PENDEKATAN FEMINIS DALAM
STUDI ISLAM
(POLIGAMI DALAM PANDANGAN
FEMINIS)
MAKALAH
Dibuat dalam
Rangka Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Pendekatan Ilmu-Ilmu Keislaman
Dosen Pengampu
Dr. Abu Hafsin, M.A
Oleh :
Ali Anwar
NIM. 1400018020
PROGRAM
MAGISTER STUDI ISLAM
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
PENDEKATAN FEMINIS DALAM
STUDI ISLAM
(POLIGAMI DALAM PANDANGAN
FEMINIS)
A. Pendahuluan
Dalam mempelajari agama diperlukan berbagai macam
pendekatan agar substansi dari agama itu
mudah dipahami. Adapun yang
dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama.
Studi Islam merupakan pengetahuan yang
dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan
manusia. Untuk memahami Islam sendiri, Nasruddin Razak menawarkan beberapa
metode, di antaranya adalah; Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif
teologis yang ada dalam Al Qur'an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis,
empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.
Masalah poligami merupakan isu yang sangat
terkait dengan perempuan. Kaum perempuanlah yang banyak merasakan ketidakadilan
poligami.Bahwa praktek poligami ini telah lama berlaku ketika
munculnya Islam, dan berkembang diseluruh daerah, pada saat permpuan dianggap
sebagai sepesies khusus antara manusia dan hewan. (Abu Zayd, 2003:197)
Karenanya, isu ini banyak dikumandangkan
dan mendapat sorotan penting dari
penggiat hak-hak kaum perempuan, termasuk kaum feminis Islam. Mereka
mempertanyakan, untuk tidak menyebut menggugat, tradisi pernikahan lebih dari
satu ini.
Dalam hal ini
maka para feminis berpandangan bahwa perempuan saat ini berada dalam suatu
sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil, karenanya tidak sesuai
dengan prinsip keadilan dan dasar Islam. Kaum perempuan dianggap sebagai korban
ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh
suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya dan syari'at. Mereka
beranggapan bahwa posisi kaum perempuan dalam kenyataannya di masyarakat saat
ini, tertindas oleh suatu sistem dan struktur gender, oleh karena itu
ketidakadilan tersebut harus dihentikan. Karena proses ketidakadilan tersebut
berakar pada teologi yang didasarkan pada keyakinan ajaran Islam, maka dianggap
perlu untuk melakukan sebuah kajian Islam tentang poligami dengan pendekatan
feminis.
B.
Pembahasan
Sebelum
membahas tentang pendekatan feminis, maka terlebih dahulu kita uraikan
arti feminis itu sendiri. Feminis adalah sebuah kata yang diambil dari
kalimat Perancis (féminisme) dan berasal dari kata Latin (femind), kemudian
mengalami sedikit perubahan. Dalam bahasa Inggris dan juga Jerman, kata itu mempunyai
arti yang sama yaitu wanita atau jenis
perempuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
feminis adalah gerakan wanita
yg menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.
Menurut Kamla Bhasin
feminisme adalah suatu kesadran akan penindasan dan pemerasan terhadap
perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan
sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Sedangkan Budianto mengartikan feminisme suatu kritik ideologi
terhadap cara pandang yang mengabaikan masalah ketimpangan dan ketidakadilan
dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
Feminisme identik dengan emansipasi,
dimana emansipasi ialah perjuangan untuk pembebasan dari perbudakan yang sesungguhya
dan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sehingga kaum feminis membongkar pengalaman
ketertindasan sebagai perempuan, mempertanyakan relasi-relasi kekuasaan yang
berlangsung pada perempuan. Feminisme memperjuangkan kemanusiaan kaum
perempuan, memperjuangkan perempuan sebagai manusia merdeka menuju penataan
hubungan-hubungan sosial baru di mana perempuan sama dengan laki-laki menjadi
subjek utuh dalam membuat keputusan dalam alokasi kekuasaan dan
sumber-sumbernya. Perubahan ini datang tidak dengan sendirinya melainkan harus
diperjuangkan.
Dari
beberapa pengertian di atas bahwa feminisme adalah sebuah gerakan
perempuan yang bertujuan untuk mendapatkan kedudukan dan derajat yang sama baik
dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum, seperti apa yang didapatkan lelaki.
1.
Sejarah Feminisme
Gerakan ini lahir pada abad 19, gerakan ini
cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Pada saat
itu perempuan di negara-negara Eropa ingin memperjuangkan apa yang mereka sebut
sebagai universal sisterhood. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan
pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan.
Sejarah dunia menunjukan bahwa secara umum kaum perempuan (feminim) merasa
dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki, khususnya
pada masyarakat yang sifatnya patriarki. Dalam feminisme ada bebrapa gelombang,
gelombang pertama terjadi di negara Eropa, pada saat itu dimana kaum perempuan
merasa dirugikan baik dalam bidang pendidikan sosial, maupun dalam bidang politik. (Haitsam, 2007:97)
Sedangkan gelombang kedua ini lahir pada tahun
1960, yaitu ditandai dengan puncaknya hak suara perempuan diikut sertakan dalam
parlemen. Pada tahun 1960 inilah sebuah awal bagi perempuan untuk mendapatkan
hak suara didalam parlemen dan hingga ikut serta dalam kancah perpolitikan
negara.
Pada tahun 1960-an ini gerakan ini cukup
mendapatkan momentum sejarah. Untuk menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat
modern dimana memiliki struktur cacat akibat budaya patriarkal yang sangat
kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya
ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis. (Leo
Agustino, 2007:237)
Gerakan feminisme ini berjalan terus, sekalipun
sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini, namun tetap
saja terlihat banyak mengalami halangan.
Feminisme gelombang kedua ini merupakan suatu
proyek transformasi radikal dan bertujuan untuk menciptakan dunia yang
difeminiskan. Dengan adanya operasi penindasan dalam berbagai kehidupan,
ketidak adilan dalam ranah politik dan kekuasaan dan kemudian hal itu menjadi
kajian para feminisme gelombang kedua, karena itulah pada dekade tersebut lahir
apa yang disebut dengan politik feminisme. Politik feminisme yang dimaksud
dalam konteks global yaitu memperjuangkan hak perempuan.
Gelombang tiga ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi akibat sistem patriarki. sehingga perempuan harus memisahkan kehidupannya dari laki-laki. Gelombang ini terkenal dengan sebutan feminis radikal.
Sekalipun para feminis mempunyai kesadaran yang
sama tentang adanya ketidak adilan gender terhadap perempuan di dalam keluarga
maupun masyarakat, tapi mereka berbeda pendapat dalam menganalisis sebab
terjadinya ketidak adilan tersebut dan juga berbeda pendapat tentang bentuk dan
target yang hendak dicapai. Perbedaan tersebut melahirkan empat aliran feminis
yaitu feminis liberal, marxis, radikal dan sosialis. (Ilyas, 1998:46)
a. Feminis Liberal
Feminis liberal
ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara
penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan
berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Aliran ini berpendapat bahwa semua orang diciptakan dengan hak yang sama
dan setiap orang harus punya kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. (Ilyas, 1998:47)
Feminisme
liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan
sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkaN wanita pada posisi
sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala
sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme.
Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak
tergantung lagi pada pria.
Bagi kaum feminis liberal
ada dua macam untuk mencapai tujuan dengan cara membangkitkan individu-individu
mellui diskusi dan cara berikutnya dengan menuntut pembaruan-pembaruan hukum
yang tidak menguntungkan perempuan dan mengubah hukum dan peraturan yang
memperlakukan perempuan setara dengan laki-laki. (Ilyas, 1998:47)
b. Feminis Marxis
Aliran ini berpendapat bahwa ketertinggalan yang dialami
oleh perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja, tetapi
akibat dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang erat kaitannya dengan
kapitalisme. Menurut mereka tidak mungkin perempuan memperoleh kesempatan yang
sama seperti laki-laki jika mereka masih tetap hidup dalam masyarakat yang
berkelas. (Ilyas, 1998:48)
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat
kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi
juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk
memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang
menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
c. Feminis Radikal
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap
perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek
utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas
(termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan
dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan
anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah
yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan
buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Gerakan ini
dapat didefinisikan sebagai gerakan yang berjuang di dalam realitas seksual,
dan kurang pada realitas-realitas lainnya.
Ia berasumsi bahwa perempuan harus memisahkan kehidupannya dari laki-laki, paling
sedikit pemisahan perasaan dengan cara mengembangkan kesanggupan untuk berdiri
sendiri, termasuk dalam hal memperoleh kepuasan seksual. Sesudah itu perempuan
dan laki-laki harus belajar kembali, sehingga sehingga tercipta sebuah hubungan
yang didasarkan pada cinta, kasih sayang yang sesungguhnya. (Ilyas, 1998:53)
d. Feminis Sosialis
Gerakan ini merupakan sintesis dari feminis Marxis dan feminis
radikal. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum
kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik
kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme
sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan
perempuan.
Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan
sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju
dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu.
Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti
dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh
laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan
pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh
anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah
menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia,
analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi
beban perempuan.
2.
Karakteristik
Pendekatan Feminis
Patriarkhi yang
berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-anak
telah menjadi isu sentral dalam wacana feminisme. Laki-laki sebagai patriarch menguasai
anggota keluarga, harta dan sumber-sumber ekonomi serta posisi pengambil
keputusan. Dalam realitas sosial, superioritas laki-laki juga mengendalikan
norma dan hukum kepantasan secara sepihak.
Dalam catatan
sejarah, perempuan dipandang sebagai makhluk inferior, emosional, serta kurang
akalnya. Kentalnya dominasi budaya patriarki seringkali tidak mampu
direntas secara tuntas oleh agama-agama yang dimaksudkan untuk membebaskan manusia
dari segala bentuk penindasan yang berbasis etnik, ras, agama maupun
gender.
Feminis
berpendapat bahwa setelah para utusan Tuhan sebagai pewarta wahyu wafat maka
secara berangsur-angsur penafsiran kitab suci kembali dikendalikan oleh
nilai-nilai patriarkis yang menguntungkan pada satu pihak.
Konstruk budaya patriarki yang mapan
secara universal dan berlangsung secara berabad-abad tidak lagi dipandang
sebagai ketimpangan, bahkan diklaim sebagai fakta alamiah. Kemunculan agama
pada dasarnya merupakan jeda yang secara periodik berusaha mencairkan
kekentalan budaya patriarki. Oleh sebab itu, kemunculan setiap agama selalu
mendapatkan perlawanan dari mereka yang diuntungkan dari budaya patriarki.
Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam sejarah perkembangan
manusia.
Salah satu
aspek fundamental suatu agama adalah kemampuannya untuk membebaskan manusia
dari berbagai bentuk penindasan. Dalam Al Qur'an digambarkan bahwa kedatangan
Nabi Muhammad bertujuan untuk membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan
yang menghilangkan integritas kemanusiaan mereka
Dalam wacana keagamaan, perspektif para
penafsir memiliki andil dalam menerjemahkan kebenaran ilahi. Tidak seperti
pewahyuan yang datang begitu saja, perspektif penafsir adalah suatu kondisi mentalitas
yang terbentuk dari proses sosialisasi kolektif dari suatu konstruk budaya
tertentu dan mengalami proses internalisasi individual. Dengan kata lain,
perspektif adalah produk dari suatu kultur yang dalam kadar tertentu
berpengaruh pada sikap seseorang, bahkan pada tingkat apapun obyektifitas
dipertahankan.
Di samping itu, proses penafsiran juga
melibatkan suatu persaingan untuk menetapkan otoritas dan kompetensi penafsir,
baik dari segi strata sosial, etnisitas dan juga gender. Kompetensi tersebut
harus didukung oleh suatu mekanisme untuk menetapakan kebenaran resmi yang pada
gilirannya dapat mengokohkan otoritas penafsir, baik secara individual maupun
kolektif. Kedua aspek inilah yang berpotensi untuk mereduksi semangat
emansipasi wahyu dengan lebih banyak melegitimasi kenyataan kultural di mana
penafsiran dilakukan.
3.
Pendekatan
Feminis dalam Studi Agama
Apabila kita
tela’ah lagi kata feminis sangat erat kaitannya dengan perempuan, karena memang
pelaku feminis ini dominan kepada perempuan. pada zaman jahiliyah dahulu
perempuan selalu menjadi objek yang tertindas dari kalangan laki-laki, bahkan
sebelum datangnya rasulullah SAW sebagai pembawai risalah kebenaran. namun
sangat disayangkan walaupun akhirnya dengan datangnya islam harkat derajat
wanita telah diangkat tapi tetap saja ajarannya yang mungkin disalah artikan
dijadikan dalil oleh sebagian laki-laki untuk tetap dapat mengontrol, menguasai
kaum perempuan dengan membatasi kehidupan kaum perempuan dari urusan-urusan
public yang mana ornament-ornament yang berlaku bagi kaum perempuan hanya
terkait dengan urusan dapur, sumur dan kasur serta ketaatan pada suami dan juga
larangan wilayah public.
Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain
merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoretis yang ada dengan
menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Konsep gender
didefinisikan sebagai hasil atau akibat dari pembedaan atas dasar jenis kelamin
atau lainnya. Gender digunakan digunakan untuk menganalisis secara sistematik
tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan
kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan.
Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender tersebut
muncul karena adanya kesalah pahaman terhadap konsep
gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata “gender” dan “seks”
secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin. Konsep
seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa
sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan
jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti
bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak.
Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau
alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah
berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut,
emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat,
rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan
dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural
tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya dianggap
sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati
yang tak bisa diubah-ubah lagi.(Mufidah Ch, 2008:3)
Sebagaimana agama, feminis memberi perhatian
pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam,
didasarkan pada banyak pandangan interdisipliner baik dari antropologi,
teologi, sosiologi dan filsafat. Tujuan utama dari tugas feminis adalah
mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan
pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin interaksi yang
paling menguntungkan antara satu dengan yang lain. ( Conolly, 2012:63)
Perkembangan
teoretis belakangan dalam studi keagamaan perempuan menunjukkan bahwa disamping
mencari asal status inspirasional seluruh perempuan masa lampau, juga
memunculkan pertanyaan yang perlu dijawab mengenai dinamika historis agama,
gender, dan kekuasaan. Persoalan
gender dan peran perempuan sudah merupakan bagian integral dari sistem nilai
dan pandangan dunianya. (Yamani, 2000:326)
Sebagai
hasilnya, pendekatan feminis telah dan terus berfungsi sebagai suatu percobaan
untuk menguji kemampuan agama dalam mendefinisikan kebermaknaannya sendiri
dalam konteks pluralitas kontemporer dan menghadapi tantangan postmodernitas. (
Conolly, 2012:85-90)
Selain itu, pendekatan feminis berupaya melawan persepsi umum bahwa
perempuan lebih rendah daripada lelaki secara moral dan spiritual dan karenanya
memiliki peran dan tugas keagamaan dan spiritual yang lebih rendah daripada
lelaki.
4.
Poligami dalam Pandangan Feminisme
Poligami adalah praktek perkawinan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dengan dua orang istri atau lebih pada saat
yang bersamaan. Praktek perkawinan ini demikian permissive (longgar)
dilakukan oleh banyak laki-laki di dunia Islam, termasuk Indonesia. Alasan
longgarnya praktek poligami ini karena kuatnya anggapan bahwa laki-laki
memiliki dorongan seksual tinggi yang sewaktu-waktu dapat meletup. Adanya
penyaluran formal dan teratur, seperti praktek poligami, sebagaimana yang
menjadi pandangan beberapa pihak, merupakan salah satu jalan keluar untuk
menghindari frustasi dan sebagai kelanjutannya, agresifitas laki-laki. Sebagian
laki-laki Islam mendasarkan praktek poligami ini pada ajaran Islam seraya
mengutip ayat-ayat al-Quran yang berbunyi: “Jika kamu khawatir tak dapat
berlaku adil terhadap anak-anak yatim, kawinilah perempuan-perempuan yatim
tersebut sesuai dengan yang kamu sukai; dua, atau tiga atau empat. Tetapi jika
kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup satu saja. Sebab yang
demikian (dengan hanya satu tersebut) dapat menjauhkan kamu dari bersikap
aniaya. (Qs. Annisa: 3)”
Dalam tafsir yang berperspektif feminis, ayat
di atas bukan merupakan pengesahan untuk laki-laki melakukan poligami,
melainkan untuk mengatasi berbagai persoalan sosial-ekonomi akibat dari
kekalahan perang Uhud. (625 M). Pada masa ini, Rasulullah Muhammad
dan umat Islam awal sedang mengalami masa-masa yang cukup sulit, yakni
kekalahan Perang Uhud. Akibat dari kekalahan tersebut, banyak prajurit Muslim
gugur dan meninggalkan istri-istri serta anak-anak mereka yang kemudian menjadi
janda dan anak-anak yatim. (Engineer, 2003:257)
Ulama Tafsir memahami dan menafsirkan ayat-di
atas sebagaimana berikut ini. Imam Ath-Thabari memahami ayat diatas dalam
konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya, dan
juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia menafsirkan ayat
tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak yatim dan kewajiban
berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini. Lebih lanjut menurut
Ath-Thabari, apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak
yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan
lain yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Namun “jika khawatir” tidak dapat
berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang istri saja. Jika masih
juga khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap satu istri, maka
janganlah engkau menikahinya. Akan tetapi, nikahilah budak-budak yang kamu
miliki, karena mereka itu adalah milikmu dan merupakan hartamu (para budak
tidak menuntut hak sebagaimana hak perempuan-perempuan merdeka). Yang demikian
itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan terhadap
perempuan.
Dari penafsiran Imam ath-Thabari diatas, sangat
jelas beliau menekankan untuk berlaku
adil bagi kaum lelaki baik terhadap hak-hak anak yatim maupun terhadap hak-hak
perempuan yang dia kawini. Jadi, bukan berarti ayat ini menunjukkan kebolehan
berpoligami sampai empat orang istri dengan tanpa syarat yang ketat, sehingga
syarat tersebut tidak mungkin (untuk tidak mengatakan mustahil) bisa dipenuhi
oleh setiap laki-laki. Adapun syarat-syaratnya, sebagaimana disebuatkan oleh
Abdul Halim Abu Syuqqah dalam kitabnya “Pembebasan Wanita” sebagai
berikut :
1.
Tidak lebih
dari 4 (empat) istri, sebagaimana al-Qur’an 4:3.
2.
Mampu memberi
nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya serta orang yang menjadi
tanggunganya.
3.
Mampu memeliara
istri-istri dan nanak-anaknya dengan baik.
4.
Dapat berbuat
adil.
Terhadap persoalan ini al-Quran menawarkan
pemecahannya dengan tawaran poligami sebagaimana yang terdapat pada al-Quran
Surat Annisa: 3 di atas. Dalam hal ini tawaran poligami pada saat itu
berfungsi untuk beberapa hal. Pertama, menopang ekonomi para janda dan
anak-anak yatim yang telah kehilangan suami dan ayah mereka pasca Perang Uhud. Kedua,
pemerataan distribusi ekonomi secara adil. Harta kekayaan tidak hanya menumpuk
pada satu tangan, tetapi bagaimana semua masyarakat bisa mengakses kekayaan
tersebut. (Engineer,
2003:257-258)
Tetapi tawaran
al-Quran dengan memperbolehkan menikahi para janda tersebut pun diragukan oleh
al-Quran itu sendiri, terbukti terdapat ayat-ayat yang menegasikannya: “Kamu
takkan dapat berlaku adil terhadap perempuan, meskipun kamu berhasrat demikian”
(Qs. Annisa 129). Terkait dengan ayat yang mengikutinya ini, Muhammad Abduh
melarang poligami dengan tiga argumentasi. Pertama, berlaku adil
merupakan syarat dari poligami, dan syarat ini tidak pernah terjadi. Jika pun
ternyata ada orang yang berbuat adil, mungkin satu dari sejumlah banyak orang
di dunia ini yang tak dapat berbuat adil dan hal tersebut tak dapat dijadikan
argumentasi. Kedua, dewasa ini, suami berbuat tidak baik kepada istrinya
karena berpoligami seperti tidak memberi nafkah dan berbuat sewenang-wenang.
Maka hakim agama (Qadhi) berhak melarang tradisi ini untuk menghindari
kerusakan dalam kehidupan keluarga. Ketiga, muncul permusuhan dan
perselisihan antara anak-anak yang berbeda ibu, karena mereka dididik dalam
suasana persaingan dan kebencian diantara para istri. Setelah
mempertimbangkan realitas di atas, tokoh-tokoh agama berhak membatalkan tradisi
ini untuk mencipta kebaikan dan menghindari kerusakan. (Romli: 2010: 205)
Berbeda dengan Ath-Thabari, ar-Razi menambahkan bahwa firman Allah : وَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تُقْسِطُوا (jika kamu khawatir tidak
mampu berlaku adil) sebagai syarat, dan فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ (maka nikahilah perempuan-perempuan yang
kamu senangi) sebagai suatu kebolehan. Dengan demikian, mesti ada keterangan
yang jelas tentang bagaimana sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi
perempuan-perempuan yang disukai (beristri sampai empat atau poligami) dengan
syarat tersebut di atas.
Menurut ar-Razi, untuk menjawab pertanyaan tersebut, dikalangan para mufassir
ada empat alasan :
1.
Karena adanya
wali yang tertarik kepada kecantikan dan harta anak yatim perempuan dan
bermaksud menikahinya tetapi enggan membayar mahar. Sebagaimana disebutkan
dalam riwayat berikut ini.
”Bahwa Urwah bin Zubair telah bertanya kepada
Aisyah (istri Rasulullah), apa maksud firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
Aisyah menjawab: ” wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak yatim perempuan
yang ada dalam asuhan walinya, si wali tertarik pada harta dan pada kecantikan
anak itu. Maka bermaksudlah dia untuk menikahinya dengan memberi mahar yang
paling rendah, kemudian ia menggaulinya dengan cara yang tidak baik. “Oleh
karena itu, Allah berfirman, jika kamu khawatir akan menganiaya terhadap
anak-anak yatim ketika kamu menikahi mereka, maka nikahilah perempuan-perempuan
lain yang kamu suka. Aisyah meneruskan pembicaraanya: “Kemudian ada orang
meminta fatwa kepada Rosulullah tentang perempuan-perempuan itu sesudah
ayat ini turun. Selanjutnya turunlah ayat (surat an-Nisa’ juga ayat 127). Mereka
meminta fatwa kepadamu tentang perempuan-perempuan. Katakanlah : Allah
akan memberi keterangan kepadamu di dalam kitab (ini) dari hal anak-anak yatim
perempuan yang kamu tidak mau memberikan apa yang diwajibkan untuk mereka,
padahal kamu menikahinya. Kata Aisyah selanjutnya: “Yang dimaksud dengan
yang dibacakan kepadamu dalam kitab ini ialah ayat yang pertama itu,
yaitu jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil (bila menikahi)
anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu
senangi,”
2.
Karena adanya
lelaki yang berpoligami tetapi tidak memberi hak-hak istri-istrinya dan tidak
berlaku adil terhadap mereka.”
3.
Karena adanya
lelaki yang engan menjadi wali disatu sisi bagi anak-anak yatim perempuan,
disisi yang lain dia menginginkan untuk menikahinya akan tetapi dia takut tidak
bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim, sementara dia takut juga dari
dosa zina, maka hendaknya menikahi saja perempuan-perempuan yang dihalalkan
baginya. “
4.
Karena adanya
seorang lelaki yang berpoligami serta mengayomi anak-anak yatim tetapi tidak
mampu memberikan nafkah kepada istri-istri mereka, maka mereka mengambil harta
anak anak yatim yang ada padanya untuk diberikan kepada istri-istri mereka.
Ketika seorang lelaki tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak yatim karena
banyak istri maka dilarang untuk berpoligami. Sebagaimana disebutkana dalam
riwayat Ikrimah dibawah ini.
”Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa ia berkata: ”
Ada seorang laki-laki yang memiliki banyak istri, dan ia juga mengayomi
anak-anak yatim. Ketika ia menafkahkan harta pribadinya untuk
istri-istrinya dan tidaklah cukup harta tersebut, karena ia banyak kebutuhan,
maka diambillah harta anak yatim untuk menafkahi mereka. Allah berfirman: Jika
kamu takut tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak-anak yatim, karena kamu
banyak istri, maka dilarang bagi kamu menikahi lebih dari empat istri, supaya
kamu bebas dari ketakutan itu. Jika kamu masih takut dengan beristri empat ,
maka nikahlah dengan seorang istri saja. Ingatlah, batas maksimal (paling
banyak) adalah emapt orang, dan batas minimal adalah satu orang, dan
diperingatkan antara keduanya. Maka Allah juga mengatakan: Jika kamu khawatir
dengan empat orang, maka nikahilah tiga orang, jika kamu khawatir dengan tiga
orang maka nikahilah dua orang, jika kamu khawatir dengan dua orang, maka
nikahilah satu orang orang saja. Penafsiran ini lebih dekat, seolah-olah Allah
mengkhawatirkan orang yang memiliki banyak istri, boleh jadi ia akan terjerumus
seperti wali yang mengambil harta anak yatim yang ada dalam asuhannya, untuk
menutupi kebutuhan nafkah yang banyak disebabkan ia memiliki istri yang banyak.
Berdasarkan penjelasan diatas, baik Ath-Thabari
maupun ar-Razi, memahami ayat tersebut masih dalam kaitanya dengan perintah
berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga keharusan berlaku adil terhadap
perempuan-perempuan yang dinikahi. At-Thabari mengatakan : “Jika kamu khawatir
tidk mampu berlaku adil terhadap anak yatim, demikian juga terhadap
perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, maka janganlah kamu nikahi mereka
walaupun hanya satu orang. Tetapi cukuplah kamu menikahi budak-budak yang kamu
miliki. Sebab mengawini budaknya sendiri lebih memungkinkah untuk tidak berbuat
penyelewengan (semena-mena terhadap perempuan).
Sementara itu, ar-Razi berpendapat bahwa
apabila seorang laki-laki khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak
yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan
lain sebanyak yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Dan jangan menikahi lebih
dari empat orang istri, agar hilang kekhawatiran tersebut. Namun jika masih
khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap empat orang istri maka seorang istri
lebih baik bagi mereka. Kemudian ar-Razi memperingatkan bahwa batas maksimal
empat orang istri, dan batas minimal satu orang istri. Sedangkan diantara dua
batas tersebut (dua atau tiga orang istri) itu boleh-boleh saja, asal kamu
mampu berlaku adil.
C.
Kesimpulan
a.
Metode
pendekatan feminis merupakan cara mengkaji Islam dengan perspektif gender, di
mana yang diusung adalah ketidaksetaraan, marginalisasi terhadap perempuan dan
sebagainya.
b.
Dengan metode,
meskipun mendekati keadilan, namun tidak berarti semua orang setuju dengan
metode ini, terutama bagi orang-orang atu golongan tertentu yang merasa
diuntungkan dari budaya patriarkhi.
c.
Karena feminis
timbul atas dasar sebuah persoalan, maka di dalam metode ini terkesan adany
keterpihakan, bahkan tidak jarang ada orang yang menganggapnya sebagai sebuah
tindakan yang kebablasan atau terlalu apologis dalam menafsirkan suatu ayat.
Abu Zayd, Nasr Hamid. 2003. Dekonstruksi
Gender, Yogyakarta: SAMHA
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,
Bandung: Rajawali Press
Agustino, Leo. 2007. Perihal Ilmu Politik:
Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ahmed, Leila. 2000 Wanita dan Gender dalam
Islam: Akar-akar Historis Perdebatan Modern, Jakarta: PT. Lentera Basitama.
Al Khayyath, Muhammad Haitsam, 2007. Problematika
Muslimah di Era Modern, terjm. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratam
Ilyas, Yunahar. 1998. Feminisme dalam Kajian
Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakart: Pustaka Pelajar
Ismail, Nurjanah. 2003. Perempuan dalam
pasungan, Yogyakarta: LKis
Moghissi, Haideh. 2005. Feminisme dan
Fundamentalisme Islam, Yogyakarta: LKis.
Mufidah Ch,
2008, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN Press.
Poerwadaminta
WJ.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:PN balai pustaka.
S. Ansori, Dadang. 1997. Membincangkan
Feminisme: Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, Jakarta:
Pustaka Hidayah.
Sue Morgan, Pendekatan Feminis, Aneka
Pendekatan Studi Agama, ed. Peter Connolly,
Yogyakarta: LKis, 2002
Yamani, May. 2000, Feminisme dan Islam: Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia

Tidak ada komentar:
Posting Komentar