Sabtu, 09 April 2016

Pemikiran Fikih Ali Yafie Lingkungan Hidup

Pemikiran Fikih Ali Yafie

Fikih dalam Agama Islam menempati posisi kunci sebagai produk pemikiran ulama yang mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas teks/nash dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan jamannya. Dalam khasanah fikih klasik dikenal berbagai macam aliran fikih yang mencerminkan kecenderungan para fuqaha dalam melakukan ijtihad (intellectual exercise). Kecenderungan itu dipengaruhi oleh ragam pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam melakukan ijtihad . Ada aliran Fikih yang cenderung liberal, karena memberi porsi lebih besar kepada akal untuk terlibat dalam proses ijtihad , ada aliran yang cenderung literal karena berusaha menempatkan teks sebagai faktor dominan proses ijtihad, sehingga muncul aliran penengah yang berusaha memberikan porsi yang sama antara teks dan wahyu.[1]
Fikih sebagai formulasi pemahaman syari’ah memiliki dua tujuan, pertama adalah untuk membangun perilaku setiap individu muslim berdasarkan akidah, syari’ah dan akhlak; dan kedua adalah untuk merealisasikan sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang memiliki jati diri keadilan, persamaan dan kemitraan.[2]
Berbagai ragam aliran Fikih pada era klasik lebih mencerminkan bentuk solusi kongkret problem masyarakat yang dapat dijadikan pedoman bagi umat dalam menyelesaikan problem-problem itu. Inilah yang dimaksud oleh Hasan Hanafi [3] dengan nilai praksis pemikiran keagamaan, sebuah segmen yang sering diabaikan oleh para pemikir yang lebih senang bergulat dengan wacana yang terkadang tidak memiliki bobot implementasi di lapangan.
Dalam rangka mewujudkan tatanan sosial yang ideal, pembidangan fikih harus sesuai dengan dimensi kebutuhan manusia. Dalam konteks ini, fikih terbagi menjadi fikih ibadah dan fikih muamalah (meliputi fikih siyasah, jinayat, munakahat, dan sebagainya). Dalam batas tertentu, fikih dipahami masih berkecenderungan legal-formal ketika berhadapan dengan kosmopolitanisme kultur manusia. Akibatnya, manifestasi fikih dirasakan tidak aspiratif dalam menjawab tantangan zaman. Jika diamati, kecenderungan belum responsifnya wajah fikih karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer.[4] Hal ini memunculkan kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer, selain itu akibat dari ditutupnya kran pintu ijtihad mulai abad ke-4 H/10 M. N.J Coulson dan Schacht mengatakan tertutupnya pintu ijtihad karena juris Islam merasa semua permasalahan hukum telah di bahas dan hokum yang komprehensif telah berhasil di tegakkan, namun Wael B. Hallaq menolak karena hal ini tidak sesuai dengan kenyataan sebagaimana yang ada dalam literature Islam.[5] Selain itu terdapat indikasi keterbatasan dalam penguasaan khazanah keilmuan fikih yang pada gilirannya membawa dampak terhadap munculnya pemahaman tunggal terhadap mazhab sehingga kurang kurang responsif terhadap pemikirian mazhab yang lain.
Dalam konteks mencari solusi untuk membongkar kejumudan pemikiran fikih selama ini, upaya pemahaman dan pemaknaan fikih secara kontekstual menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan pendekatan “etis” (aspek moral) dengan berorientasi pada sisi esoteris (hakikat) fikih yang mengacu pada ruh tasyri’ atau maqashid al-syari’ah menjadi agenda penting dalam rangka mereformulasikan substansi dan tujuan hukum. Untuk itu, yang harus dikedepankan dalam mengambil suatu keputusan hukum adalah nilai-nilai yang mengutamakan kemaslahatan dan keadilan sebagai tujuan hukum. Dalam kerangka inilah nalar fikih sosial hadir sebagai bentuk pengembangan fikih mazhab yang menjadi bagian dari fikih NU.[6]
Perkembangan fikih di Indonesia juga tidak terlepas dari berbagai corak dan ragam, karena fiqh di Indonesia memiliki keunikan tersendiri sesuai dengan masyarakat nusantara yang  fiqh oriented. Hal ini karena fiqh mengandung berbagai implikasi konkret bagi prilaku keseharian baik individu maupun masyarakat.[7] Dalam perkembangan pemikiran hukum di Indonesia, banyak tradisi-tradisi yang terakomodasi dalam system hukum Islam meski juga adanya hukum positive warisan dari belanda yang membawa pada munculnya prulalisme hukum di Indonesia. salah satunya adalah pemikiran hukum islam baca : fiqh yang bercorak sosialis. Dikatakan sosialis karena fiqih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan primer (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan tersier (tahsiniyah). Fiqih sosial tidak sekedar sebagai alat untuk melihat setiap persoalan dari kaca mata hitam putih, tetapi lebih menempatkan fiqih sebagai paradigma pemaknaan secara social.
Salah satu tokoh yang berusaha mengembangkan fikih dengan pendekatan social adalah K.H. Ali Yafie seorang tokoh ahli dalam bidang fikih, mencoba menggagas fikih yang lebih bernuansa social. Ia berusaha berijtihad dan memperkenalkan serta menunjukkan bahwa fikih bukanlah sesuatu yang kaku seperti dipahami oleh kebanyakan masyarakat Islam tentang Fiqh yang sangat formalistik dalam konteks sosial yang ada, sehingga ajaran syari’at yang tertuang dalam Fiqh terkadang terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Gagasannya tentang fikih social merupakan hasil ijtihadnya setelah mencermati perkembangan fikih selama ini dengan kondisi sosial masyarakat khususnya di Indonesia.
PEMBAHASAN
A.    Biografi Ali Yafie
K.H. Ali Yafie adalah sosok yang sangat unik dalam pandangan beberapa kalangan. Betapa tidak karena ia hanya berangkat dari pendidikan non formal—belajar  secara otodidak—namun dengan ilmunya yang luas dan mendalam memposisikannya sebagai ulama yang disegani dan dikagumi. Ia mampu duduk satu forum dengan intelektual kaliber semisal Nurcholish Madjid, Quraish Shihab, Habibie, dan lain-lain. Karenanya, tidaklah berlebihan jika pada suatu kesempatan Cak Nur pernah berkata kepada Prof. Dr. Satria Effendi, "Ali Yafie itu diam-diam tetapi ternyata pintar".
K.H. Ali Yafie lahir di Wani-Donggala Sulawesi Tengah 1 September 1924, putra dari K.H. Muhammad Yafie. Ia lahir dari keluarga terdidik dan sangat beruntung karena merupakan turunan dari seorang ulama besar. Kakeknya Syaikh Abdul Hafidz Bugis, salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang pernah menjadi Guru Besar di Masjid al-Haram. Dua ulama lainnya adalah Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga pernah menjadi Imam di Masjid al-Haram. Warisan kitab dari kakeknya sangat besar peranannya dalam membentuk khazanah intelektual Ali Yafie. Ayah Ali juga adalah seorang ulama yang pernah memimpin sebuah sekolah dengan ratusan murid, selain itu juga mendirikan pesantren Nasrul Haq di Amparita sekaligus menjadi pengasuhnya.[8]
Ali Yafie terbilang cerdas, sebab dalam usia yang masih sangat muda, 12 tahun ia sudah dapat membaca kitab kuning. Dengan modal ini, maka ia pun dikirim oleh ayahnya untuk belajar kepada beberapa ulama atau kiai terkenal ketika itu di Sulawesi Selatan antara lain, Syaikh Ali Mathar (Rappang), Syaikh Haji Ibrahim (Sidrap), Syaikh Mahmud Abdul Jawad (Bone), Syaikh As'ad (Sengkang), Syaikh Ahmad Bone (Ujungpandang), Syaikh Abdurrahman Firdaus (Jampue-Pinrang). Selain itu Ali Yafie juga mendalami ilmu pengetahuan umum dan beberapa bahasa asing, jurnalistik, dan ilmu-ilmu bantu lainnya.[9]
Ulama yang tak kalah banyak pengaruhnya terhadap Ali Yafie adalah Syaikh Abdurrahman Firdaus seorang ulama pengembara dari Mekah. Dalam perjalanannya ke Indonesia ia singgah di India, Malaysia dan Filipina. Pada ulama ini Ali Yafie belajar fikih, tafsir dan sastra Arab, selain itu juga memperoleh banyak informasi tentang isu-isu gerakan pembaruan di Mesir yang lagi marak kala itu. Dan secara kebetulan Syaikh Abdurrahman Firdaus adalah pengagum berat Syaikh Rasyid Ridha. Ulama ini pun kemudian mengenalkan pemikiran tokoh pembaru lainnya seperti Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Jamal al-Din al-Afghani[10], selebihnya dipelajarinya secara otodidak.
Dengan memperhatikan pengembaraan Ali Yafie dalam mencari ilmu, maka tidaklah mengherankan apabila berhadapan dengan kondisi sekarang ia tidak "gagap", sekalipun ia adalah seorang santri tulen. Lebih dari itu penampilannya pun nyaris mencerminkan sikap seorang santri, sehingga kerap disebut sebagai sosok yang sederhana baik dalam perkataan pun perbuatan.
Ali Yafie dalam perjalanan karirnya pun beragam posisi dan jabatan telah dilaluinya. Ia pernah aktif mengajar mulai dari madrasah hingga perguruan tinggi bahkan pernah menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar. Menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Kepala Inspektorat Peradilan Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur, menjadi anggota staf harian merangkap anggota dewan pleno Badan Pembinaan Potensi Karya Kodam XIV Hasanuddin. Ali Yafie juga aktif dalam dunia politik hingga mengantarkannya menduduki posisi sebagai Rais Majelis Syura Partai Persatuan Pembangunan dan mengantarkannya menjadi anggota DPR/MPR RI. Ia menjadi wakil ketua Dewan Penasehat ICMI Pusat, anggota Dewan Pengawas Syari'ah Bank Muamalat, wakil ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta, dan Guru Besar Universitas Islam Asy Syafi'iyah. Pernah menjadi Rais 'Am Nahdlatul Ulama, salah seorang unsur ketua MUI, bahkan pernah pula menjabat sebagai Ketua Umumnya dan beberapa jabatan lainnya.
Prestasi yang diraih Ali Yafie di atas menunjukkan bahwa ia adalah seorang ulama yang paripurna karena ia dapat diterima oleh semua lapisan baik umara, intelektual, politikus, eksekutif maupun masyarakat umum, ia betul-betul telah menjadi milik umat.
Secara detail sebagian karya-karya beliau yang dipublikasikan adalah : Fikih Perdagangan Bebas, (Bandung: Mizan, 2003). Beragama secara Praktis : agar hidup lebih bermakna, (Bandung: Mizan,) Menggagas Fikih Sosial, (Bandung: Mizan, 2000). Merintis Fikih Lingkungan Hidup (Yayasan Amanah : 2006), Teologi Sosial : telaah kritis Persoalan keagamaan dan kemanusiaan, (LPKSM: 1997). Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional : Fiqh, (Paramadina : 1987) buku ini ditulis bersama Nurcholis Madjid. Menolak Korupsi membangun kesalehan social : kumpulan naskah-teks khutbah, (P3M:2004), Agama dan kemiskinan: suatu tinjauan dari segi agama Islam, (Proyek Penelitian Keagamaan, Departemen Agama, 1981).
B.     Pemikiran Fikih Sosial
Dalam sejarahnya, Fikih Sosial muncul setelah ide-ide pembaruan Fikih di Indonesia bermunculan, . Kita mengenal ide Fikih Indonesia yang dipopulerkan oleh Hasby Assidiqie tahun 1960an (bahkan benihnya sudah muncul sejak 1940an). Ide itu ditindaklanjuti dengan ide Fikih Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia) oleh Hazairin pada tahun 1960an juga . Kemudian KH. Abdurrahman Wahid pada 1975 menawarkan ide Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan. Pada 1980an, Munawir Sjadzali mengusulkan ide Reaktualisasi Ajaran Islam.[11] Disusul dengan ide Agama Keadilan oleh Masdar F. Mas'udi pada 1990an.[12] Kemudian pada 1991 muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang "dianggap" ijmak Ulama Indonesia, yang diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Baru kemudian muncul ide Fikih Sosial pada 1994 oleh KH. Sahal Mahfudh dan KH. 'Ali Yafie.[13]
Gagasan fikih sosial muncul sebagai respon di kalangan intelektual NU karena adanya ketidakpuasan mereka dengan kondisi Bahtsul Masail yang terkesan statis, beku, dan kering dari harapan masyarakat sekarang. Kondisi ini disebabkan oleh masih kuatnya pengaruh pola bermazhab secara qauly di kalangan mayoritas ulama NU. Padahal, tuntutan masyarakat akan perlunya hukum Islam yang kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi sosial sekarang ini tidak hanya datang dari intern warga NU saja, melainkan juga datang dari masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, menurut Azizy, perlu dilakukan tahapan untuk mengembalikan kodrat hukum Islam dengan empat langkah berikut:
Pertama, hukum Islam yang merupakan hasil karya fuqaha atau mujtahidin masa lalu, yang selama ini ditempatkan di satu sisi sebagai doktrin atau di sisi yang lain sebagai hal yang tidak diperhitungkan sama sekali, hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yakni sebagai hasil ijtihad para ulama terdahulu. Untuk itu, perlu kiranya digunakan istilah “humanisasi hukum Islam (fikih)”, sehingga doktrin yang mungkin dianggap “sakral” tersebut menjadi sesuatu yang ‘”profan” dapat disentuh akal dan diinterpretasi ulang.
Kedua, melihat hasil ijtihad tersebut secara kontekstual, sehingga menjadi lebih hidup dan mempunyai nilai. Berbicara mengenai hasil ijtihad, meskipun tetap disebut hukum Islam, tidak lepas dari pengaruh subjektivitas pelaku ijtihad (mujtahid) beserta lingkungan yang melingkupinya. Dengan kata lain, hasil ijtihad itu sangat erat dengan konteks sosial masyarakat pada saat itu, yang tentunya berbeda dari konteks masyarakat kita sekarang. Oleh karena itu, usaha kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad ulama masa lalu perlu digairahkan, bahkan mestinya menjadi suatu keharusan. Kajian seperti ini tidak cukup hanya dengan membaca teks dari hasil ijtihad tersebut yang tertulis dalam kitab-kitab fikih mazhab, namun harus dibarengi dengan kajian yang serius terhadap aspek sejarah dan sosial yang melingkupi mujtahid ketika itu serta kajian metodologi yang digunakan dalam menghasilkan keputusan hukum Islam. Dalam hal ini, pendekatan sejarah, terlebih sejarah sosial dan sosiologi, menjadi sangat penting. Di samping itu, perlu dikaji tentang sejarah hidup para mujtahid terutama sekali yang berkaitan dengan pemikiran hukumnya.
Sebagai contoh adalah ketika kita mempelajari hukum-hukum Islam produk ulama Iraq dan Hijaz yang berbeda misalnya, kita harus pula mempelajari sejarah dan kehidupan sosial masyarakat Iraq dan Hijaz waktu itu. Jelaslah bahwa terjadinya perbedaan kesimpulan hukum dari keduanya disebabkan oleh karena perbedaan kondisi sosial yang ada di Iraq dan Hijaz. Keadaan sosial masyarakat Hijaz lebih homogen, stabil, dan pengaruh luar sangat sedikit. Sedangkan keadaan di Iraq konteks sosial masyarakatnya sangat heterogen, metropolis dengan perubahan yang sangat cepat dan juga pengaruh dari luar sangat besar dan terbuka. Contoh lain, dapat dilihat dari hasil ijtihad Imam Syafi’i yang memunculkan dua pendapat (qaul) yang berbeda, meski terhadap masalah yang sama, yakni Qaul Qadim (yang dihasilkan ketika beliau di Iraq) dan Qaul Jadid (ketika beliau pindah berada di Mesir). Perbedaan ini didasari oleh keadaan yang tidak sama antara masyarakat Iraq dan Mesir, sehingga melahirkan ketetapan hukum yang berbeda pula.[14]
Ketiga, setelah mampu melakukan kontekstualisasi, barulah mengadakan reaktualisasi. Ini harus dilandasi dengan kemampuan interpretasi terhadap hasil ijtihad tersebut –bukan penolakan terhadapnya– dan dilanjutkan dengan reinterpretasi, dan pada waktunya akan ada tuntutan reformasi atau pembaruan (tajdid) terhadap ajaran pada tataran praktis yang merupakan pemahaman para mujtahid terhadap wahyu. Di sini berarti harus terjadi historical continuity dalam mempelajari hukum Islam secara akademik. Ijtihad dapat berupa pembaruan produk ijtihad atau ijtihad baru, misalnya terhadap kasus-kasus hukum yang tidak disebutkan ketentuannya dalam nash, atau untuk kasus-kasus yang sudah pernah diberi keputusan hukum, namun perlu pembaruan (kontekstualisasi) karena tuntutan zaman.
Keempat, perlunya kajian hukum Islam yang melibatkan disiplin ilmu lain. Atau meneliti hukum Islam yang sudah ada dengan menggunakan pendekatan interdisipliner atau multidisipliner. Ilmu bantu ini mutlak diperlukan dalam rangka mendekatkan hukum pada konteks yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat sekarang.[15]
Dibanding ide-ide sebelumnya, Fikih Sosial ternyata tak menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat sebagaimana ide pembaruan Fikih lainnya, karena terkait dengan instrumen ide Fikih Sosial itu sendiri yang mengambil pokok pemikirannya dari rahim tradisi Fikih Klasik yang sudah mengakar. Yaitu konsep Maqashid al-Syari'ah dan konsep Fardlu 'Ain-Fardlu Kifayah. Selain itu, Fikih Sosial semangat reaktualisasi Fikih Klasik, sebagai yang telah mengakar di kalangan masyarakat tradisional, juga sebagai respon atas pandangan miring terhadap Fikih Klasik.
Karena itulah Fikih Sosial merupakan tema yang sangat besar dan penting dan harus dikontekstualisasikan dengan pandangan masa kini, sehingga Fikih dituntut harus sedikit demi sedikit berjarak dengan ide partikularitasnya, menuju wacana perubahan sosial yang konteksnya lebih luas. Maka Fikih harus menampung beragam fenomena sosial, hingga dari sana muncullah sifat yang sebelumnya nyaris tak ada: relatifitas Fikih. Fikih Sosial berangkat bukan sebagai paradigma kebenaran ortodoksi, yang mana merupakan isu sangat sensitif, namun sebagai paradigma kritik dan pemaknaan sosial.
Fikih sosial berusaha mereaktualisasikan ajaran Fikih klasik, yang sering dicap buruk, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Yakni berusaha melihat Nash dari dua sudut pandang sekaligus: tekstual dan kontekstual, tak ada yang lebih dimenangkan satu sama lain dalam segi mekanisme. Dalam mekanisme Fikih Sosial mencoba verifikasi kembali mana persoalan-persoalan agama yang pokok dan mana yang cabang. Itu dilakukan dengan metode Maqashid al-Syari'ah dengan tipologi dlaruriyyat (primer), hajjiyyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier).
Ali Yafie dalam kata pengantar bukunya Menggagas Fikih Sosial mengakui bahwa uraiannya dalam buku tersebut bukanlah merupakan fatwa, tetapi pemikiran yang berorientasi pada fikih dalam berbagai macam persoalan menurut pandangan seorang santri. Ia menyadari betul bahwa dirinya hanyalah seorang santri, meskipun oleh banyak kalangan pemikirannya dipandang cukup menggambarkan seorang pemikir modern.
Buku Menggagas Fikih Sosial merupakan wadah yang dijadikan Ali Yafie dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya. Buku ini terbagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, membahas seputar sumber ajaran Islam. Kedua, tentang perkembangan fikih di Indonesia. Ketiga, masalah pengembangan masyarakat dalam tinjauan Islam. Keempat, pembangunan ekonomi dalam tinjauan Islam. Kelima, wanita dan keluarga dalam perspektif Islam. Dalam buku tersebut ada beberapa hal yang menjadi pokok bahasan antara lain tentang pengrusakan lingkungan, kemiskinan, kependudukan, masalah asuransi, wanita dan ukhuwah.
Uraian dalam makalah ini hanya akan membahas beberapa hal yang dianggap "baru" dan merupakan orisinalitas pemikiran Ali Yafie sebagai tergambar dalam karyanya Menggagas Fikih Sosial. Model fikih ini mencoba memberikan jawab terhadap berbagai persoalan dan tantangan zaman seperti perubahan sosial yang begitu cepat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian akseleratif.
Ali Yafie dalam menggagas fikih sosial memulai dengan pembahasan tentang Al-Qur'an kemudian merambah ke masalah sosial kemasyarakatan yang aktual dan terkait masalah hukum. Sebagai faqih, Ali Yafie menginginkan pemahaman Al-Qur'an secara utuh dalam menghadapi tantangan yang kian berlapis sebagai saat ini. Ali Yafie mengajukan lima tema utama agar dapat memahami Al-Qur'an secara utuh yaitu: pertama, penegasan dan penguatan eksistensi wahyu; kedua, pengenalan masalah ketuhanan; ketiga, pandangan terhadap Islam; keempat, pengenalan manusia dan kemanusiaan; dan kelima, pandangan terhadap masalah kehidupan.[16]
Menurut Ali Yafie, Al-Qur'an berfungsi untuk memperkenalkan Allah sekaligus menyampaikan pesannya. Al-Qur'an harus fungsional bagi manusia untuk hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Wahyu berfungsi sebagai petunjuk yang menyempurnakan keterbatasan akal dan kelemahan manusia dalam melawan nafsu.
Berikut akan dikemukakan beberapa pemikiran Ali Yafie dalam bidang fikih terkait dengan kehidupan sosial antara lain:
a.       Fardhu Kifayah
Dalam pembagian hukum taklifi para ulama membuat lima katagori hukum: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.[17] Pembagian tersebut menghendaki adanya perbuatan dari mukallaf. Dari kelima pembagian tersebut satu di antaranya akan dibahas adalah hukum wajib. Ulama fikih membagi wajib ke dalam dua macam yaitu: wajib 'ain dan wajib kifayah.
Ali Yafie dalam memahami term ini mencoba untuk mencari formulasi dengan memahami secara kontekstual. Dalam usaha pembangunan nasional, norma fikih mesti dipahami secara lebih aktual. Menurutnya, fardhu 'ain merupakan kewajiban individual atau perorangan bagi pengembangan potensi dan pembinaan kondisi setiap individu dalam mencapai kemaslahatan hidupnya, dan yang kedua fardhu kifayah adalah kewajiban sosial kemasyarakatan dan merupakan tugas kolektif untuk pengembangan potensi dan pembinaan kondisi masyarakat dalam mencapai kemaslahatan umum.[18]
Ali Yafie tidak menyalahkan contoh fardhu kifayah yang selama ini hanya ditujukan pada kewajiban shalat jenazah, tetapi ia memahami bahwa makna fardhu kifayah di sini sangat pasif bahkan cenderung negatif. Dengan argumentasi ini, Ali Yafie mencoba memperkenalkan definisi Imam Rafi'i yang memberi makna aktif terhadap fardhu kifayah. Definisi yang dimaksud sebagai yang dikutip Ali Yafie adalah kewajiban yang menyangkut hal-hal umum berkaitan dengan kemaslahatan baik bersifat keagamaan pun keduniaan yang pelaksanaannya menjamin tegaknya kehidupan bersama.[19] Dicontohkan antara lain: upaya mengatasi kemelaratan masyarakat, memenuhi kebutuhan sandang melalui zakat dan bayt al-mal. Penyediaan lapangan kerja dengan berbagai profesi, pengajaran, pendidikan, penyuluhan dan bimbingan masyarakat, kontrol sosial, dan semua usaha untuk memakmurkan masyarakat.
Dengan demikian, untuk meneguhkan makna fardhu kifayah secara aktif, dibutuhkan pemahaman yang lebih kontekstual, tanpa bermaksud menyalahkan definisi dan contoh yang telah dianut umat Islam selama ini. Jadi makna fardhu kifayah yang lebih aktif adalah kewajiban kolektif untuk memajukan umat Islam yang selama ini menderita dalam segala aspek kehidupan. Sebab, sasaran utama doktrin fardhu kifayah adalah tegaknya semangat kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kelompok kehidupan yang sejahtera, aman, tertib, adil dan sebagainya.
Urusan fardhu kifayah adalah upaya membebaskan orang lain dari suatu dosa. Demikian halnya dengan usaha mensejahterakan orang lain adalah pekerjaan yang sangat mulia karena membebaskan orang dari penderitaan.
b.      Lingkungan Hidup
Isu tentang lingkungan hidup juga tak lepas dari perhatian Ali Yafie. Dalam membahas masalah lingkungan hidup, ia mengacu pada QS. Al-A'raf[7]: 156 yang menjelaskan tentang rahmat Allah yang meliputi segala sesuatu dan QS. Al-Anbiya' [21]: 107 yang menegaskan tujuan pengutusan nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ia merujuk pada batang tubuh ajaran fikih yang meliputi empat garis besar yaitu:
1.      Rub'ul ibadat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan khaliknya.
2.      Rub'ul muamalat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulan dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari.
3.      Rub'ul munakahat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan lingkungan keluarga, dan
4.      Rub'ul jinayat, yaitu bagian yang menata pengamanan dalam suatu tertib pergaulan, yang menjamin keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan.[22]
Menurut Ali Yafie, gambaran di atas adalah wajah sesungguhnya dari Islam. Empat hal tersebut meliputi bidang pokok dari kehidupan umat manusia. Masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada sampah, pencemaran, penghijauan kembali atau sekadar pelestarian alam tetapi—lebih dari semua itu—masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari suatu pandangan hidup. Sebab ia merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pengurasan energi dan keterbelakangan yang lebih merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi yang ekplosif dan tidak bervisi konservasi.
Kalau Nabi adalah rahmat bagi alam, maka kita sebagian umatnya sejatinya juga demikian, sehingga sifat-sifat Tuhan pun mestinya terpatri dalam kehidupan sehari-hari. Olehnya itu, jauh sebelumnya, Tuhan seakan memberi isyarat bahwa manusia adalah perusak. Hal ini dapat dipahami dari dialog antara Tuhan dengan malaikat, ketika Tuhan menciptakan manusia. Digambarkan pula bahwa telah tampak kerusakan di daratan dan di laut akibat ulah tangan-tangan manusia. Dengan itu pula, maka Tuhan sudah memperingatkan bahwa kita jangan melakukan pengrusakan di atas bumi ini. Pandangan Ali Yafie terntang norma fikih senantiasa mencoba untuk memahami sejumlah masalah secara sosiologis ketimbang pendekatan individual.

Pelestarian Lingkungan hidup dalam perspektif Islam
Kata ‘lestari’ dapat diartikan sebagai tetap seperti keadaannya semula, tak berubah atau kekal. Jadi, pelestarian adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
Islam sebagai agama samawi terakhir di dunia, di bawa oleh Nabi Muhammad saw. sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Konsekuensinya, Islam akan dan harus bisa menjawab tantangan-tantangan dari kedinamisan yang ada di dunia sampai masa akhir nanti (kiamat). Tantangan tersebut dapat berupa tantangan yang berhubungan dengan tauhid, jinayah maupun muamalah. Walaupun tantangan dari kedinamisan perjalanan masa dapat terjawab dengan sempurna oleh Islam, namun banyak kalangan tetap berprasangka, bahwa jalan terbaik menghilangkan prasangka tersebut adalah harus dijawab secara ilmiah sehingga pemecahan persoalan terjawab secara objektif. (M. Rasjidi, 1976:7)
Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya.(Harun Nasution, 1992: 542)
Tujuan Allah mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerusakan (mafsadah), baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan kemaslahatan itulah Abu Ishaq al-Syatibi, Dalam kitab al-Muwâfaqât, membagi tujuan hukum Islam (maqâshid al-syarîah) menjadi lima hal: 1) penjagaan agama (hifdz al-dîn), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz al-mâl).(Hatim Gazali, 2005) Lebih jauh Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’âyatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islâmiyyah menjelaskan mengenai posisi pemeliharaan ekologis (hifdz al-`âlam) dalam Islam adalah pemeliharaan lingkungan setara dengan menjaga maqâshidus syarî’ah yang lima tadi. Selain al-Qardlawi, al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya maqâshidus syarî’ah ditujukan untuk menegakkan kemaslahatan-kemaslahatan agama dan dunia, di mana bila prinsip-prinsip itu diabaikan, maka kemaslahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia.(Fathurrahman Djamil, 1997:94)
Dalam konteks ajaran Islam, jauh sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup muncul dan menghantui penduduknya, Islam telah lebih dahulu memberi peringatan lewat ayat-ayat al-Qur'an. Urusan lingkungan hidup adalah bagian integral dari ajaran Islam. Seorang Muslim justru menempati kedudukan strategis dalam lingkungan hidup yang diciptakan sebagai khalifah di bumi ini sesuai dengan Surat Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:  
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ……﴿30﴾
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seseorang khalifah dimuka bumi"
Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat.  dalam dua bukunya “Man and Nature ” dan “Religion and the Environmental Crisis ”, seperti yg dikutip Alim:
“……Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught the names of all things he gains domination over them, but he is given this power only because he is the vicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic make-up, not as a rebel against heaven”.
Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti dari kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani. Jelaslah bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara bumi (mengelola lingkungan hidup).
Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh semena-mena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya. Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, didaratan dan didalam hutan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿56﴾

" Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik". (al-A'raf:56)

Menyadari hal tesebut maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan.(Ali Yafie, 2006: 231) Kita harus bisa mengambil i'tibar dari ayat Allah yang berbunyi:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ ﴿112﴾

"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan(dengan) dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat". (an-Nahl :112)

Manusia Indonesia harus sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang hama dan lainnya adalah karena ulah manusia itu sendiri.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿41﴾

"Telah nampak kerusakan didarat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Alllah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kejalan yang benar".  (QS. ar-Rum: 41).

Dalam ayat-ayat tersebut diatas  Allah SWT secara tegas menjelaskan tentang akibat yang ditimbulkan kerena perbuatan manusia  yang mengekploitasi lingkungan yang berlebihan. Ayat-ayat Al-Qur'an ini sekaligus juga menjadi sebuah terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi, sehingga hak atas lingkungan adalah hak bagi setiap umat di dunia. Selain itu, hak atas lingkungan sebagai hak dasar manusia juga telah menjadi kesepakatan internasional melalui butir-butir Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diratifikasi sebagai kesepakatan bersama. Dalam hal ini termasuk baik yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun dalam undang-undang lain yang bersifat parsial. Pentingnya upaya pengelolaan lingkungan hidup sudah sangat jelas implikasi yang akan ditimbulkannya apabila tidak dikelola secara baik, yaitu munculnya bencana, baik secara langsung maupun secara jangka panjang.
Dalam Islam di kenal tiga macam bentuk pelestarian lingkungan. Pertama, dengan cara ihya'. Yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. Mazhab Syafi’i menyatakan siapapun berhak mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah. Lain halnya dengan Imam Abu Hanifah, beliau berpendapat, Ihya' boleh dilakukan dengan catatan mendapat izin dari pemerintah yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, beliau menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak daerahnya.
Kedua, dengan proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya untuk dimiliki atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, adalah dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, hima difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan, zakat dan lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya (melakukan ihya'), apalagi sampai merusaknya.
Dari uraian-uraian serta wacana-wacana di atas, sekiranya sudah mencukupi untuk dijadikan sebagai kerangka teoritik guna mendapatkan analisis terhadap pandangan hukum Islam terhadap pelestarian lingkungan.

Lingkungan Hidup dalam Perspektif  Fiqh al-Bi'ah
Ilmu figh merupakan salah satu dari ilmu-ilmu keislaman (al-'ulum asy-syar'iyah) yang sangat dominan dalam kehidupan umat Islam, termasuk Indonesia. Ilmu figh pada dasarnya adalah penjabaran yang nyata dan rinci dari nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan sunnah, yang digali terus menerus oleh para ahli yang menguasai hukum-hukumnya dan mengenal baik perkembangan, kebutuhan, serta kemaslahatan umat dan lingkungannya dalam bingkai ruang dan waktu yang meliputinya.
Adapun ilmu fiqh secara garis besar mempunyai empat sektor penataan. Pertama, Rab'ul al-Ibadah, yaitu menata hubungan antara manusia selaku makhluk dengan Allah SWT sebagai khaliknya, yakni hubungan transendental. Kedua, Rub'ul al-Mu'amalat, yaitu menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulannya dengan sesamanya untuk memenuhi hajat kehidupannya sehari-hari. Ketiga, Rab'u al-Munakahat, yaitu penataan terhadap hubungan manusia dalam lingkungan keluarganya. Keempat, Rab'u al-Jinayah, yaitu bagian yang menata pengamanan manusia dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentramannya dalam kehidupan.
Dalam memaknai fiqh sebagai sumber etika sosial dan kemaslahatn, Imam al-Syathiby membagi kemaslahatan dalam tiga tingkatan. Pertama, kemaslahatan yang bersifat primer (al-dharuriyat), yaitu kemaslahatan yang mesti menjadi acuan utama bagi implementasi syari'at Islam. Yang dimaksud kemaslahatan primer yaitu perlunya melindungi jiwa, raga, dan kehormatan manusia atau hifdh al-nafs, hifdh al-'aql (perlindungan akal), hifdh al-mal ( perlindungan harta kekayaan), hifdh al-nasb ( perlindungan keturunan), dan hifdh al-din (perlindungan agama).
Pemahaman masalah lingkungan hidup (fiqh al-Bi'ah) dan penanganannya (penyelamatan dan pelestariannya) perlu diletakkan di atas suatu pondasi moral untuk mendukung segala upaya yang sudah dilakukan dan dibina selama ini yang ternyata belum mampu mengatasi kerusakan lingkungan hidup yang sudah ada dan masih terus berlangsung. Fiqh lingkungan hidup berupaya menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia yang beriman dan merupakan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang pencipta yang Maha pengasih dan penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi ini.
Menurut  Ali Yafie, ada dua landasan dasar dalam fiqh al-Bi'ah yaitu. Pertama, pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya adalah bagian dari iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sejauh mana sensitivitas dan kepedulian orang tersebut terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh (dewasa). Melakukannya adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia kepada Tuhan. Sementara penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pencegahan kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah. Ia telah diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup, bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.
Kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia mendorong para ulama bersatu menyerukan keprihatinan serta kepedulian mereka akan kelestarian lingkungan hidup. Wujud kepedulian ini dituangkan dalam sebuah pernyataan bersama yang ditandatangani oleh lebih dari 30 ulama dari pondok pesantren (ponpes) di Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.  Pernyataan bersama ini dikeluarkan pada pertemuan bertema "Menggagas fiqh lingkungan" yang diselenggarakan INFORM (Indonesia Forest and Media Campaign) dan P4M (Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat) di Bogor 09-12 Mei 2004. Acara ini bertujuan merumuskan fiqh lingkungan yang berdasarkan pada Qur'an, Hadits serta kitab salaf (kitab kuning). 
Selanjutnya dikeluarkannya fatwa MUI tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (Fatwa Islamic Council on Natural Resouces Management), fatwa MUI Wil. IV Kalimantan tentang Pembakaran Hutan dan Kabut Asap (Edicts of Indonesia Islamic Council on Forest Fire and Haze) dan fatwa Penebangan Liar dan Pertambangan Tanpa Izin Illegal Logging dan Illegal Mining ( Edict on Illegal Logging and Illegal Mining). Dalam fatwa MUI tersebut memutuskan dan menetapkan bahwa pembakaran hutan dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain yang mengakibatkan kabut asap, kerusakan lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia hukumnya haram.
Landasan yang digunakan para ulama di antaranya: Firman Allah tentang penciptaan kekayaan alam untuk kemakmuran umat manusia (QS. Baqarah: 29), Firman Allah tentang pemberian kemudahan bagi umat manusia untuk mengambil manfaatnya (QS. AlJatsiyah:13), Firman Allah tentang larangan merusak lingkungan (QS. Al 'Araf: 56),Firman Allah tentang musibah (kebakaran dan kabut asap) disebabkan tangan manusia (QS. Asyu’ara: 30), Firman Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah tentang larangan membakar hutan untuk ke-maslahatan manusia (QS. An Nisa: 59).
Keputusan ini dipertimbangkan berdasarkan dampak dari pembakaran hutan di musim kemarau untuk memperluas areal perkebunan merusak lingkungan, karena hutan menjadi gundul berubah menjadi padang ilalang dan pada musim hujan terjadi banjir; bahwa dampak pembakaran hutan menimbulkan kabut asap yang mengganggu transportasi laut, darat dan udara, mengganggu kesehatan masyarakat dan mengganggu proses belajar mengajar, bukan hanya di wilayah Kalimantan bahkan kabut asap meluas ke wilayah negara-negara tetangga bahwa untuk mengatasi kebakaran hutan dan kabut asap, MUI merasa perlu menetapkan fatwa tentang hukum membakar hutan, dan lahan untuk memperluas perkebunan yang menyebabkan tersebar kabut asap yang sangat mengganggu aktifitas masyarakat, untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.
MUI wilayah IV Kalimantan juga memutuskan bahwa Penebangan dan penambangan yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat dan atau negara hukumnya haram. Semua kegiatan dan penghasilan yang di dapat dari bisnis tersebut tidak sah dan hukumnya haram. Penegak hukum wajib bertindak tegas sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Kondisi yang melatarbelakangi adalah makin maraknya penebangan liar dan penambangan tanpa izin dan bisnis ilegal logging dan ilegal mining; bahwa hal tersebut sangat merugikan masyarakat dan negara, yang menyebabkan rusaknya lingkungan dan terjadi banjir dan tanah longsor dan melawan perundang-undangan yang berlaku; bahwa untuk membatasi praktek tersebut MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang penebangan liar dan penambangan tanpa izin, bisnis ilegal loging dan ilegal mining untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.
Sedangkan sumber Al-Qur'an yang digunakan: Firman Allah tentang penciptaan kekayaan alam seperti kayu dan tambang untuk umat manusia, QS. Al Baqarah: 29 Artinya: "Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu", Firman Allah tentang pemberian kemudahan yang menjadikan segala yang diberikan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya, QS. Al Jatsiyah: 13 Artinya "Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir" Firman Allah tentang larangan merusak lingkungan , QS. Al 'Araf: 56 Artinya: "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya, dan berdo'a lah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan), sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik" Firman Allah tentang musibah yang terjadi disebabkan tangan manusia, QS. Asyu’ara: 30 Artinya: "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar(dari kesalahan-kesalahan mu)" Firman Allah tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah yang melarang penebangan dan menambang yang berlebihan, QS. An Nisa: 59 Artinya "Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya) dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnah-Nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah, dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
Hadis-hadis yang menerangkan wajib mentaati pemimpin (Pemerintah) di antaranya adalah : Artinya: "Hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar serta mentaati (pemimpin) walaupun seorang yang berasal dari budak bangsa Habsyah".
Sedangkan kaidah-kaidah fiqh yang digunakan adalah: Kebijakan Pemerintah harus untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat : Artinya: "Kebijakan (peraturan) pemerintah dalam mengatur rakyat haruslah berdasarkan kemaslahatan".
Peraturan pemerintah yang mengatur hal yang mubah yang dianggap menjadi kemaslahatan umum dan apa yang telah ditetapkan itu wajib ditaati: Artinya: "Pemerintah memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang mubah yang dianggap membawa kepada kemaslahatan umum, dan apa yang diperintah (diatur) itu hukumnya wajib ditaati".
Peraturan pemerintah tersebut menjadi bagian hukum syara' (agama) yang wajib ditaati oleh semua orang: Artinya: "Peraturan pemerintah menjadi bagian hukum syara' ( agama) yang wajib ditaati oleh seluruh masyarakat untuk melaksanakannya"
Kesadaran ulama  tentang bahayanya kerusakan lingkungan semakin masif dengan munculnya beberapa ulama NU dalam Halaqoh (pertemuan) Gerakan Nasional Kehutanan dan Lingkungan Hidup Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (GNKL PBNU) juga turut memberikan Taushiyah tentang Pelestarian Hutan dan Lingkungan Hidup (NU Advice on Forest Protection and Environment) pada tanggal 20-23 Juli 2007 di Jakarta. Dalam taushiyahnya mendorong pemerintah Republik Indonesia, wajib bersikap dan bertindak secara nyata dalam melenyapkan usaha-usaha perusakan hutan, lingkungan hidup dan kawasan pemukiman, memberantas penyakit sosial kemasyarakatan, menuntaskan problematika ekonomi serta memerangi praktek-praktek ekonomi yang merugikan masyarakat, bangsa dan negara demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui penegakan supremasi hukum. Pencemaran lingkungan baik udara, air maupun tanah, akan menimbulkan dharar (kerusakan), hukumnya dinyatakan haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat).
Adapun yang mendasari Tausiah Ulama NU Terdapat 3 (tiga) aspek, yaitu: pertama krisis ekologi yang dapat dilihat dari parahnya kerusakan hutan, punahnya sumber-sumber mata air keanekaragaman hayati, perubahan iklim secara ekstrem, pencemaran udara, pencemaran laut pencemaran daerah aliran sungai dan perusakan kawasan masyarakat akibat kecerobohan industrialisasi, penggunaan bahan kimia, bahan uranium dan penggunaan teknologi secara massal yang membahayakan keberlanjutan kehidupan manusia dan bumi, serta mengakibatkan bencana alam, banjir, gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor dan rusaknya kawasan pertambangan dan sekitarnya. Kedua krisis kemasyarakatan yaitu berkembangnya sikap tidak percaya antar masyarakat kepada pemerintah, lemahnya penegakan supremasi hukum, parahnya dekadensi moral, menguatnya individualisme, hilangnya jati diri bangsa dan menipisnya rasa cinta tanah air, meningkatnya sifat konsumtif hedonisme, penyakit korupsi, penyakit malas dan kegemaran mengambil jalan pintas, yang menghalalkan segala cara dan mengakibatkan banyak kerusakan di muka bumi, dan Ketiga, krisis ekonomi yaitu meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan, dan energi nasional, melemahnya daya saing produk dalam negeri akibat penetrasi pasar global.
Peran aktif ulama Islam di Indonesia terutama sejak dua tahun terakhir disambut dengan antusias oleh berbagai kalangan untuk menjadi pemecah kebuntuan dalam penyelesaian persoalan lingkungan. Indonesia dengan populasi muslim yang paling besar di dunia dengan wilayah hutan dan keanekaragaman flora dan fauna diharapkan menjadi pelopor dalam hal ini.
Menurut Khalid, fatwa ulama mempunyai kekuatan yang luar biasa tetapi tidak cukup mudah untuk menjalankannya, termasuk memicu kesadaran pada lingkungan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Azis  bahwa aspek yang paling dominan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat biasanya tergantung pada sistem nilai yang dipegang oleh masyarakat itu sendiri baik dimensi ekonomi dan pendidikan, adat istiadat atau budaya setempat serta agama. Untuk itu, Khalid menjelaskan bahwa ulama bisa menggunakan media khotbah jumat (pengajian) atau bersinergi dengan politisi sebagai salah satu jalan untuk menggulirkan fatwa tersebut menjadi sebuah proses politik.

Fiqh Al-Bi'ah Sebagai Solusi Alternatif terhadap kerusakan lingkungan: Catatan Penutup

Pemanasan global dan perubahan iklim bukan saja menjadi ancaman dan kekhawatiran masyarakat di Barat, juga menjadi kepedulian akan dampaknya di dunia Islam. Perubahan iklim disamping telah dirasakan dengan adanya penambahan curah hujan 2-3% setiap tahun, juga membawa dampak, misalnya dengan meningkatknya tinggi permukaan laut di teluk Jakarta sebanyak 0.57 cm per tahun. Peristiwa ini telah terbukti, ketika pasang naik, beberapa kawasan di teluk Jakarta Utara, mulai terendam. Diperkirakan, tahun 2050, kawasan padat penduduk di Jakarta Utara akan tenggelam. Di samping itu, perubahan iklim juga akan berdampak terdahap produktifitas lahan akibat sebagian pinggir pantai terendam, yang berdampak pada penurunan 95% kemampuan lokal dalam produksi padi. Di sisi lain besaran kehilangan kawasan hutan selama periode 1997-2004 sebesar 4-7 kali luas lapangan bola per menit atau setara dengan 2-3,8 juta ha per tahun. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, telah nampak pula bagaimana kawasan sempadan sungai di Aceh Tamiang senantiasa menggenangi rumah dan lahan-lahan pertanian penduduk karena semakin berkurangnya kawasan resapan air. Keanekaragaman hayati yang terbentuk selama ribuan tahun sebagai rahmat Allah SWT dihancurkan secara cepat oleh berbagai kepentingan banyak pihak mulai dari militer, birokrasi, pengusaha, individu, ormas hingga rakyat jelata.
Sebagai negara berkembang yang baru saja ingin bangkit, negara-negara muslim harus berhadapan pada dualisme keadaan: antara pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pengurasan kekayaan sumber daya alam, dan keadaan lingkungan yang telah sangat cepat berubah sehingga menimbulkan krisis dan kekhawatiran yang akan menimpa. Sayangnya— seperti disadari oleh para cendekiawan muslim —ternyata selama ini pendekatan yang dilakukan untuk menggalang kesadaran lingkungan di negara-negara Muslim justru kebanyakan diadopsi berdasarkan pengetahuan dari Barat. Begitu pula adopsi sistem kawasan lindung termasuk konservasi hutan (taman nasional) dan manajemen kawasan-kawasan konservasi yang banyak mengambil pelajaran dari sistem Amerika Utara. Secara umum terminologi lingkungan hidup memang lebih banyak menggunakan kosa kata dari peradaban barat, seperti “Agenda 21”, Habitat, dan “Greenhouse effect”, “Ecolabeling”, dan “Sustainable Development”. Sehingga tumbuh anggapan yang salah bahwa hanya ahli-ahli dari negara baratlah yang menguasai masalah lingkungan hidup. Padahal untuk seorang muslim masalah lingkungan hidup sifatnya inheren sebagai bagian dari kepribadian. Namun kenyataannya banyak yang secara tidak sengaja memisahkan masalah lingkungan hidup dari urusan agama. Hal ini terjadi akibat ketidaktahuan mereka bahwa ternyata ajaran agama Islam banyak membahas soal pelestarian alam—termasuk merawat lingkungan dan mencegah penebangan hutan— atau kurangnya sosialisasi sehingga sukar dimengerti oleh masyarakat bahwa perawatan terhadap lingkungan adalah merupakan salah satu yang diwajibkan dalam Islam.
Munculnya wacana Fiqh Al-Bi'ah dalam kalangan ulama merupakan terobosan paradigma baru untuk melakukan pengelolaan lingkungan melalui sebuah ajaran religi dan sebagai solusi alternatif dalam pengelolaan lingkungan sehingga hak atas lingkungan bukan hanya milik orang Barat melainkan hak bagi setiap umat di dunia. Indonesia yang notabene masyarakatnya umat Islam kesadaran kelestarian lingkungan hidup ditentukan oleh peran para ulama dan kiyai yang berperan serta dalam pelestarian lingkungan. Oleh karena itu keluarnya fatwa mengenai pemanasan global pada pertengahan 2007 dan dua fatwa tahun sebelumnya yang menentang pembakaran dan penggundulan hutan menunjukkan betapa ulama Indonesia telah membuat lompatan maju dibanding ulama di negara Islam lainnya.











PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di ambil beberapa pemikiran Ali Yafie dalam bidang fikih, maka dapat disimpulkan bahwa di sini Ali Yafie mencoba memahami ajaran Islam, – paling tidak –  dengan beberapa pendekatan :
1.      Memadukan Teks/nash dengan Nalar
2.      Memadukan Teks dengan realitas.
3.      Memadukan teks dengan Maslahah
Dengan beberapa pendekatan tersebut, menjadikan fikih lebih konteksual dan lebih mengarahkannya pada persoalan yang lebih bersifat sosial. Ia menguraikannya secara argumentatif-normatif pada beberapa bagian tertentu yang telah menjadi konvensi dunia dan pada hakekatnya bersumber dari ajaran Islam, seperti HAM, lingkungan hidup, busana dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Yazid,  Nalar dan Wahyu interrelasi dalam proses pembentukan Syariat, Jakarta : Airlangga, 2007.
al-Nadwi, Ali Ahmad, al-Qawai’id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1991.
al-Qaradhawi, Yusuf,  al-sunnah Mashdaran li ma’rifah al-hadharah, Kairo : Dar al-Syuruq, 1997.
An-na’im, Abdullahi Ahmed,  Dekonstruksi Syari’ah, Yogjakarta: LKIS, 1994.
Arifi, Ahmad, Pergulatan pemikiran Fikih “tradisi’ pola Mazhab. Yogjakarta : Elsaq, 2010.
Azizy, A. Qodri A., Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern, Jakarta: Teraju, 2003.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Al-Mu`jam Al-Mufahras li Alfadz Qur’an, Kairo : Dar al-Hadis, 1346H.
Bruisnessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung : Mizan, 1995.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogjakarta, LKIS,  2005
Hanafi, Hasan, Islamologi I : Dari Teologi Statis ke Anarkis, Terj. Miftah Faqih, Yogyakarta : LkiS, 2003.
Mahfud, Sahal, Menggagas Fikih Sosial, Yogjakarta : LKIS, 2004
Mas’udi, Masdar F., Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari’at, dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995.
Rahman, Jamal D. (et.al.), Wacana Baru Fikih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie, Bandung: Mizan, 1997.
Rofiq, Ahmad, Fikih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Syufa’at, Hegemoni Politik dan tertutupnya pintu ijtihad, Jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1, Jan-Jun, 2005.
Yafie, K.H. Ali, Menggagas Fikih Sosial, Bandung: Mizan, 2000.


Alim, Yusmin, Artikel: Lingkungan dan Aksioma Kerakusan. 19 September, 2007. http://agamadanekologi.blogspot.com. Diakses pada 1 Mei 2008.

------------------, Artikel : Lingkungan dan Kadar Iman Kita. 27 Juni 2006 http;//www.hidayatullah.com. Diakses pada 29 April 2008.

Anonymous,Ulama Internasional Membahas Lingkungan Dalam Persfektif Islam. DKM 'Ibaadurrahmaan. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. 2007.

 

‘Afi, Hafiz Abu Bakr Ahmad ibn Husain ibn, Sunan al-Baihaqi, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1992

 

Bateson, Gregory, Step an Ecology of Mind,  Paladin: t.p. 1973.

 

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. II Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Djamil, Fathurahman,  Filsafat Hukum Islam, cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Gazali, Hatim (2005). Mempertimbangkan Gagasan Eco-Theology. http://islamlib.com. Diakses pada 28 April 2008.

Harahap, Adnan, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Suara Bhumy, 1997

Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2002

_______, “Tiga Prioritas Dalam Menanggulangi Lingkungan Hidup di Indonesia”, Kompas, 7 Juni, 1973

Mangunwijaya, Fachruddin M., 2008). Dunia Islam dan Perubahan Iklim. Tropika/Conservation International Indonesia

Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia  Jakarta: Djambatan, 1992.

Khalid, Fazlun M., 2007. Islam dan Lingkungan Hidup: Umat Islam Indonesia Kabar Gembira Bagi Bumi. http://greenpressnetwork.blogspot.com. Didownload tanggal 29 April 2008 pk. 09.45.

Qardhawi, Yusuf al-, Islam Agama Ramah Lingkungan. Abdullah Hakam Shah, dkk. (terj.)., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002.Rasjidi, M, Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

R.F Schumacher dalam A Guide for the Perplexed (1981)

Sakho Muhammad, Ahsin,  dkk., Fiqih Lingkungan, Jakarta: INFORM, 2004.

Soemarwoto,Otto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pengembangan, Jakarta: Djambatan, 2001.

Sonny, Keraf A, Sonny, “Tiga Prioritas Dalam Menanggulangi Lingkungan Hidup di Indonesia”, Kompas, 7 Juni 1973.

Yafie, Ali,  Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Amanah, 2006.

Zainal. Kelestarian Lingkungan dalam Perspektif Islam. http:// www.bangrusli.netDiakses pada 29 April 2008.

http://www. muslimhands.org. Diakses tanggal 08 Februari 2007.
INTERNET


[1] Abu Yazid,  Nalar dan Wahyu Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat, (Jakarta : Airlangga, 2007), 66-67.
[2] Ahmad Rofiq, Fikih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 5.
[3] Hasan Hanafi, Islamologi I : Dari Teologi Statis ke Anarkis, Terj. Miftah Faqih, (Yogyakarta : LkiS, 2003). 160-177
[4] Menurut Abdillah Ahmad An-Na’im, hal ini disebabkan oleh adanya kesulitan-kesulitan dalam memadukan pola pemikiran fikih klasik dan fikih kontemporer dalam beberapa hal, antara lain yang berkaitan dengan hukum publik, konstitusionalisme modern, hukum pidana, hukum internasional modern serta Hak Asasi manusia. Baca : Abdullahi Ahmed An-na’im,  Dekonstruksi Syari’ah, (Yogjakarta: LKIS, 1994).
[5] Syufa’at, Hegemoni Politik dan tertutupnya pintu ijtihad, Jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1, Jan-Jun, 2005, 84.
[6] Sahal Mahfud, Menggagas Fikih Sosial, (Yogjakarta : LKIS, 2004),
[7] Martin Van Bruisnessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung : Mizan, 1995), 112
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Yafie
[9] www.tokohindonesia.com
[10] Jamal D. Rahman, at all Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie, (Bandung: Mizan, 1997), 8.
[11] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogjakarta, LKIS,  2005), 62-95.
[12] Masdar F. Mas’udi, Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari’at, dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995, 95.
[13] Ahmad Arifi, Pergulatan pemikiran Fiqih “tradisi’ pola Mazhab. (Yogjakarta : Elsaq, 2010), 11-12.
[14] Yusuf al-Qaradhawi,  al-Sunnah Mashdaran li ma’rifah al-hadharah, (Kairo : Dar al-Syuruq, 1997), 40.
[15] Azizy, A. Qodri A, Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern, (Jakarta: Teraju, 2003), 73-76.
[16] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah (Bandung: Mizan, 2000), 21.
[17] Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh,(Beirut : Dar al-Fikr, 1972), 159
[18] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial…, 161
[19] Ibid, 162.
[20] Rahman, Wacana Baru…186.
[21] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu`jam Al-Mufahras li Alfadz Qur’an, (Kairo : Dar al-Hadis, 1346H), 331-332.
[22]  Ibid, 132.
[23] Ibid, 250.
[24]  Ibid.