring di atas huruf sebagai Dhummah
Diantara nama-nama
diatas yang terlebih dahulu meletakan titik dan harakat atau tanda baca
lainnya, bahwasanya mereka semua itu telah ikut andil dalam upaya menutup
kemungkinan terjadinya kekeliruan didalam membaca Al-Quran, sekaligus
memperbagus dan memperindah rasm Al-Quran. Karena itu suatu hal yang kurang
logis dan kurang rasional kalau dikatakan hanya Abu al-Aswad al-Du’ali saja
tanpa yang lain. Sedangkan Abu al-Aswad sendiri hanyalah merupakan sebuah mata
rantai pertama dalam proses penyempurnaan rasm ‘Utsmany menuju kemudahan
dalam membaca Al-Quran yang benar.
Berdasarkan pembahasan
Kodifikasi dan kesempurnaan Al-Quran dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan atau perbandingan kodifikasi
Al-Qur’an yang terjadi pada masa Rasulullah, Khalifah
Abu Bakar dan Khalifah Utsman bin Affan. Dan terdapat
perbedaan yang lainnya dalam setiap tingkatan sahabat dan Tabi’in.
Pada masa Rasulullah kodifikasi
al-Qur’an dengan cara dihafalkan dan dituliskan berdasarkan petunjuk
Rasul, dengan menggunakan alat yang masih sederhan walaupun surat-suratnya
belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini.
Pada masa Abu Bakar kodifikasi al-Qur’an
dilakukan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang terpencar-pencar
pada pelapah kurma, kulit, tulang dan sebagainya sehingga dapat dikumpulkan dan
diseragamkan.
Pada masa Utsman bin Affan kodifikasi al-Qur’an
dilakukan dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh
huruf yang dengannya Al-Quran turun.
Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahits fi
‘Ulumil Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.
, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Pustaka
Litera Antar Nusa, Jakarta, 1994
Amanah, Siti, Pengantar Ilmu Al-Qur’andan
Tafsir, CV Asyifa’, Semarang, 1993
Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Quran, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2009
As Syuyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulumil
Qur’an, Beirut: Muassasah ar-Risalah Nasyirun, 2008
Kahar Masyhur, Drs, Pokok-pokok Ulumul
Qur’an, Rinneka Cipta, Jakarta, 1993.
Kamaluddin Marzuki, Ulum Al-Qur’an, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-ilmu
Al-Qur’an, Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta, 1994.
Syakur, Muhammad, ‘Ulum al-Qur’an, Mekar
Ofset, Semarang, 2007.
Teungku Muhammad Hasbi As Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’andan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, Semarang,1999.
Thanthawi, Muhammad Sayyid, Ulumul Qur’an
Teori dan Metodologi, IRCiSoD, Jogjakarta, 2013