‘IDUL FITRI DARI
SUDUT FENEMENOLOGI”
“Alhamdulillahi
hadanaila ila shirotil mustaqim, wassholatu wassalamu ‘ala nabiyyinal karim,
sayyidina muhammadin shollahualaihi wassalama wa “ala alihi wasohbihi alladzina
tamassaku jamiahum bidinissalim,, walahaula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil
adzim”.
A. Latar Belakang
Idul fitri pada
hakikatnya merupakan akhir dari sebuah perjalanan yang berupa Ibadah bulan
Ramadhan (bulan Puasa). Ibadah puasa ini disifati dalam al Qur’an “Bahwa
atas kalian telah diwajiban ibadah puasa sebagai mana ia di wajibkan atas
umat-umat lain sebelum kalian”. Puasa sebagai kewajiban bagi setiap umat muslim
yang harus di jalankan dan tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan alas
an-alasan yang membenarkan hal itu. Dalam ungkapan lain, ibadah puasa yang
dimasukkan dalam satu bungkus kegiatan bulan ramadhan. Bulan ini di ungkapkan
sebagai ‘Syahrul ramadhan awwaluhu rohmatun wawasathuhu maghfirotun wa
akhiruhu ‘itqun minannar’. Bulan ramadhan awalnya adalah penguatan
tali-tali ikatan antar manusia, di tengah-tengah bulan ramadhan sebagai
pemberian ampun atas segala kesalahan, dan pada akhir bulan ramadhan berarti
pembebasan dari ancaman api neraka.
Idul Fitri atau hari raya lebaran[1]
merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di
Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan, kesejahteraan dan
demi solidaritas masyarakat di Jawa.
Penyebaran agama Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
sebagian besar orang jawa yang akhirnya mengalami perkembangan pesat diseluruh
Nusantara sehingga istilah Lebaran meluas ke berbagai penjuru tanah Air. Untuk
mempertajam pengetahuan akulturasi budaya tersebut, setidaknya harus mengetahui
profil budaya Islam secara global.
Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain
Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi
berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Budaya timur tengah
lebih menekankan pada keakraban yaitu dengan berpelukan namun tidak secara
masal seperti jabat tangan yang ada di Indonesia.
Dalam Qur’an Surah Ali Imran 134 yang Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Berdasarkan ayat di atas menerangkan bahwa saling memaafkan
itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa
Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada
orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut. Bahkan
Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain.
Sehingga para ulama di Jawa ingin menyempurnakan tujuan puasa
Ramadan dengan menggabungkan dua alkuturasi budaya tersebut. Selain untuk
meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang
lampau diampuni oleh Allah SWT dan diampuni oleh sesama manusia dalam bentuk
kolektif yang dalam bentuk Halal bi Halal dan sungkem kepada orang tua
agar di ngapuro[2]
dosanya. Seseorang yang berdosa kepada Allah SWT bisa langsung mohon
pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia
masih bersalah kepada orangorang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka.
B. Pembahasan
Sebelum pembahasan mengenai
Idul fitri dari kacamata fenomenologi, terlebih dahulu akan dipaparkan apa itu
fenomenologi. Fenomenologi merupakan suatu
pendekatan yang menganggap bahwa kesadaran sebagai
pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi
sebagai muatan realisme. Selanjutnya,
fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek
yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau
tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan
cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan
kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan
atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.[3]
Idul Fitri yang di artikan sebagai kasru ash-shawmi,[4]
yang artinya hal buka puasa. Selain fith-run, buka puasa disebut juga ifthâr
(sighat mashdar dari afthara – yufthiru). Senada dengan
hal tersebut, makan pagi yang dalam bahasa Inggris umat Islam kenal dengan
istilah breakfast (menghentikan puasa), dalam bahasa Arab disebut futhûr.
Dalam pandangan lain kata fithr berarti asal kejadian,
agama yang benar atau kesucian.[5]
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan pula bahwa Idul Fitri bisa berarti
kembalinya umat Islam kepada keadaan suci, atau keterbebasan dari segala dosa
dan noda sehingga berada dalam kesucian (fitrah).
Idul Fitri sebagai hari raya keagamaan mempunyai kedudukan
yang tinggi bagi umat Islam yang mengandung makna keruhanian[6]
dan merupakan hari kemenangan bagi umat manusia khususnya umat muslim diseluruh
penjuru dunia. Hal ini dilihat dari pengertian Idul Fitri serta dari semua tata
cara pelaksanaan pada waktu menjelang Idul Fitri seperti menjalankan ibadah
puasa ramadhan sebulan penuh untuk menahan segala hawa nafsu sampai waktunya
untuk berbuka, dan di dalam bulan tersebut terdapat sebuah malam Lailatul
Qadar yaitu malam yang terbaik dari seribu malam dan pada bulan tersebut
menjelang hari raya tiba umat Islam di wajibkan untuk membayar zakat yang
dinamakan dengan zakat fitrah dan pada malam menjelang Idul Fitri umat Islam
beramai-ramai mengumandangkan takbir dengan penuh semangat kemenangan sebagai
rasa keberhasilannya yang telah melewati ujian untuk menahan hawa nafsu dengan
melakukan berpuasa wajib di bulan suci ramadhan.
Makna keruhanian yang pertama dari perayaan Hari Raya Idul
Fitri adalah sebagai tanda terima kasih atau rasa syukur umat Islam kepada
Allah Yang Maha Esa, karena pada dasarnya manusia telah diberikan nikmat yang
tidak terbatas dan tidak ternilai harganya. Umat Islam bisa saling berbagi
kasih dan sayangnya dengan bentuk saling memberi dan saling mengungkapkan
perasaan maaf dan memaafkan.
Selanjutnya Idul Fitri merupakan hari dimana umat manusia
telah menyelesaikan sebuah perjalan ritualitas yang bertujuan untuk menyucikan
dirinya selama sebulan penuh. Ibadah itu sebagai penguatan ukhuwah manusia
yang merupakan sendi dalam kehidupan masyarakat. Panggilan untuk senantiasa
berpikir tidak dalam kerangka individual semata, melainkan dalam kerangka
kemasyarakatan. Oleh karena itulah, umat Islam berpuasa pada hakikatnya
menjalankan rutinitas orang-orang yang memang dalam kehidupan kesehariannya
seperti itu terus menerus, baik itu di bulan puasa maupun diluar bulan puasa,
maka dari itu manusia diuji untuk melakukan rutinitas sebagaimana dimaksud
untuk merasakan lapar, haus, dan sesuatu yang bisa membatalkan ibadah itu. Ini merupakan
tugas yang tidak ringan tapi tugas yang mulia.
Setelah umat Islam mampu bersama orang lain, umat
Islam berpuasa dengan merasa kehausan, letih, lapar dan umat Islam sulitnya
menjaga stamina, dan umat Islam semua merasakan kebersamaan itu dengan
orang-orang yang hidupnya terus menerus seperti itu baik dalam bulan ramadhan
maupun bulan-bulan sebelumnya, yang di sebabkan keterbelakangan atau
kemelaratan atau kebodohan. Maka sudah seharusnya umat Islam memandang bulan
suci ramadhan ini sebagai upaya beribadah dalam bentuk yang lebih tinggi lagi
daripada bentuk lahiriah seperti bentuk lapar, haus dan lainnya. karena ini
salah satu tugas keutusan nabi Muhammad kepada manusia, seperti dalam al Quran
“wama arsalnaka illa rohmatan lil’alamin”
Artinya:
“Aku utus engkau (Muhammad saw) supaya membawa ikatan yang kokoh di antara
seluruh manusia”.
Jadi tugas keutusan beliau sebagai nabi, akan di
kokohkan lagi dengan menguatkan ikatan kemasyarakatan dalam bulan ramadhan. Dengan
demikian ibadah puasa harus memenuhi sesi-sesi formalistik[7], ritualistik[8] dan
sosialistik[9],
sehingga ibadah puasa menjadi sempurna. Dengan demikian manusia bisa merasakan
syukur yang luar biasa atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya.
Idul Fitri merupakan kelanjutan dari puasa dan zakat,[10]
yang sama-sama mengandung makna pembersihan jiwa seseorang, umat Islam bisa
kembali pada fitrahnya yaitu saat manusia baru dilahirkan, jiwanya yang bersih
suci dan tidak ada dosa. Fitrah adalah sifat yang digunakan untuk mensifati
semua yang ada (di dunia) sewaktu awal penciptaannya.[11]
Karena puasa mengandung makna sebagai pembersihan jiwa seorang muslim dengan
berbagai godaan yang berbentuk hawa nafsu, sedangkan zakat adalah sebagai
pembersihan diri jiwa seorang muslim dari harta yang mereka miliki dengan cara
memberikan sebagian hartanya dalam bentuk apapun sesuai yang telah ditentukan.
Makna fitrah sebagai suatu "sifat".[12]
Sifat di sini berlaku untuk semua makhluk di alam raya. Misalnya malaikat
memiliki sifat (fitrah) yang baik, taat, bertasbih, dan tidak pernah melanggar
aturan Allah Swt. Sedangkan syaitan berfitrah sebagai mahluk yang buruk dan
durhaka. Manusia berfitrah sebagai makhluk yang memiliki semua fitrah yang
dimiliki oleh semua apa yang ada di alam raya ini.
Fitrah berarti bawaan alami. Artinya sifat – fitrah merupakan
sesuatu yang melekat dalam diri manusia (bersifat bawaan) dan bukan sesuatu
yang diperoleh melalui usaha (pendidikan). Manusia mengatahui bahwa dirinya
mengetahui apa yang dia ketahui. Artinya dalam diri manusia terdapat sekumpulan
hal yang bersifat fitrah.[13]
Idul Fitri merupakan satu momen bagi kehidupan manusia guna
memperbaiki posisinya dalam mengurangi perjalanan hidup di dunia yaitu, bagi
orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Perayaan Idul Fitri
memang melambangkan upaya manusia untuk menyadari fitrahnya sekaligus menyadari
betapa Maha Besarnya Allah, Maha Suci dan Maha Perkasa. Jadi orang-orang
beriman menangkap makna Idul Fitri sebagai hari kemanusiaan universal yang
suci. Manusia adalah suci, dan harus berbuat suci kepada sesamanya.[14]
Pada perayaan Hari Raya Idul Fitri dilaksanakan, umat Islam
melakukan sebuah tradisi sungkem khususnya antar keluarga. Hal tersebut
mempunyai makna agar dosa-dosanya bisa hilang dan dihapuskan dengan saling maaf
dan memaafkan dengan penuh rasa keikhlasan. Selain kepada keluarga juga kepada
para kerabat, sahabat, teman, guru serta para warga yang ada di seumat Islamrnya.
Dengan itu, di hari setelah perayaannya umat Islam bisa melakukan introspeksi
diri dengan membenahi sifat-sifat yang buruk dan merubahnya untuk menjadi yang
lebih baik.
Dosa-dosa yang telah diperbuat baik yang disengaja maupun
yang tidak disengaja bisa hilang antar sesama dengan saling memaafkan, karena
manusia sifatnya hidup secara sosial jadi acap kali tanpa sengaja manusia
melakukan kesalahan antar sesamanya baik dari perkataan dan perbuatan. Ini akan
sangat membekas sekali rasanya untuk umat Islam pada waktu merayakan Hari Raya
Idul Fitri.
Dari makna yang serba ruhani sebagai kelanjutan dan buah
keruhanian selama Ramadhan, Idul Fitri melimpahkan hikmahnya kepada segi-segi
kehidupan sosial yang luas dan sangat bermakna. Sejak simbolisme zakat fitrah
yang merupakan rasa setia kepada sesama manusia dan kemanusiaan, sampai kepada
tradisi maaf-memaafkan, halal-bihalal dan mudik untuk menyatu kembali dengan
keluarga, Idul Fitri memberi bekal keruhanian baru kepada masyarakat untuk
menempuh hidup selama setahun mendatang.[15]
Idul Fitri mempunyai dimensi sosial yang sangat besar
khususnya dimensi kekeluargaannya. Pada hari itu, semua merasakan dorongan yang
sangat kuat untuk bertemu dengan ayah, ibu, anak, kakek, nenek, saudarasaudara
yang lain, masyarakat dan kampung halamannya untuk bersama-sama merayakan Hari
Raya Idul Fitri.[16]
Pada hari itu umat Islam saling berbagi kebahagiaan, berbagi
kasih dan berbagi perhatiannya sebagai kelonggaran terhadap sesamanya terutama
untuk orang-orang fakir dan kerabat-kerabat keluarga mereka. Para dermawan
menyisihkan sebagian hartanya untuk saling berbagi dengan penuh keikhlasan.
Di berbagai tempat perusahaan atau perindustrian, menjelang
hari itu ada yang mempunyai program berbagi kasih dengan memberikan santunan
kepada orang-orang fakir dan anak-anak yatim yang berupa makanan, pakaian dan
lain sebagainya. Akan sangat berkesan sekali di hati manusia ketika ia bisa
saling berbagi.
Sebelum hari Idul Fitri dilaksanakan, umat Islam juga
diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. Hal tersebut juga mengandung makna
social yang tinggi, karena bulan Ramadhan dan perayaan Hari Raya Idul Fitri
tiba, tidak ada lagi orang-orang yang meminta atau mengemis untuk mencukupi
kebutuhannya karena umat Islam sudah bersama-sama diwajibkan untuk membayar
zakat fitrah untuk saling melengkapi kebutuhannya.
Selain itu Idul Fitri juga mempunyai makna perekonomian yang
sangat besar sekali bagi masyarakat khususnya bagi para orang-orang yang
mencari penghasilan dengan berjualan berbagai macam kebutuhan pokok pada hari
hari menjelang perayaan Idul Fitri di laksanakan, seperti baju-baju baru,
bahan-bahan makanan dan lain-lain.
Hal ini juga dilihat dari segi bagaimana orang bekerja dan
menabung dari jauh-jauh hari untuk mempersiapkan segala kebutuhannya agar kelak
bisa dinikmati hasilnya pada berlebaran atau waktu Idul Fitri tiba. Terutama
bagi anggota keluarganya yang bekerja atau tinggal secara berjauhan di luar
kota, sangat di elu-elukan sekali kedatangannya untuk saling berbagi kasih dan
berbagi rezeki, yang sudah didapatkan dan dipersiapkannya dari hari sebelumnya.
Gebyar lebaran yang disemarakkan dengan aneka mode pakaian
baru, makanan lezat,[17]
mudik, silaturrahmi dan hingar-bingar kesenangannya merupakan suatu fenomena
yang tidak bisa dipisahkan dalam Hari Raya Idul Fitri.[18]
Fenomena seperti inilah yang kerap kali terjadi ketika Idul Fitri tiba. Di
sinilah Idul Fitri adalah hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1
Syawal.
Setiap negara yang berpenduduk muslim, dalam merayakan Idul
Fitri biasanya memiliki cara dan tradisi yang berbeda-beda sesuai corak
kebudayaan bangsanya. Cara dan tradisi tersebut juga terjadi di Indonesia
Bagaimana pun tradisi-tradisi ini, ternyata sudah berkembang pada zaman Nabi
SAW, baik yang berupa makanan, berpakaian baru, hiburan atau permainan,
silaturahim dan sebagainya, meskipun dengan bentuk yang sangat sederhana sesuai
dengan keadaan sosial budaya masyarakat saat itu.[19]
C. Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa Idul Fitri
merupakan puncak dari suatu metode pendidikan mental yang berlangsung selama
satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir batin, memiliki
kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial harmonis yang
didasarkan pada hubungan solidaritas yang kuat.
Saya mohon perlindungan Allah atas kekurangan
dan kesalahan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
[1] Istilah orang Jawa
menyebut Idul Fitri
[2] Dalam bahasa
Arab yang disebut Ghofuro yan berarti Ampunan
[4] Ahmad Warson Munawwir, “Kamus Al-Munawwir
Arab—Indonesia Terlengkap”, Pustaka Progressif, Edisi Kedua–Cetakan Keempat
belas 1997
[5] M. Quraish Shihab, Dr, “Wawasan Al-Qur’an —
Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat”, Penerbit Mizan, Cetakan XIX :
Muharram 1428H/ Februari 2007
[6] Nurcholis Majid, Dialog Bersama
Cak Nun “Merenungi Makna dan Hikmah Ibadah Puasa, Nuzulul Quran,Lailatul
Qadar, Zakat dan Idul Fitri” (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 128.
[7] Suatu yang umat Islam laksanakan untuk menjaga ibadah puasa
agar menjadi sempurna puasa umat Islam (mencegah sesuatu yang membatalkan
puasa, seperti tidak makan, minum, dan tidak melakukan hubungan intim)
[8] Suatu sikap
yang lebih mementingkan individu (seperti sholat, membaca AL-Qur’an terus
menerus) hanya memikirkan bagaimana dirinya mendapatkan pahala
sebanyak-banyaknya.
[9] Suatu sikap
yang memiliki hubungan dengan orang lain, (seperti menolong orang lain, memberikan
bantuan fakir miskin, dan ikut merasakan penderitaan orang lain.
[10] Nurcholis Majid, h. 129.
[11] Abu al-Baqa Ayyub ibn Musa al-Husain, al-Kulliyat : Mu'jam Fi
al-Mustalah Wa al-Furuq al-Lugowiyah (Beirut : Muassasah al-Risalah, 1992),
h. 698.
[12] Murtadha
Muthahhari, Fitrah (Jakarta: Lentera, 2008), h. 19.
[13] Murtadha
Muthahhari, h. 20.
[14] Nurcholis
Majid, h. 137.
[15] Nurcholis
Majid, h. 137.
[16] Nurcholis
Majid, h. 128.
[17] Makanan khas yang
biasa dibuat dan disajikan pada perayaan Idul Fitri. Bagi bangsa Indonesia,
salah satu makanan yang menjadi ciri khas dari hari raya ini adalah Ketupat.
Orang Jawa menyebutnya kupat, yang berarti mengaku lepat, atau mengaku
bersalah. Sehingga ketupat dianggap sebagai simbol silaturahmi di Hari Lebaran,
sekaligus lambang permintaan maaf.
[18] Achmad
Suyuti, Nuansa Ramadhan: Puasa dan Lebaran (Jakarta: Pustaka Amani,
1996), h. 130.
[19] Ali Musthafa
Yaqub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 90.