Pemikiran Fikih Ali Yafie
Fikih dalam Agama Islam menempati posisi kunci sebagai
produk pemikiran ulama yang mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas
teks/nash dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan jamannya. Dalam khasanah
fikih klasik dikenal berbagai macam aliran fikih yang mencerminkan
kecenderungan para fuqaha dalam melakukan ijtihad (intellectual
exercise). Kecenderungan itu dipengaruhi oleh ragam pendekatan dan
metodologi yang digunakan dalam melakukan ijtihad . Ada aliran Fikih
yang cenderung liberal, karena memberi porsi lebih besar kepada akal untuk
terlibat dalam proses ijtihad , ada aliran yang cenderung literal karena
berusaha menempatkan teks sebagai faktor dominan proses ijtihad,
sehingga muncul aliran penengah yang berusaha memberikan porsi yang sama antara
teks dan wahyu.[1]
Fikih sebagai formulasi pemahaman syari’ah memiliki dua
tujuan, pertama adalah untuk membangun perilaku setiap individu muslim
berdasarkan akidah, syari’ah dan akhlak; dan kedua adalah untuk merealisasikan
sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang memiliki jati diri keadilan,
persamaan dan kemitraan.[2]
Berbagai ragam aliran Fikih pada era klasik lebih
mencerminkan bentuk solusi kongkret problem masyarakat yang dapat dijadikan
pedoman bagi umat dalam menyelesaikan problem-problem itu. Inilah yang dimaksud
oleh Hasan Hanafi [3] dengan
nilai praksis pemikiran keagamaan, sebuah segmen yang
sering diabaikan oleh para pemikir yang lebih senang bergulat dengan wacana
yang terkadang tidak memiliki bobot implementasi di lapangan.
Dalam rangka mewujudkan tatanan sosial yang ideal,
pembidangan fikih harus sesuai dengan dimensi kebutuhan manusia. Dalam konteks
ini, fikih terbagi menjadi fikih ibadah dan fikih muamalah (meliputi fikih
siyasah, jinayat, munakahat, dan sebagainya). Dalam batas tertentu, fikih
dipahami masih berkecenderungan legal-formal ketika berhadapan dengan
kosmopolitanisme kultur manusia. Akibatnya, manifestasi fikih dirasakan tidak
aspiratif dalam menjawab tantangan zaman. Jika diamati, kecenderungan belum
responsifnya wajah fikih karena peran kerangka teoritik ilmu
ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer.[4]
Hal ini memunculkan kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer,
selain itu akibat
dari ditutupnya kran pintu ijtihad mulai abad ke-4 H/10 M. N.J Coulson dan
Schacht mengatakan tertutupnya pintu ijtihad karena juris Islam merasa semua
permasalahan hukum telah di bahas dan hokum yang komprehensif telah berhasil di
tegakkan, namun Wael B. Hallaq menolak karena hal ini tidak sesuai dengan
kenyataan sebagaimana yang ada dalam literature Islam.[5]
Selain itu terdapat indikasi keterbatasan dalam penguasaan khazanah keilmuan
fikih yang pada gilirannya membawa dampak terhadap munculnya pemahaman tunggal
terhadap mazhab sehingga kurang kurang responsif terhadap pemikirian mazhab
yang lain.
Dalam konteks mencari solusi untuk membongkar kejumudan
pemikiran fikih selama ini, upaya pemahaman dan pemaknaan fikih secara
kontekstual menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan pendekatan “etis”
(aspek moral) dengan berorientasi pada sisi esoteris (hakikat) fikih yang
mengacu pada ruh tasyri’ atau maqashid al-syari’ah menjadi agenda
penting dalam rangka mereformulasikan substansi dan tujuan hukum. Untuk itu,
yang harus dikedepankan dalam mengambil suatu keputusan hukum adalah
nilai-nilai yang mengutamakan kemaslahatan dan keadilan sebagai tujuan hukum.
Dalam kerangka inilah nalar fikih sosial hadir sebagai bentuk pengembangan
fikih mazhab yang menjadi bagian dari fikih NU.[6]
Perkembangan fikih di Indonesia juga tidak terlepas dari
berbagai corak dan ragam, karena fiqh di Indonesia memiliki keunikan tersendiri
sesuai dengan masyarakat nusantara yang fiqh
oriented. Hal ini karena fiqh mengandung berbagai implikasi konkret bagi
prilaku keseharian baik individu maupun masyarakat.[7]
Dalam perkembangan pemikiran hukum di Indonesia, banyak tradisi-tradisi yang
terakomodasi dalam system hukum Islam meski juga adanya hukum positive warisan
dari belanda yang membawa pada munculnya prulalisme hukum di Indonesia. salah
satunya adalah pemikiran hukum islam baca : fiqh yang bercorak sosialis. Dikatakan
sosialis karena fiqih harus dibaca dalam konteks pemecahan
dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan primer (dharuriyah),
kebutuhan sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan tersier (tahsiniyah).
Fiqih sosial tidak sekedar sebagai alat untuk melihat setiap persoalan dari
kaca mata hitam putih, tetapi lebih menempatkan fiqih sebagai paradigma
pemaknaan secara social.
Salah satu tokoh yang berusaha mengembangkan fikih dengan
pendekatan social adalah K.H. Ali Yafie seorang tokoh ahli dalam bidang fikih,
mencoba menggagas fikih yang lebih bernuansa social. Ia berusaha berijtihad dan
memperkenalkan serta menunjukkan bahwa fikih bukanlah sesuatu yang kaku seperti
dipahami oleh kebanyakan masyarakat Islam tentang Fiqh
yang sangat formalistik dalam konteks sosial yang ada, sehingga ajaran syari’at
yang tertuang dalam Fiqh terkadang terlihat tidak searah dengan bentuk
kehidupan praktis sehari-hari. Gagasannya tentang fikih social merupakan hasil ijtihadnya setelah
mencermati perkembangan fikih selama ini dengan kondisi sosial masyarakat
khususnya di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Biografi Ali
Yafie
K.H. Ali Yafie adalah sosok yang sangat unik dalam pandangan
beberapa kalangan. Betapa tidak karena ia hanya berangkat dari pendidikan non
formal—belajar secara otodidak—namun dengan ilmunya yang luas dan
mendalam memposisikannya sebagai ulama yang disegani dan dikagumi. Ia mampu
duduk satu forum dengan intelektual kaliber semisal Nurcholish Madjid, Quraish
Shihab, Habibie, dan lain-lain. Karenanya, tidaklah berlebihan jika pada suatu
kesempatan Cak Nur pernah berkata kepada Prof. Dr. Satria Effendi, "Ali
Yafie itu diam-diam tetapi ternyata pintar".
K.H. Ali Yafie lahir di Wani-Donggala Sulawesi Tengah 1
September 1924, putra dari K.H. Muhammad Yafie. Ia lahir dari keluarga terdidik
dan sangat beruntung karena merupakan turunan dari seorang ulama besar.
Kakeknya Syaikh Abdul Hafidz Bugis, salah seorang ulama terkemuka Indonesia
yang pernah menjadi Guru Besar di Masjid al-Haram. Dua ulama lainnya adalah
Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga
pernah menjadi Imam di Masjid al-Haram. Warisan kitab dari kakeknya sangat
besar peranannya dalam membentuk khazanah intelektual Ali Yafie. Ayah Ali juga
adalah seorang ulama yang pernah memimpin sebuah sekolah dengan ratusan murid,
selain itu juga mendirikan pesantren Nasrul Haq di Amparita sekaligus menjadi
pengasuhnya.[8]
Ali Yafie terbilang cerdas, sebab dalam usia yang masih
sangat muda, 12 tahun ia sudah dapat membaca kitab kuning. Dengan modal ini,
maka ia pun dikirim oleh ayahnya untuk belajar kepada beberapa ulama atau kiai
terkenal ketika itu di Sulawesi Selatan antara lain, Syaikh Ali Mathar
(Rappang), Syaikh Haji Ibrahim (Sidrap), Syaikh Mahmud Abdul Jawad (Bone),
Syaikh As'ad (Sengkang), Syaikh Ahmad Bone (Ujungpandang), Syaikh Abdurrahman
Firdaus (Jampue-Pinrang). Selain itu Ali Yafie juga mendalami ilmu pengetahuan
umum dan beberapa bahasa asing, jurnalistik, dan ilmu-ilmu bantu lainnya.[9]
Ulama yang tak kalah banyak pengaruhnya terhadap Ali Yafie
adalah Syaikh Abdurrahman Firdaus seorang ulama pengembara dari Mekah. Dalam
perjalanannya ke Indonesia ia singgah di India, Malaysia dan Filipina. Pada
ulama ini Ali Yafie belajar fikih, tafsir dan sastra Arab, selain itu juga
memperoleh banyak informasi tentang isu-isu gerakan pembaruan di Mesir yang
lagi marak kala itu. Dan secara kebetulan Syaikh Abdurrahman Firdaus adalah
pengagum berat Syaikh Rasyid Ridha. Ulama ini pun kemudian mengenalkan
pemikiran tokoh pembaru lainnya seperti Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Jamal
al-Din al-Afghani[10],
selebihnya dipelajarinya secara otodidak.
Dengan memperhatikan pengembaraan Ali Yafie dalam mencari
ilmu, maka tidaklah mengherankan apabila berhadapan dengan kondisi sekarang ia
tidak "gagap", sekalipun ia adalah seorang santri tulen. Lebih dari
itu penampilannya pun nyaris mencerminkan sikap seorang santri, sehingga kerap
disebut sebagai sosok yang sederhana baik dalam perkataan pun perbuatan.
Ali Yafie dalam perjalanan karirnya pun beragam posisi dan
jabatan telah dilaluinya. Ia pernah aktif mengajar mulai dari madrasah hingga
perguruan tinggi bahkan pernah menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang
UIN) Alauddin Makassar. Menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Kepala
Inspektorat Peradilan Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur, menjadi anggota
staf harian merangkap anggota dewan pleno Badan Pembinaan Potensi Karya Kodam
XIV Hasanuddin. Ali Yafie juga aktif dalam dunia politik hingga mengantarkannya
menduduki posisi sebagai Rais Majelis Syura Partai Persatuan Pembangunan dan
mengantarkannya menjadi anggota DPR/MPR RI. Ia menjadi wakil ketua Dewan
Penasehat ICMI Pusat, anggota Dewan Pengawas Syari'ah Bank Muamalat, wakil
ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN (kini UIN) Syarif
Hidayatullah, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta, dan Guru Besar Universitas
Islam Asy Syafi'iyah. Pernah menjadi Rais 'Am Nahdlatul Ulama, salah seorang
unsur ketua MUI, bahkan pernah pula menjabat sebagai Ketua Umumnya dan beberapa
jabatan lainnya.
Prestasi yang diraih Ali Yafie di atas menunjukkan bahwa ia
adalah seorang ulama yang paripurna karena ia dapat diterima oleh semua lapisan
baik umara, intelektual, politikus, eksekutif maupun masyarakat umum, ia
betul-betul telah menjadi milik umat.
Secara detail sebagian karya-karya beliau yang
dipublikasikan adalah : Fikih Perdagangan Bebas, (Bandung: Mizan, 2003).
Beragama secara Praktis : agar hidup lebih bermakna, (Bandung: Mizan,) Menggagas
Fikih Sosial, (Bandung: Mizan, 2000). Merintis Fikih Lingkungan Hidup
(Yayasan Amanah : 2006), Teologi Sosial : telaah kritis Persoalan keagamaan
dan kemanusiaan, (LPKSM: 1997). Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional :
Fiqh, (Paramadina : 1987) buku ini ditulis bersama Nurcholis Madjid. Menolak
Korupsi membangun kesalehan social : kumpulan naskah-teks khutbah, (P3M:2004),
Agama
dan kemiskinan: suatu tinjauan dari segi agama Islam,
(Proyek Penelitian Keagamaan, Departemen Agama, 1981).
B. Pemikiran
Fikih Sosial
Dalam sejarahnya, Fikih Sosial muncul setelah ide-ide
pembaruan Fikih di Indonesia bermunculan, . Kita mengenal ide Fikih Indonesia
yang dipopulerkan oleh Hasby Assidiqie tahun 1960an (bahkan benihnya sudah
muncul sejak 1940an). Ide itu ditindaklanjuti dengan ide Fikih Madzhab Nasional
(Madzhab Indonesia) oleh Hazairin pada tahun 1960an juga . Kemudian KH.
Abdurrahman Wahid pada 1975 menawarkan ide Hukum Islam sebagai Penunjang
Pembangunan. Pada 1980an, Munawir Sjadzali mengusulkan ide Reaktualisasi Ajaran
Islam.[11]
Disusul dengan ide Agama Keadilan oleh Masdar F. Mas'udi pada 1990an.[12]
Kemudian pada 1991 muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang "dianggap"
ijmak Ulama Indonesia, yang diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Baru
kemudian muncul ide Fikih Sosial pada 1994 oleh KH. Sahal Mahfudh dan KH. 'Ali
Yafie.[13]
Gagasan fikih sosial muncul sebagai respon di kalangan
intelektual NU karena adanya ketidakpuasan mereka dengan kondisi Bahtsul Masail
yang terkesan statis, beku, dan kering dari harapan masyarakat sekarang.
Kondisi ini disebabkan oleh masih kuatnya pengaruh pola bermazhab secara qauly
di kalangan mayoritas ulama NU. Padahal, tuntutan masyarakat akan perlunya
hukum Islam yang kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi sosial sekarang
ini tidak hanya datang dari intern warga NU saja, melainkan juga datang dari
masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, menurut Azizy, perlu dilakukan tahapan
untuk mengembalikan kodrat hukum Islam dengan empat langkah berikut:
Pertama,
hukum Islam yang merupakan hasil karya fuqaha atau mujtahidin masa lalu, yang
selama ini ditempatkan di satu sisi sebagai doktrin atau di sisi yang lain
sebagai hal yang tidak diperhitungkan sama sekali, hendaknya ditempatkan pada
proporsi yang sebenarnya, yakni sebagai hasil ijtihad para ulama terdahulu.
Untuk itu, perlu kiranya digunakan istilah “humanisasi hukum Islam (fikih)”,
sehingga doktrin yang mungkin dianggap “sakral” tersebut menjadi sesuatu yang
‘”profan” dapat disentuh akal dan diinterpretasi ulang.
Kedua,
melihat hasil ijtihad tersebut secara kontekstual, sehingga menjadi lebih hidup
dan mempunyai nilai. Berbicara mengenai hasil ijtihad, meskipun tetap disebut
hukum Islam, tidak lepas dari pengaruh subjektivitas pelaku ijtihad (mujtahid)
beserta lingkungan yang melingkupinya. Dengan kata lain, hasil ijtihad itu
sangat erat dengan konteks sosial masyarakat pada saat itu, yang tentunya
berbeda dari konteks masyarakat kita sekarang. Oleh karena itu, usaha
kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad ulama masa lalu perlu digairahkan,
bahkan mestinya menjadi suatu keharusan. Kajian seperti ini tidak cukup hanya
dengan membaca teks dari hasil ijtihad tersebut yang tertulis dalam kitab-kitab
fikih mazhab, namun harus dibarengi dengan kajian yang serius terhadap aspek
sejarah dan sosial yang melingkupi mujtahid ketika itu serta kajian metodologi
yang digunakan dalam menghasilkan keputusan hukum Islam. Dalam hal ini,
pendekatan sejarah, terlebih sejarah sosial dan sosiologi, menjadi sangat
penting. Di samping itu, perlu dikaji tentang sejarah hidup para mujtahid
terutama sekali yang berkaitan dengan pemikiran hukumnya.
Sebagai contoh adalah ketika kita mempelajari hukum-hukum
Islam produk ulama Iraq dan Hijaz yang berbeda misalnya, kita harus pula
mempelajari sejarah dan kehidupan sosial masyarakat Iraq dan Hijaz waktu itu.
Jelaslah bahwa terjadinya perbedaan kesimpulan hukum dari keduanya disebabkan
oleh karena perbedaan kondisi sosial yang ada di Iraq dan Hijaz. Keadaan sosial
masyarakat Hijaz lebih homogen, stabil, dan pengaruh luar sangat sedikit.
Sedangkan keadaan di Iraq konteks sosial masyarakatnya sangat heterogen,
metropolis dengan perubahan yang sangat cepat dan juga pengaruh dari luar
sangat besar dan terbuka. Contoh lain, dapat dilihat dari hasil ijtihad Imam
Syafi’i yang memunculkan dua pendapat (qaul) yang berbeda, meski
terhadap masalah yang sama, yakni Qaul Qadim (yang dihasilkan ketika
beliau di Iraq) dan Qaul Jadid (ketika beliau pindah berada di Mesir).
Perbedaan ini didasari oleh keadaan yang tidak sama antara masyarakat Iraq dan
Mesir, sehingga melahirkan ketetapan hukum yang berbeda pula.[14]
Ketiga,
setelah mampu melakukan kontekstualisasi, barulah mengadakan reaktualisasi. Ini
harus dilandasi dengan kemampuan interpretasi terhadap hasil ijtihad tersebut
–bukan penolakan terhadapnya– dan dilanjutkan dengan reinterpretasi, dan pada
waktunya akan ada tuntutan reformasi atau pembaruan (tajdid) terhadap
ajaran pada tataran praktis yang merupakan pemahaman para mujtahid terhadap
wahyu. Di sini berarti harus terjadi historical continuity dalam
mempelajari hukum Islam secara akademik. Ijtihad dapat berupa pembaruan produk
ijtihad atau ijtihad baru, misalnya terhadap kasus-kasus hukum yang tidak
disebutkan ketentuannya dalam nash, atau untuk kasus-kasus yang sudah pernah
diberi keputusan hukum, namun perlu pembaruan (kontekstualisasi) karena
tuntutan zaman.
Keempat,
perlunya kajian hukum Islam yang melibatkan disiplin ilmu lain. Atau meneliti
hukum Islam yang sudah ada dengan menggunakan pendekatan interdisipliner atau
multidisipliner. Ilmu bantu ini mutlak diperlukan dalam rangka mendekatkan
hukum pada konteks yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
sekarang.[15]
Dibanding ide-ide sebelumnya, Fikih Sosial ternyata tak
menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat sebagaimana ide pembaruan Fikih
lainnya, karena terkait dengan instrumen ide Fikih Sosial itu sendiri yang
mengambil pokok pemikirannya dari rahim tradisi Fikih Klasik yang sudah
mengakar. Yaitu konsep Maqashid al-Syari'ah dan konsep Fardlu
'Ain-Fardlu Kifayah. Selain itu, Fikih Sosial semangat reaktualisasi Fikih
Klasik, sebagai yang telah mengakar di kalangan masyarakat tradisional, juga
sebagai respon atas pandangan miring terhadap Fikih Klasik.
Karena itulah Fikih Sosial merupakan tema yang sangat besar
dan penting dan harus dikontekstualisasikan dengan pandangan masa kini,
sehingga Fikih dituntut harus sedikit demi sedikit berjarak dengan ide
partikularitasnya, menuju wacana perubahan sosial yang konteksnya lebih luas.
Maka Fikih harus menampung beragam fenomena sosial, hingga dari sana muncullah
sifat yang sebelumnya nyaris tak ada: relatifitas Fikih. Fikih Sosial berangkat
bukan sebagai paradigma kebenaran ortodoksi, yang mana merupakan isu sangat
sensitif, namun sebagai paradigma kritik dan pemaknaan sosial.
Fikih sosial berusaha mereaktualisasikan ajaran Fikih
klasik, yang sering dicap buruk, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Yakni
berusaha melihat Nash dari dua sudut pandang sekaligus: tekstual dan
kontekstual, tak ada yang lebih dimenangkan satu sama lain dalam segi
mekanisme. Dalam mekanisme Fikih Sosial mencoba verifikasi kembali mana
persoalan-persoalan agama yang pokok dan mana yang cabang. Itu dilakukan dengan
metode Maqashid al-Syari'ah dengan tipologi dlaruriyyat (primer),
hajjiyyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier).
Ali Yafie dalam kata pengantar bukunya Menggagas Fikih
Sosial mengakui bahwa uraiannya dalam buku tersebut bukanlah merupakan
fatwa, tetapi pemikiran yang berorientasi pada fikih dalam berbagai macam
persoalan menurut pandangan seorang santri. Ia menyadari betul bahwa dirinya
hanyalah seorang santri, meskipun oleh banyak kalangan pemikirannya dipandang
cukup menggambarkan seorang pemikir modern.
Buku Menggagas Fikih Sosial merupakan wadah yang
dijadikan Ali Yafie dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya. Buku ini terbagi
ke dalam beberapa bagian. Pertama, membahas seputar sumber ajaran Islam.
Kedua, tentang perkembangan fikih di Indonesia. Ketiga, masalah
pengembangan masyarakat dalam tinjauan Islam. Keempat, pembangunan
ekonomi dalam tinjauan Islam. Kelima, wanita dan keluarga dalam
perspektif Islam. Dalam buku tersebut ada beberapa hal yang menjadi pokok
bahasan antara lain tentang pengrusakan lingkungan, kemiskinan, kependudukan,
masalah asuransi, wanita dan ukhuwah.
Uraian dalam makalah ini hanya akan membahas beberapa hal
yang dianggap "baru" dan merupakan orisinalitas pemikiran Ali Yafie
sebagai tergambar dalam karyanya Menggagas Fikih Sosial. Model fikih ini
mencoba memberikan jawab terhadap berbagai persoalan dan tantangan zaman
seperti perubahan sosial yang begitu cepat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang kian akseleratif.
Ali Yafie dalam menggagas fikih sosial memulai dengan
pembahasan tentang Al-Qur'an kemudian merambah ke masalah sosial kemasyarakatan
yang aktual dan terkait masalah hukum. Sebagai faqih, Ali Yafie
menginginkan pemahaman Al-Qur'an secara utuh dalam menghadapi tantangan yang
kian berlapis sebagai saat ini. Ali Yafie mengajukan lima tema utama agar dapat
memahami Al-Qur'an secara utuh yaitu: pertama, penegasan dan penguatan
eksistensi wahyu; kedua, pengenalan masalah ketuhanan; ketiga,
pandangan terhadap Islam; keempat, pengenalan manusia dan kemanusiaan;
dan kelima, pandangan terhadap masalah kehidupan.[16]
Menurut Ali Yafie, Al-Qur'an berfungsi untuk memperkenalkan
Allah sekaligus menyampaikan pesannya. Al-Qur'an harus fungsional bagi manusia
untuk hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Wahyu berfungsi sebagai petunjuk
yang menyempurnakan keterbatasan akal dan kelemahan manusia dalam melawan
nafsu.
Berikut akan dikemukakan beberapa pemikiran Ali Yafie dalam
bidang fikih terkait dengan kehidupan sosial antara lain:
a. Fardhu
Kifayah
Dalam pembagian hukum taklifi para ulama membuat lima
katagori hukum: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.[17]
Pembagian tersebut menghendaki adanya perbuatan dari mukallaf. Dari kelima
pembagian tersebut satu di antaranya akan dibahas adalah hukum wajib.
Ulama fikih membagi wajib ke dalam dua macam yaitu: wajib 'ain dan wajib
kifayah.
Ali Yafie dalam memahami term ini mencoba untuk mencari
formulasi dengan memahami secara kontekstual. Dalam usaha pembangunan nasional,
norma fikih mesti dipahami secara lebih aktual. Menurutnya, fardhu 'ain
merupakan kewajiban individual atau perorangan bagi pengembangan potensi dan
pembinaan kondisi setiap individu dalam mencapai kemaslahatan hidupnya, dan
yang kedua fardhu kifayah adalah kewajiban sosial kemasyarakatan dan
merupakan tugas kolektif untuk pengembangan potensi dan pembinaan kondisi
masyarakat dalam mencapai kemaslahatan umum.[18]
Ali Yafie tidak menyalahkan contoh fardhu kifayah
yang selama ini hanya ditujukan pada kewajiban shalat jenazah, tetapi ia
memahami bahwa makna fardhu kifayah di sini sangat pasif bahkan
cenderung negatif. Dengan argumentasi ini, Ali Yafie mencoba memperkenalkan
definisi Imam Rafi'i yang memberi makna aktif terhadap fardhu kifayah.
Definisi yang dimaksud sebagai yang dikutip Ali Yafie adalah kewajiban yang
menyangkut hal-hal umum berkaitan dengan kemaslahatan baik bersifat keagamaan
pun keduniaan yang pelaksanaannya menjamin tegaknya kehidupan bersama.[19]
Dicontohkan antara lain: upaya mengatasi kemelaratan masyarakat, memenuhi
kebutuhan sandang melalui zakat dan bayt al-mal. Penyediaan lapangan
kerja dengan berbagai profesi, pengajaran, pendidikan, penyuluhan dan bimbingan
masyarakat, kontrol sosial, dan semua usaha untuk memakmurkan masyarakat.
Dengan demikian, untuk meneguhkan makna fardhu kifayah
secara aktif, dibutuhkan pemahaman yang lebih kontekstual, tanpa bermaksud
menyalahkan definisi dan contoh yang telah dianut umat Islam selama ini. Jadi
makna fardhu kifayah yang lebih aktif adalah kewajiban kolektif untuk
memajukan umat Islam yang selama ini menderita dalam segala aspek kehidupan.
Sebab, sasaran utama doktrin fardhu kifayah adalah tegaknya semangat
kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kelompok kehidupan yang sejahtera,
aman, tertib, adil dan sebagainya.
Urusan fardhu kifayah adalah upaya membebaskan orang
lain dari suatu dosa. Demikian halnya dengan usaha mensejahterakan orang lain
adalah pekerjaan yang sangat mulia karena membebaskan orang dari penderitaan.
b. Lingkungan
Hidup
Isu tentang lingkungan hidup juga tak lepas dari perhatian
Ali Yafie. Dalam membahas masalah lingkungan hidup, ia mengacu pada QS.
Al-A'raf[7]: 156 yang menjelaskan tentang rahmat Allah yang meliputi segala
sesuatu dan QS. Al-Anbiya' [21]: 107 yang menegaskan tujuan pengutusan nabi
Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ia merujuk pada batang tubuh
ajaran fikih yang meliputi empat garis besar yaitu:
1. Rub'ul
ibadat, yaitu
bagian yang menata hubungan manusia dengan khaliknya.
2. Rub'ul
muamalat, yaitu
bagian yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulan dengan
sesamanya untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari.
3. Rub'ul
munakahat, yaitu
bagian yang menata hubungan manusia dengan lingkungan keluarga, dan
4. Rub'ul
jinayat, yaitu
bagian yang menata pengamanan dalam suatu tertib pergaulan, yang menjamin
keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan.[22]
Menurut Ali Yafie, gambaran di atas adalah wajah
sesungguhnya dari Islam. Empat hal tersebut meliputi bidang pokok dari
kehidupan umat manusia. Masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada
sampah, pencemaran, penghijauan kembali atau sekadar pelestarian alam
tetapi—lebih dari semua itu—masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari
suatu pandangan hidup. Sebab ia merupakan kritik terhadap kesenjangan yang
diakibatkan oleh pengurasan energi dan keterbelakangan yang lebih merupakan
ekses dari pertumbuhan ekonomi yang ekplosif dan tidak bervisi konservasi.
Kalau Nabi adalah rahmat bagi alam, maka kita sebagian
umatnya sejatinya juga demikian, sehingga sifat-sifat Tuhan pun mestinya
terpatri dalam kehidupan sehari-hari. Olehnya itu, jauh sebelumnya, Tuhan
seakan memberi isyarat bahwa manusia adalah perusak. Hal ini dapat dipahami
dari dialog antara Tuhan dengan malaikat, ketika Tuhan menciptakan manusia.
Digambarkan pula bahwa telah tampak kerusakan di daratan dan di laut akibat
ulah tangan-tangan manusia. Dengan itu pula, maka Tuhan sudah memperingatkan
bahwa kita jangan melakukan pengrusakan di atas bumi ini. Pandangan Ali Yafie
terntang norma fikih senantiasa mencoba untuk memahami sejumlah masalah secara
sosiologis ketimbang pendekatan individual.
Pelestarian Lingkungan hidup dalam perspektif Islam
Kata ‘lestari’ dapat diartikan sebagai tetap
seperti keadaannya semula, tak berubah atau kekal. Jadi, pelestarian
adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara
bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Islam sebagai agama samawi terakhir di dunia, di bawa oleh Nabi Muhammad saw. sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Konsekuensinya, Islam akan dan harus bisa menjawab tantangan-tantangan dari kedinamisan yang ada di dunia sampai masa akhir nanti (kiamat). Tantangan tersebut dapat berupa tantangan yang berhubungan dengan tauhid, jinayah maupun muamalah. Walaupun tantangan dari kedinamisan perjalanan masa dapat terjawab dengan sempurna oleh Islam, namun banyak kalangan tetap berprasangka, bahwa jalan terbaik menghilangkan prasangka tersebut adalah harus dijawab secara ilmiah sehingga pemecahan persoalan terjawab secara objektif. (M. Rasjidi, 1976:7)
Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya.(Harun Nasution, 1992: 542)
Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan itulah Abu Ishaq al-Syatibi, Dalam kitab al-Muwâfaqât, membagi tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: 1) penjagaan agama (hifdz al-dîn), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz al-mâl).(Hatim Gazali, 2005) Lebih jauh Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah menjelaskan mengenai posisi pemeliharaan ekologis (hifdz al-`âlam) dalam Islam adalah pemeliharaan lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah
ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia,
di mana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia
tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan
hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia.(Fathurrahman Djamil,
1997:94)
Dalam konteks ajaran Islam, jauh sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup muncul dan menghantui penduduknya, Islam telah lebih dahulu memberi peringatan lewat ayat-ayat al-Qur'an. Urusan
lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Seorang
Muslim justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup yang
diciptakan sebagai khalifah di bumi ini sesuai dengan Surat Al-Baqarah
ayat 30 yang berbunyi:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ……﴿30﴾
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seseorang khalifah dimuka bumi"
Ayat
ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen
studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat. dalam dua
bukunya “Man and Nature ” dan “Religion and the Environmental Crisis ”, seperti yg dikutip Alim:
“……Man
therefore occupies a particular position in this world. He is at the
axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of
nature. By being taught the names of all things he gains domination
over them, but he is given this power only because he is the vicegerent
(khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given
the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic
make-up, not as a rebel against heaven”.
Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah
inti dari kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan
rohani. Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka
bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah
dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup).
Oleh
karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh semena-mena, dan
seenaknya saja dalam mengekploitasinya. Pemanfaatan berbagai sumber daya
alam baik yang ada di laut, didaratan dan didalam hutan harus dilakukan
secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan
generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56:
وَلَا
تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا
وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿56﴾
"
Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah
memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak
diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik". (al-A'raf:56)
Menyadari
hal tesebut maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus
digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan
dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan
dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah
lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan
secara berkesinambungan.(Ali Yafie, 2006: 231) Kita harus bisa mengambil
i'tibar dari ayat Allah yang berbunyi:
وَضَرَبَ
اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا
رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ
فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا
يَصْنَعُونَ ﴿112﴾
"Dan
Allah telah membuat suatu perumpamaan(dengan) dengan sebuah negeri yang
dahulunya aman lagi tentram rezekinya datang kepadanya melimpah ruah
dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat
Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan
ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (an-Nahl :112)
Manusia
Indonesia harus sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang
bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran
hutan, tanaman diserang hama dan lainnya adalah karena ulah manusia itu
sendiri.
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿41﴾
"Telah
nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Alllah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar". (QS. ar-Rum: 41).
Dalam ayat-ayat tersebut diatas Allah SWT secara tegas menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan kerena perbuatan manusia yang mengekploitasi lingkungan yang berlebihan. Ayat-ayat Al-Qur'an ini sekaligus juga menjadi sebuah terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi, sehingga hak atas lingkungan adalah hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas lingkungan sebagai hak dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan internasional melalui butir-butir Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi sebagai kesepakatan bersama. Dalam hal ini termasuk baik yang tertuang dalam
UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun dalam
undang-undang lain yang bersifat parsial. Pentingnya upaya pengelolaan lingkungan hidup sudah sangat jelas implikasi yang akan ditimbulkannya apabila tidak dikelola secara baik, yaitu munculnya bencana, baik secara langsung maupun secara jangka panjang.
Dalam Islam di kenal tiga macam bentuk pelestarian lingkungan. Pertama, dengan cara ihya'. Yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. Mazhab Syafi’i menyatakan siapapun berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, beliau berpendapat, Ihya' boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, beliau menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak daerahnya.
Kedua, dengan proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya untuk dimiliki atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, adalah dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, hima difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan, zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya'), apalagi sampai merusaknya.
Dari uraian-uraian serta wacana-wacana di atas, sekiranya sudah mencukupi untuk dijadikan sebagai kerangka teoritik guna mendapatkan analisis terhadap pandangan hukum Islam terhadap pelestarian lingkungan.
Lingkungan Hidup dalam Perspektif Fiqh al-Bi'ah
Ilmu figh merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman (al-'ulum asy-syar'iyah)
yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam, termasuk Indonesia.
Ilmu figh pada dasarnya adalah penjabaran yang nyata dan rinci dari
nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan sunnah,
yang digali terus menerus oleh para ahli yang menguasai hukum-hukumnya
dan mengenal baik perkembangan, kebutuhan, serta kemaslahatan umat dan
lingkungannya dalam bingkai ruang dan waktu yang meliputinya.
Adapun ilmu fiqh secara garis besar mempunyai empat sektor penataan. Pertama, Rab'ul al-Ibadah, yaitu menata hubungan antara manusia selaku makhluk dengan Allah SWT sebagai khaliknya, yakni hubungan transendental. Kedua, Rub'ul al-Mu'amalat, yaitu menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat kehidupannya sehari-hari. Ketiga, Rab'u al-Munakahat, yaitu penataan terhadap hubungan manusia dalam lingkungan keluarganya. Keempat, Rab'u al-Jinayah,
yaitu bagian yang menata pengamanan manusia dalam suatu tertib
pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentramannya dalam kehidupan.
Dalam memaknai fiqh sebagai sumber etika sosial dan kemaslahatn, Imam al-Syathiby membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan. Pertama, kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyat),
yaitu kemaslahatan yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi
syari'at Islam. Yang dimaksud kemaslahatan primer yaitu perlunya
melindungi jiwa, raga, dan kehormatan manusia atau hifdh al-nafs, hifdh al-'aql (perlindungan akal), hifdh al-mal ( perlindungan harta kekayaan), hifdh al-nasb ( perlindungan keturunan), dan hifdh al-din (perlindungan agama).
Pemahaman masalah lingkungan hidup (fiqh al-Bi'ah)
dan penanganannya (penyelamatan dan pelestariannya) perlu diletakkan di
atas suatu pondasi moral untuk mendukung segala upaya yang sudah
dilakukan dan dibina selama ini yang ternyata belum mampu mengatasi
kerusakan lingkungan hidup yang sudah ada dan masih terus berlangsung.
Fiqh lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya
menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari
tanggung jawab manusia yang beriman dan merupakan amanat yang diembannya
untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang pencipta
yang Maha pengasih dan penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam
menjalani hidup di bumi ini.
Menurut Ali Yafie, ada dua landasan dasar dalam fiqh al-Bi'ah yaitu. Pertama,
pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya adalah
bagian dari iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari
sejauh mana sensitivitas dan kepedulian orang tersebut terhadap
kelangsungan lingkungan hidup. Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh (dewasa). Melakukannya
adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia kepada Tuhan.
Sementara penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan
pencegahan kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah.
Ia telah diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi
lingkungan hidup, bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.
Kerusakan
lingkungan hidup yang telah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia
mendorong para ulama bersatu menyerukan keprihatinan serta kepedulian
mereka akan kelestarian lingkungan hidup. Wujud kepedulian ini
dituangkan dalam sebuah pernyataan bersama yang ditandatangani oleh
lebih dari 30 ulama dari pondok pesantren (ponpes) di Jawa, Lombok,
Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Pernyataan bersama ini dikeluarkan pada pertemuan bertema "Menggagas fiqh lingkungan"
yang diselenggarakan INFORM (Indonesia Forest and Media Campaign) dan
P4M (Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat) di Bogor
09-12 Mei 2004. Acara ini bertujuan merumuskan fiqh lingkungan yang
berdasarkan pada Qur'an, Hadits serta kitab salaf (kitab kuning).
Selanjutnya dikeluarkannya fatwa MUI tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (Fatwa Islamic Council on Natural Resouces Management), fatwa MUI Wil. IV Kalimantan tentang Pembakaran Hutan dan Kabut Asap (Edicts of Indonesia Islamic Council on Forest Fire and Haze) dan fatwa Penebangan Liar dan Pertambangan Tanpa Izin Illegal Logging dan Illegal Mining ( Edict on Illegal Logging and Illegal Mining). Dalam fatwa MUI tersebut memutuskan dan menetapkan bahwa pembakaran
hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, perkebunan,
peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap, kerusakan
lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia hukumnya haram.
Landasan
yang digunakan para ulama di antaranya: Firman Allah tentang penciptaan
kekayaan alam untuk kemakmuran umat manusia (QS. Baqarah: 29), Firman
Allah tentang pemberian kemudahan bagi umat manusia untuk mengambil
manfaatnya (QS. AlJatsiyah:13), Firman Allah tentang larangan merusak
lingkungan (QS. Al 'Araf: 56),Firman Allah tentang musibah (kebakaran
dan kabut asap) disebabkan tangan manusia (QS. Asyu’ara: 30), Firman
Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah
tentang larangan membakar hutan untuk ke-maslahatan manusia (QS. An
Nisa: 59).
Keputusan
ini dipertimbangkan berdasarkan dampak dari pembakaran hutan di musim
kemarau untuk memperluas areal perkebunan merusak lingkungan, karena
hutan menjadi gundul berubah menjadi padang ilalang dan pada musim hujan
terjadi banjir; bahwa dampak pembakaran hutan menimbulkan kabut asap
yang mengganggu transportasi laut, darat dan udara, mengganggu kesehatan
masyarakat dan mengganggu proses belajar mengajar, bukan hanya di
wilayah Kalimantan bahkan kabut asap meluas ke wilayah negara-negara
tetangga bahwa untuk mengatasi kebakaran hutan dan kabut asap, MUI
merasa perlu menetapkan fatwa tentang hukum membakar hutan, dan lahan
untuk memperluas perkebunan yang menyebabkan tersebar kabut asap yang
sangat mengganggu aktifitas masyarakat, untuk dijadikan pedoman bagi
masyarakat.
MUI wilayah IV Kalimantan juga memutuskan bahwa Penebangan
dan penambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat dan
atau negara hukumnya haram. Semua kegiatan dan penghasilan yang di dapat
dari bisnis tersebut tidak sah dan hukumnya haram. Penegak hukum wajib
bertindak tegas sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku.
Kondisi
yang melatarbelakangi adalah makin maraknya penebangan liar dan
penambangan tanpa izin dan bisnis ilegal logging dan ilegal mining;
bahwa hal tersebut sangat merugikan masyarakat dan negara, yang
menyebabkan rusaknya lingkungan dan terjadi banjir dan tanah longsor dan
melawan perundang-undangan yang berlaku; bahwa untuk membatasi praktek
tersebut MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang penebangan liar
dan penambangan tanpa izin, bisnis ilegal loging dan ilegal mining untuk
dijadikan pedoman bagi masyarakat.
Sedangkan
sumber Al-Qur'an yang digunakan: Firman Allah tentang penciptaan
kekayaan alam seperti kayu dan tambang untuk umat manusia, QS. Al
Baqarah: 29 Artinya: "Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di
bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu",
Firman Allah tentang pemberian kemudahan yang menjadikan segala yang
diberikan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya, QS. Al Jatsiyah: 13
Artinya "Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang berfikir" Firman Allah tentang larangan merusak
lingkungan , QS. Al 'Araf: 56 Artinya: "Dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdo'a lah
kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan
dikabulkan), sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang
yang berbuat baik" Firman Allah tentang musibah yang terjadi disebabkan
tangan manusia, QS. Asyu’ara: 30 Artinya: "Dan apa saja musibah yang
menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar(dari kesalahan-kesalahan mu)" Firman
Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah yang
melarang penebangan dan menambang yang berlebihan, QS. An Nisa: 59
Artinya "Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah
Rasul (Nya) dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an)
dan Rasul (Sunnah-Nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah, dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya".
Hadis-hadis
yang menerangkan wajib mentaati pemimpin (Pemerintah) di antaranya
adalah : Artinya: "Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar
serta mentaati (pemimpin) walaupun seorang yang berasal dari budak
bangsa Habsyah".
Sedangkan
kaidah-kaidah fiqh yang digunakan adalah: Kebijakan Pemerintah harus
untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat : Artinya: "Kebijakan
(peraturan) pemerintah dalam mengatur rakyat haruslah berdasarkan
kemaslahatan".
Peraturan
pemerintah yang mengatur hal yang mubah yang dianggap menjadi
kemaslahatan umum dan apa yang telah ditetapkan itu wajib ditaati:
Artinya: "Pemerintah memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang mubah
yang dianggap membawa kepada kemaslahatan umum, dan apa yang diperintah
(diatur) itu hukumnya wajib ditaati".
Peraturan
pemerintah tersebut menjadi bagian hukum syara' (agama) yang wajib
ditaati oleh semua orang: Artinya: "Peraturan pemerintah menjadi bagian
hukum syara' ( agama) yang wajib ditaati oleh seluruh masyarakat untuk
melaksanakannya"
Kesadaran ulama tentang bahayanya kerusakan lingkungan semakin masif dengan munculnya beberapa
ulama NU dalam Halaqoh (pertemuan) Gerakan Nasional Kehutanan dan
Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (GNKL PBNU) juga turut
memberikan Taushiyah tentang Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup (NU Advice on Forest Protection and Environment) pada tanggal 20-23 Juli 2007 di Jakarta. Dalam taushiyahnya mendorong
pemerintah Republik Indonesia, wajib bersikap dan bertindak secara
nyata dalam melenyapkan usaha-usaha perusakan hutan, lingkungan hidup
dan kawasan pemukiman, memberantas penyakit sosial kemasyarakatan,
menuntaskan problematika ekonomi serta memerangi praktek-praktek ekonomi
yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara demi keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui penegakan supremasi hukum. Pencemaran lingkungan baik udara, air maupun tanah, akan menimbulkan dharar (kerusakan), hukumnya dinyatakan haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).
Adapun yang mendasari Tausiah Ulama NU Terdapat 3 (tiga) aspek, yaitu: pertama krisis
ekologi yang dapat dilihat dari parahnya kerusakan hutan, punahnya
sumber-sumber mata air keanekaragaman hayati, perubahan iklim secara
ekstrem, pencemaran udara, pencemaran laut pencemaran daerah aliran
sungai dan perusakan kawasan masyarakat akibat kecerobohan
industrialisasi, penggunaan bahan kimia, bahan uranium dan penggunaan
teknologi secara massal yang membahayakan keberlanjutan kehidupan
manusia dan bumi, serta mengakibatkan bencana alam, banjir, gempa bumi,
angin puting beliung, tanah longsor dan rusaknya kawasan pertambangan
dan sekitarnya. Kedua krisis kemasyarakatan yaitu berkembangnya
sikap tidak percaya antar masyarakat kepada pemerintah, lemahnya
penegakan supremasi hukum, parahnya dekadensi moral, menguatnya
individualisme, hilangnya jati diri bangsa dan menipisnya rasa cinta
tanah air, meningkatnya sifat konsumtif hedonisme, penyakit korupsi,
penyakit malas dan kegemaran mengambil jalan pintas, yang menghalalkan
segala cara dan mengakibatkan banyak kerusakan di muka bumi, dan Ketiga, krisis
ekonomi yaitu meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan, dan
energi nasional, melemahnya daya saing produk dalam negeri akibat
penetrasi pasar global.
Peran
aktif ulama Islam di Indonesia terutama sejak dua tahun terakhir
disambut dengan antusias oleh berbagai kalangan untuk menjadi pemecah
kebuntuan dalam penyelesaian persoalan lingkungan. Indonesia dengan
populasi muslim yang paling besar di dunia dengan wilayah hutan dan
keanekaragaman flora dan fauna diharapkan menjadi pelopor dalam hal ini.
Menurut
Khalid, fatwa ulama mempunyai kekuatan yang luar biasa tetapi tidak
cukup mudah untuk menjalankannya, termasuk memicu kesadaran pada
lingkungan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Azis bahwa
aspek yang paling dominan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat
biasanya tergantung pada sistem nilai yang dipegang oleh masyarakat itu
sendiri baik dimensi ekonomi dan pendidikan, adat istiadat atau budaya
setempat serta agama. Untuk itu, Khalid
menjelaskan bahwa ulama bisa menggunakan media khotbah jumat
(pengajian) atau bersinergi dengan politisi sebagai salah satu jalan
untuk menggulirkan fatwa tersebut menjadi sebuah proses politik.
Fiqh Al-Bi'ah Sebagai Solusi Alternatif terhadap kerusakan lingkungan: Catatan Penutup
Pemanasan
global dan perubahan iklim bukan saja menjadi ancaman dan kekhawatiran
masyarakat di Barat, juga menjadi kepedulian akan dampaknya di dunia
Islam. Perubahan iklim disamping telah dirasakan dengan adanya
penambahan curah hujan 2-3% setiap tahun, juga membawa dampak, misalnya
dengan meningkatknya tinggi permukaan laut di teluk Jakarta sebanyak
0.57 cm per tahun. Peristiwa
ini telah terbukti, ketika pasang naik, beberapa kawasan di teluk
Jakarta Utara, mulai terendam. Diperkirakan, tahun 2050, kawasan padat
penduduk di Jakarta Utara akan tenggelam. Di samping itu, perubahan
iklim juga akan berdampak terdahap produktifitas lahan akibat sebagian
pinggir pantai terendam, yang berdampak pada penurunan 95% kemampuan
lokal dalam produksi padi. Di sisi lain besaran kehilangan kawasan hutan
selama periode 1997-2004 sebesar 4-7 kali luas lapangan bola per menit
atau setara dengan 2-3,8 juta ha per tahun. Dalam ruang lingkup yang
lebih kecil, telah nampak pula bagaimana kawasan sempadan sungai di Aceh
Tamiang senantiasa menggenangi rumah dan lahan-lahan pertanian penduduk
karena semakin berkurangnya kawasan resapan air. Keanekaragaman hayati
yang terbentuk selama ribuan tahun sebagai rahmat Allah SWT dihancurkan
secara cepat oleh berbagai kepentingan banyak pihak mulai dari militer,
birokrasi, pengusaha, individu, ormas hingga rakyat jelata.
Sebagai
negara berkembang yang baru saja ingin bangkit, negara-negara muslim
harus berhadapan pada dualisme keadaan: antara pembangunan ekonomi yang
bertumpu pada pengurasan kekayaan sumber daya alam, dan keadaan
lingkungan yang telah sangat cepat berubah sehingga menimbulkan krisis
dan kekhawatiran yang akan menimpa. Sayangnya— seperti disadari oleh
para cendekiawan muslim —ternyata selama ini pendekatan yang dilakukan
untuk menggalang kesadaran lingkungan di negara-negara Muslim justru
kebanyakan diadopsi berdasarkan pengetahuan dari Barat. Begitu pula
adopsi sistem kawasan lindung termasuk konservasi hutan (taman nasional)
dan manajemen kawasan-kawasan konservasi yang banyak mengambil
pelajaran dari sistem Amerika Utara. Secara umum terminologi lingkungan
hidup memang lebih banyak menggunakan kosa kata dari peradaban barat,
seperti “Agenda 21”, Habitat, dan “Greenhouse effect”, “Ecolabeling”, dan “Sustainable Development”. Sehingga tumbuh anggapan yang salah bahwa
hanya ahli-ahli dari negara baratlah yang menguasai masalah lingkungan
hidup. Padahal untuk seorang muslim masalah lingkungan hidup sifatnya
inheren sebagai bagian dari kepribadian. Namun kenyataannya banyak yang
secara tidak sengaja memisahkan masalah lingkungan hidup dari urusan
agama. Hal ini terjadi akibat ketidaktahuan mereka bahwa ternyata ajaran
agama Islam banyak membahas soal pelestarian alam—termasuk merawat
lingkungan dan mencegah penebangan hutan— atau kurangnya sosialisasi
sehingga sukar dimengerti oleh masyarakat bahwa perawatan terhadap
lingkungan adalah merupakan salah satu yang diwajibkan dalam Islam.
Munculnya wacana Fiqh Al-Bi'ah dalam kalangan ulama merupakan terobosan paradigma baru
untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi dan
sebagai solusi alternatif dalam pengelolaan lingkungan sehingga hak
atas lingkungan bukan hanya milik orang Barat melainkan hak bagi setiap
umat di dunia. Indonesia yang notabene masyarakatnya umat Islam kesadaran
kelestarian lingkungan hidup ditentukan oleh peran para ulama dan kiyai
yang berperan serta dalam pelestarian lingkungan. Oleh karena itu
keluarnya fatwa mengenai pemanasan global pada pertengahan 2007 dan dua
fatwa tahun sebelumnya yang menentang pembakaran dan penggundulan hutan
menunjukkan betapa ulama Indonesia telah membuat lompatan maju
dibanding ulama di negara Islam lainnya.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di ambil beberapa pemikiran Ali
Yafie dalam bidang fikih, maka dapat disimpulkan bahwa di sini Ali Yafie
mencoba memahami ajaran Islam, – paling tidak –
dengan beberapa pendekatan :
1. Memadukan Teks/nash dengan Nalar
2. Memadukan Teks dengan realitas.
3. Memadukan teks dengan Maslahah
Dengan beberapa pendekatan tersebut, menjadikan fikih lebih konteksual
dan lebih mengarahkannya pada persoalan yang lebih bersifat sosial. Ia
menguraikannya secara argumentatif-normatif pada beberapa bagian tertentu yang
telah menjadi konvensi dunia dan pada hakekatnya bersumber dari ajaran Islam,
seperti HAM, lingkungan hidup, busana dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Yazid, Nalar dan Wahyu interrelasi dalam proses
pembentukan Syariat, Jakarta : Airlangga, 2007.
al-Nadwi,
Ali Ahmad, al-Qawai’id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1991.
al-Qaradhawi, Yusuf, al-sunnah Mashdaran li ma’rifah al-hadharah, Kairo
: Dar al-Syuruq, 1997.
An-na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, Yogjakarta: LKIS,
1994.
Arifi, Ahmad, Pergulatan pemikiran
Fikih “tradisi’ pola Mazhab. Yogjakarta : Elsaq, 2010.
Azizy,
A. Qodri A., Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai
Saintifik Modern, Jakarta: Teraju, 2003.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Al-Mu`jam
Al-Mufahras li Alfadz Qur’an, Kairo : Dar al-Hadis, 1346H.
Bruisnessen, Martin Van, Kitab
Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung : Mizan, 1995.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia,
Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogjakarta, LKIS, 2005
Hanafi, Hasan, Islamologi I : Dari
Teologi Statis ke Anarkis, Terj. Miftah Faqih, Yogyakarta : LkiS, 2003.
Mahfud, Sahal, Menggagas Fikih
Sosial, Yogjakarta : LKIS, 2004
Mas’udi, Masdar F., Meletakkan
Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari’at, dalam jurnal Ulumul Qur’an,
No.3, Volume VI, 1995.
Rahman,
Jamal D. (et.al.), Wacana Baru Fikih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie,
Bandung: Mizan, 1997.
Rofiq,
Ahmad, Fikih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Syufa’at, Hegemoni Politik dan
tertutupnya pintu ijtihad, Jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1,
Jan-Jun, 2005.
Yafie,
K.H. Ali, Menggagas Fikih Sosial, Bandung: Mizan, 2000.
Alim, Yusmin, Artikel: Lingkungan dan Aksioma Kerakusan. 19 September, 2007. http://agamadanekologi.blogspot.com. Diakses pada 1 Mei 2008.
------------------, Artikel : Lingkungan dan Kadar Iman Kita. 27 Juni 2006 http;//www.hidayatullah.com. Diakses pada 29 April 2008.
Anonymous,Ulama Internasional Membahas Lingkungan Dalam Persfektif Islam. DKM 'Ibaadurrahmaan. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. 2007.
‘Afi, Hafiz Abu Bakr Ahmad ibn Husain ibn, Sunan al-Baihaqi, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1992
Bateson, Gregory, Step an Ecology of Mind, Paladin: t.p. 1973.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Djamil, Fathurahman, Filsafat Hukum Islam, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Gazali, Hatim (2005). Mempertimbangkan Gagasan Eco-Theology. http://islamlib.com. Diakses pada 28 April 2008.
Harahap, Adnan, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Suara Bhumy, 1997
Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002
_______, “Tiga Prioritas Dalam Menanggulangi Lingkungan Hidup di Indonesia”, Kompas, 7 Juni, 1973
Mangunwijaya, Fachruddin M., 2008). Dunia Islam dan Perubahan Iklim. Tropika/Conservation International Indonesia
Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992.
Khalid, Fazlun M., 2007. Islam dan Lingkungan Hidup: Umat Islam Indonesia Kabar Gembira Bagi Bumi. http://greenpressnetwork.blogspot.com. Didownload tanggal 29 April 2008 pk. 09.45.
Qardhawi, Yusuf al-, Islam Agama Ramah Lingkungan. Abdullah Hakam Shah, dkk. (terj.)., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.Rasjidi, M, Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
R.F Schumacher dalam A Guide for the Perplexed (1981)
Sakho Muhammad, Ahsin, dkk., Fiqih Lingkungan, Jakarta: INFORM, 2004.
Soemarwoto,Otto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pengembangan, Jakarta: Djambatan, 2001.
Sonny, Keraf A, Sonny, “Tiga Prioritas Dalam Menanggulangi Lingkungan Hidup di Indonesia”, Kompas, 7 Juni 1973.
Yafie, Ali, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Amanah, 2006.
Zainal. Kelestarian Lingkungan dalam Perspektif Islam. http:// www.bangrusli.net. Diakses pada 29 April 2008.
INTERNET
[1] Abu Yazid, Nalar dan Wahyu Interrelasi dalam Proses
Pembentukan Syariat, (Jakarta : Airlangga, 2007), 66-67.
[2] Ahmad Rofiq,
Fikih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004),
5.
[3] Hasan Hanafi, Islamologi I :
Dari Teologi Statis ke Anarkis, Terj. Miftah Faqih, (Yogyakarta : LkiS,
2003). 160-177
[4] Menurut Abdillah Ahmad An-Na’im,
hal ini disebabkan oleh adanya kesulitan-kesulitan dalam memadukan pola
pemikiran fikih klasik dan fikih kontemporer dalam beberapa hal, antara lain
yang berkaitan dengan hukum publik, konstitusionalisme modern, hukum pidana,
hukum internasional modern serta Hak Asasi manusia. Baca : Abdullahi Ahmed
An-na’im, Dekonstruksi Syari’ah, (Yogjakarta:
LKIS, 1994).
[5] Syufa’at, Hegemoni Politik
dan tertutupnya pintu ijtihad, Jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1,
Jan-Jun, 2005, 84.
[6] Sahal Mahfud, Menggagas Fikih
Sosial, (Yogjakarta : LKIS, 2004),
[7] Martin Van Bruisnessen, Kitab
Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung : Mizan, 1995), 112
[8]
http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Yafie
[9] www.tokohindonesia.com
[10] Jamal D. Rahman, at all Wacana
Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie,
(Bandung: Mizan, 1997),
8.
[11] Mahsun Fuad, Hukum Islam
Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogjakarta,
LKIS, 2005), 62-95.
[12] Masdar F. Mas’udi, Meletakkan
Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari’at, dalam jurnal Ulumul Qur’an,
No.3, Volume VI, 1995, 95.
[13] Ahmad Arifi, Pergulatan
pemikiran Fiqih “tradisi’ pola Mazhab. (Yogjakarta : Elsaq, 2010), 11-12.
[14] Yusuf al-Qaradhawi, al-Sunnah Mashdaran li ma’rifah al-hadharah, (Kairo
: Dar al-Syuruq, 1997), 40.
[15] Azizy, A.
Qodri A, Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik
Modern, (Jakarta: Teraju, 2003),
73-76.
[16] Ali Yafie, Menggagas
Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup,
Asuransi hingga Ukhuwah (Bandung: Mizan, 2000), 21.
[18] Ali Yafie, Menggagas
Fiqih Sosial…, 161
[19] Ibid, 162.
[21] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu`jam
Al-Mufahras li Alfadz Qur’an, (Kairo : Dar al-Hadis, 1346H), 331-332.
[22]
Ibid, 132.
[23] Ibid, 250.