Minggu, 25 Juni 2017

IDUL FITRI DARI SUDUT FENEMENOLOGI

‘IDUL FITRI DARI SUDUT FENEMENOLOGI”
“Alhamdulillahi hadanaila ila shirotil mustaqim, wassholatu wassalamu ‘ala nabiyyinal karim, sayyidina muhammadin shollahualaihi wassalama wa “ala alihi wasohbihi alladzina tamassaku jamiahum bidinissalim,, walahaula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil adzim”.
A.    Latar Belakang
Idul fitri pada hakikatnya merupakan akhir dari sebuah perjalanan yang berupa Ibadah bulan Ramadhan (bulan Puasa). Ibadah puasa ini disifati dalam al Qur’an “Bahwa atas kalian telah diwajiban ibadah puasa sebagai mana ia di wajibkan atas umat-umat lain sebelum kalian”. Puasa sebagai kewajiban bagi setiap umat muslim yang harus di jalankan dan tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan alas an-alasan yang membenarkan hal itu. Dalam ungkapan lain, ibadah puasa yang dimasukkan dalam satu bungkus kegiatan bulan ramadhan. Bulan ini di ungkapkan sebagai ‘Syahrul ramadhan awwaluhu rohmatun wawasathuhu maghfirotun wa akhiruhu ‘itqun minannar’. Bulan ramadhan awalnya adalah penguatan tali-tali ikatan antar manusia, di tengah-tengah bulan ramadhan sebagai pemberian ampun atas segala kesalahan, dan pada akhir bulan ramadhan berarti pembebasan dari ancaman api neraka.
Idul Fitri atau hari raya lebaran[1] merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan, kesejahteraan dan demi solidaritas masyarakat di Jawa.
Penyebaran agama Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sebagian besar orang jawa yang akhirnya mengalami perkembangan pesat diseluruh Nusantara sehingga istilah Lebaran meluas ke berbagai penjuru tanah Air. Untuk mempertajam pengetahuan akulturasi budaya tersebut, setidaknya harus mengetahui profil budaya Islam secara global.
Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Budaya timur tengah lebih menekankan pada keakraban yaitu dengan berpelukan namun tidak secara masal seperti jabat tangan yang ada di Indonesia.
Dalam Qur’an Surah Ali Imran 134 yang Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Berdasarkan ayat di atas menerangkan bahwa saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut. Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain.
Sehingga para ulama di Jawa ingin menyempurnakan tujuan puasa Ramadan dengan menggabungkan dua alkuturasi budaya tersebut. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT dan diampuni oleh sesama manusia dalam bentuk kolektif yang dalam bentuk Halal bi Halal dan sungkem kepada orang tua agar di ngapuro[2] dosanya. Seseorang yang berdosa kepada Allah SWT bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orangorang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka.
B.  Pembahasan
Sebelum pembahasan mengenai Idul fitri dari kacamata fenomenologi, terlebih dahulu akan dipaparkan apa itu fenomenologi. Fenomenologi merupakan suatu pendekatan yang menganggap bahwa kesadaran sebagai pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai muatan realisme. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.[3]
Idul Fitri yang di artikan sebagai kasru ash-shawmi,[4] yang artinya hal buka puasa. Selain fith-run, buka puasa disebut juga ifthâr (sighat mashdar dari aftharayufthiru). Senada dengan hal tersebut, makan pagi yang dalam bahasa Inggris umat Islam kenal dengan istilah breakfast (menghentikan puasa), dalam bahasa Arab disebut futhûr.
Dalam pandangan lain kata fithr berarti asal kejadian, agama yang benar atau kesucian.[5] Dari penjelasan ini dapat disimpulkan pula bahwa Idul Fitri bisa berarti kembalinya umat Islam kepada keadaan suci, atau keterbebasan dari segala dosa dan noda sehingga berada dalam kesucian (fitrah).
Idul Fitri sebagai hari raya keagamaan mempunyai kedudukan yang tinggi bagi umat Islam yang mengandung makna keruhanian[6] dan merupakan hari kemenangan bagi umat manusia khususnya umat muslim diseluruh penjuru dunia. Hal ini dilihat dari pengertian Idul Fitri serta dari semua tata cara pelaksanaan pada waktu menjelang Idul Fitri seperti menjalankan ibadah puasa ramadhan sebulan penuh untuk menahan segala hawa nafsu sampai waktunya untuk berbuka, dan di dalam bulan tersebut terdapat sebuah malam Lailatul Qadar yaitu malam yang terbaik dari seribu malam dan pada bulan tersebut menjelang hari raya tiba umat Islam di wajibkan untuk membayar zakat yang dinamakan dengan zakat fitrah dan pada malam menjelang Idul Fitri umat Islam beramai-ramai mengumandangkan takbir dengan penuh semangat kemenangan sebagai rasa keberhasilannya yang telah melewati ujian untuk menahan hawa nafsu dengan melakukan berpuasa wajib di bulan suci ramadhan.
Makna keruhanian yang pertama dari perayaan Hari Raya Idul Fitri adalah sebagai tanda terima kasih atau rasa syukur umat Islam kepada Allah Yang Maha Esa, karena pada dasarnya manusia telah diberikan nikmat yang tidak terbatas dan tidak ternilai harganya. Umat Islam bisa saling berbagi kasih dan sayangnya dengan bentuk saling memberi dan saling mengungkapkan perasaan maaf dan memaafkan.
Selanjutnya Idul Fitri merupakan hari dimana umat manusia telah menyelesaikan sebuah perjalan ritualitas yang bertujuan untuk menyucikan dirinya selama sebulan penuh. Ibadah itu sebagai penguatan ukhuwah manusia yang merupakan sendi dalam kehidupan masyarakat. Panggilan untuk senantiasa berpikir tidak dalam kerangka individual semata, melainkan dalam kerangka kemasyarakatan. Oleh karena itulah, umat Islam berpuasa pada hakikatnya menjalankan rutinitas orang-orang yang memang dalam kehidupan kesehariannya seperti itu terus menerus, baik itu di bulan puasa maupun diluar bulan puasa, maka dari itu manusia diuji untuk melakukan rutinitas sebagaimana dimaksud untuk merasakan lapar, haus, dan sesuatu yang bisa membatalkan ibadah itu. Ini merupakan tugas yang tidak ringan tapi tugas yang mulia.
Setelah umat Islam mampu bersama orang lain, umat Islam berpuasa dengan merasa kehausan, letih, lapar dan umat Islam sulitnya menjaga stamina, dan umat Islam semua merasakan kebersamaan itu dengan orang-orang yang hidupnya terus menerus seperti itu baik dalam bulan ramadhan maupun bulan-bulan sebelumnya, yang di sebabkan keterbelakangan atau kemelaratan atau kebodohan. Maka sudah seharusnya umat Islam memandang bulan suci ramadhan ini sebagai upaya beribadah dalam bentuk yang lebih tinggi lagi daripada bentuk lahiriah seperti bentuk lapar, haus dan lainnya. karena ini salah satu tugas keutusan nabi Muhammad kepada manusia, seperti dalam al Quran
“wama arsalnaka illa rohmatan lil’alamin
Artinya: “Aku utus engkau (Muhammad saw) supaya membawa ikatan yang kokoh di antara seluruh manusia”.
Jadi tugas keutusan beliau sebagai nabi, akan di kokohkan lagi dengan menguatkan ikatan kemasyarakatan dalam bulan ramadhan. Dengan demikian ibadah puasa harus memenuhi sesi-sesi formalistik[7], ritualistik[8] dan sosialistik[9], sehingga ibadah puasa menjadi sempurna. Dengan demikian manusia bisa merasakan syukur yang luar biasa atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya.
Idul Fitri merupakan kelanjutan dari puasa dan zakat,[10] yang sama-sama mengandung makna pembersihan jiwa seseorang, umat Islam bisa kembali pada fitrahnya yaitu saat manusia baru dilahirkan, jiwanya yang bersih suci dan tidak ada dosa. Fitrah adalah sifat yang digunakan untuk mensifati semua yang ada (di dunia) sewaktu awal penciptaannya.[11] Karena puasa mengandung makna sebagai pembersihan jiwa seorang muslim dengan berbagai godaan yang berbentuk hawa nafsu, sedangkan zakat adalah sebagai pembersihan diri jiwa seorang muslim dari harta yang mereka miliki dengan cara memberikan sebagian hartanya dalam bentuk apapun sesuai yang telah ditentukan.
Makna fitrah sebagai suatu "sifat".[12] Sifat di sini berlaku untuk semua makhluk di alam raya. Misalnya malaikat memiliki sifat (fitrah) yang baik, taat, bertasbih, dan tidak pernah melanggar aturan Allah Swt. Sedangkan syaitan berfitrah sebagai mahluk yang buruk dan durhaka. Manusia berfitrah sebagai makhluk yang memiliki semua fitrah yang dimiliki oleh semua apa yang ada di alam raya ini.
Fitrah berarti bawaan alami. Artinya sifat – fitrah merupakan sesuatu yang melekat dalam diri manusia (bersifat bawaan) dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha (pendidikan). Manusia mengatahui bahwa dirinya mengetahui apa yang dia ketahui. Artinya dalam diri manusia terdapat sekumpulan hal yang bersifat fitrah.[13]
Idul Fitri merupakan satu momen bagi kehidupan manusia guna memperbaiki posisinya dalam mengurangi perjalanan hidup di dunia yaitu, bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Perayaan Idul Fitri memang melambangkan upaya manusia untuk menyadari fitrahnya sekaligus menyadari betapa Maha Besarnya Allah, Maha Suci dan Maha Perkasa. Jadi orang-orang beriman menangkap makna Idul Fitri sebagai hari kemanusiaan universal yang suci. Manusia adalah suci, dan harus berbuat suci kepada sesamanya.[14]
Pada perayaan Hari Raya Idul Fitri dilaksanakan, umat Islam melakukan sebuah tradisi sungkem khususnya antar keluarga. Hal tersebut mempunyai makna agar dosa-dosanya bisa hilang dan dihapuskan dengan saling maaf dan memaafkan dengan penuh rasa keikhlasan. Selain kepada keluarga juga kepada para kerabat, sahabat, teman, guru serta para warga yang ada di seumat Islamrnya. Dengan itu, di hari setelah perayaannya umat Islam bisa melakukan introspeksi diri dengan membenahi sifat-sifat yang buruk dan merubahnya untuk menjadi yang lebih baik.
Dosa-dosa yang telah diperbuat baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja bisa hilang antar sesama dengan saling memaafkan, karena manusia sifatnya hidup secara sosial jadi acap kali tanpa sengaja manusia melakukan kesalahan antar sesamanya baik dari perkataan dan perbuatan. Ini akan sangat membekas sekali rasanya untuk umat Islam pada waktu merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Dari makna yang serba ruhani sebagai kelanjutan dan buah keruhanian selama Ramadhan, Idul Fitri melimpahkan hikmahnya kepada segi-segi kehidupan sosial yang luas dan sangat bermakna. Sejak simbolisme zakat fitrah yang merupakan rasa setia kepada sesama manusia dan kemanusiaan, sampai kepada tradisi maaf-memaafkan, halal-bihalal dan mudik untuk menyatu kembali dengan keluarga, Idul Fitri memberi bekal keruhanian baru kepada masyarakat untuk menempuh hidup selama setahun mendatang.[15]
Idul Fitri mempunyai dimensi sosial yang sangat besar khususnya dimensi kekeluargaannya. Pada hari itu, semua merasakan dorongan yang sangat kuat untuk bertemu dengan ayah, ibu, anak, kakek, nenek, saudarasaudara yang lain, masyarakat dan kampung halamannya untuk bersama-sama merayakan Hari Raya Idul Fitri.[16]
Pada hari itu umat Islam saling berbagi kebahagiaan, berbagi kasih dan berbagi perhatiannya sebagai kelonggaran terhadap sesamanya terutama untuk orang-orang fakir dan kerabat-kerabat keluarga mereka. Para dermawan menyisihkan sebagian hartanya untuk saling berbagi dengan penuh keikhlasan.
Di berbagai tempat perusahaan atau perindustrian, menjelang hari itu ada yang mempunyai program berbagi kasih dengan memberikan santunan kepada orang-orang fakir dan anak-anak yatim yang berupa makanan, pakaian dan lain sebagainya. Akan sangat berkesan sekali di hati manusia ketika ia bisa saling berbagi.
Sebelum hari Idul Fitri dilaksanakan, umat Islam juga diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. Hal tersebut juga mengandung makna social yang tinggi, karena bulan Ramadhan dan perayaan Hari Raya Idul Fitri tiba, tidak ada lagi orang-orang yang meminta atau mengemis untuk mencukupi kebutuhannya karena umat Islam sudah bersama-sama diwajibkan untuk membayar zakat fitrah untuk saling melengkapi kebutuhannya.
Selain itu Idul Fitri juga mempunyai makna perekonomian yang sangat besar sekali bagi masyarakat khususnya bagi para orang-orang yang mencari penghasilan dengan berjualan berbagai macam kebutuhan pokok pada hari hari menjelang perayaan Idul Fitri di laksanakan, seperti baju-baju baru, bahan-bahan makanan dan lain-lain.
Hal ini juga dilihat dari segi bagaimana orang bekerja dan menabung dari jauh-jauh hari untuk mempersiapkan segala kebutuhannya agar kelak bisa dinikmati hasilnya pada berlebaran atau waktu Idul Fitri tiba. Terutama bagi anggota keluarganya yang bekerja atau tinggal secara berjauhan di luar kota, sangat di elu-elukan sekali kedatangannya untuk saling berbagi kasih dan berbagi rezeki, yang sudah didapatkan dan dipersiapkannya dari hari sebelumnya.
Gebyar lebaran yang disemarakkan dengan aneka mode pakaian baru, makanan lezat,[17] mudik, silaturrahmi dan hingar-bingar kesenangannya merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dipisahkan dalam Hari Raya Idul Fitri.[18] Fenomena seperti inilah yang kerap kali terjadi ketika Idul Fitri tiba. Di sinilah Idul Fitri adalah hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal.
Setiap negara yang berpenduduk muslim, dalam merayakan Idul Fitri biasanya memiliki cara dan tradisi yang berbeda-beda sesuai corak kebudayaan bangsanya. Cara dan tradisi tersebut juga terjadi di Indonesia Bagaimana pun tradisi-tradisi ini, ternyata sudah berkembang pada zaman Nabi SAW, baik yang berupa makanan, berpakaian baru, hiburan atau permainan, silaturahim dan sebagainya, meskipun dengan bentuk yang sangat sederhana sesuai dengan keadaan sosial budaya masyarakat saat itu.[19]
C.  Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa Idul Fitri merupakan puncak dari suatu metode pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial harmonis yang didasarkan pada hubungan solidaritas yang kuat.
Saya mohon perlindungan Allah atas kekurangan dan kesalahan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


[1] Istilah orang Jawa menyebut Idul Fitri
[2] Dalam bahasa Arab yang disebut Ghofuro yan berarti Ampunan
[3] Connolly,peter. Aneke Pendekatan Studi Agama. (Yogyakarta:Lkis Yogyakarta.2009), h. 67
[4] Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab—Indonesia Terlengkap”, Pustaka Progressif, Edisi Kedua–Cetakan Keempat belas 1997
[5] M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an — Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX : Muharram 1428H/ Februari 2007
[6] Nurcholis Majid, Dialog Bersama Cak Nun “Merenungi Makna dan Hikmah Ibadah Puasa, Nuzulul Quran,Lailatul Qadar, Zakat dan Idul Fitri” (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 128.
[7] Suatu yang umat Islam laksanakan untuk menjaga ibadah puasa agar menjadi sempurna puasa umat Islam (mencegah sesuatu yang membatalkan puasa, seperti tidak makan, minum, dan tidak melakukan hubungan intim)
[8] Suatu sikap yang lebih mementingkan individu (seperti sholat, membaca AL-Qur’an terus menerus) hanya memikirkan bagaimana dirinya mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya.
[9] Suatu sikap yang memiliki hubungan dengan orang lain, (seperti menolong orang lain, memberikan bantuan fakir miskin, dan ikut merasakan penderitaan orang lain.
[10] Nurcholis Majid, h. 129.
[11] Abu al-Baqa Ayyub ibn Musa al-Husain, al-Kulliyat : Mu'jam Fi al-Mustalah Wa al-Furuq al-Lugowiyah (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1992), h. 698.
[12] Murtadha Muthahhari, Fitrah (Jakarta: Lentera, 2008), h. 19.
[13] Murtadha Muthahhari, h. 20.
[14] Nurcholis Majid, h. 137.
[15] Nurcholis Majid, h. 137.
[16] Nurcholis Majid, h. 128.
[17] Makanan khas yang biasa dibuat dan disajikan pada perayaan Idul Fitri. Bagi bangsa Indonesia, salah satu makanan yang menjadi ciri khas dari hari raya ini adalah Ketupat. Orang Jawa menyebutnya kupat, yang berarti mengaku lepat, atau mengaku bersalah. Sehingga ketupat dianggap sebagai simbol silaturahmi di Hari Lebaran, sekaligus lambang permintaan maaf.
[18] Achmad Suyuti, Nuansa Ramadhan: Puasa dan Lebaran (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), h. 130.
[19] Ali Musthafa Yaqub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 90.