Minggu, 22 Januari 2017

makalah PENDEKATAN FEMINIS DALAM STUDI ISLAM (POLIGAMI DALAM PANDANGAN FEMINIS)



PENDEKATAN FEMINIS DALAM STUDI ISLAM
(POLIGAMI DALAM PANDANGAN FEMINIS)

MAKALAH
Dibuat dalam Rangka Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Pendekatan Ilmu-Ilmu Keislaman
Dosen Pengampu Dr. Abu Hafsin, M.A












Oleh :
Ali Anwar
NIM. 1400018020





PROGRAM MAGISTER STUDI ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
PENDEKATAN FEMINIS DALAM STUDI ISLAM
(POLIGAMI DALAM PANDANGAN FEMINIS)

A.    Pendahuluan
Dalam mempelajari agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar substansi dari  agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Studi Islam merupakan pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Untuk memahami Islam sendiri, Nasruddin Razak menawarkan beberapa metode, di antaranya adalah; Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam Al Qur'an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.
Masalah poligami merupakan isu yang sangat terkait dengan perempuan. Kaum perempuanlah yang banyak merasakan ketidakadilan poligami.Bahwa praktek poligami ini telah lama berlaku ketika munculnya Islam, dan berkembang diseluruh daerah, pada saat permpuan dianggap sebagai sepesies khusus antara manusia dan hewan. (Abu Zayd, 2003:197)
Karenanya, isu ini banyak dikumandangkan dan  mendapat sorotan penting dari penggiat hak-hak kaum perempuan, termasuk kaum feminis Islam. Mereka mempertanyakan, untuk tidak menyebut menggugat, tradisi pernikahan lebih dari satu ini.  
Dalam hal ini maka para feminis berpandangan bahwa perempuan saat ini berada dalam suatu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil, karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan dasar Islam. Kaum perempuan dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya dan syari'at. Mereka beranggapan bahwa posisi kaum perempuan dalam kenyataannya di masyarakat saat ini, tertindas oleh suatu sistem dan struktur gender, oleh karena itu ketidakadilan tersebut harus dihentikan. Karena proses ketidakadilan tersebut berakar pada teologi yang didasarkan pada keyakinan ajaran Islam, maka dianggap perlu untuk melakukan sebuah kajian Islam tentang poligami dengan pendekatan feminis.

B.     Pembahasan
Sebelum membahas tentang pendekatan feminis, maka terlebih dahulu kita uraikan arti  feminis itu sendiri. Feminis adalah sebuah kata yang diambil dari kalimat Perancis (féminisme) dan berasal dari kata Latin (femind), kemudian mengalami sedikit perubahan. Dalam bahasa Inggris dan juga Jerman, kata itu mempunyai arti yang sama yaitu  wanita atau jenis perempuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) feminis adalah gerakan wanita yg menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.
Menurut Kamla Bhasin feminisme adalah suatu kesadran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Sedangkan Budianto mengartikan feminisme suatu kritik ideologi terhadap cara pandang yang mengabaikan masalah ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Feminisme identik dengan  emansipasi, dimana emansipasi ialah perjuangan untuk pembebasan dari perbudakan yang sesungguhya dan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sehingga kaum feminis membongkar pengalaman ketertindasan sebagai perempuan, mempertanyakan relasi-relasi kekuasaan yang berlangsung pada perempuan. Feminisme memperjuangkan kemanusiaan kaum perempuan, memperjuangkan perempuan sebagai manusia merdeka menuju penataan hubungan-hubungan sosial baru di mana perempuan sama dengan laki-laki menjadi subjek utuh dalam membuat keputusan dalam alokasi kekuasaan dan sumber-sumbernya. Perubahan ini datang tidak dengan sendirinya melainkan harus diperjuangkan.
Dari beberapa pengertian di atas bahwa feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang bertujuan untuk mendapatkan kedudukan dan derajat yang sama baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum, seperti apa yang didapatkan lelaki.

1.      Sejarah Feminisme
Gerakan ini lahir pada abad 19, gerakan ini cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Pada saat itu perempuan di negara-negara Eropa ingin memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukan bahwa secara umum kaum perempuan (feminim) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki, khususnya pada masyarakat yang sifatnya patriarki. Dalam feminisme ada bebrapa gelombang, gelombang pertama terjadi di negara Eropa, pada saat itu dimana kaum perempuan merasa dirugikan baik dalam bidang pendidikan sosial, maupun dalam bidang politik.  (Haitsam, 2007:97)
Sedangkan gelombang kedua ini lahir pada tahun 1960, yaitu ditandai dengan puncaknya hak suara perempuan diikut sertakan dalam parlemen. Pada tahun 1960 inilah sebuah awal bagi perempuan untuk mendapatkan hak suara didalam parlemen dan hingga ikut serta dalam kancah perpolitikan negara.
Pada tahun 1960-an ini gerakan ini cukup mendapatkan momentum sejarah. Untuk menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur cacat akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis. (Leo Agustino, 2007:237)
Gerakan feminisme ini berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini, namun tetap saja terlihat banyak mengalami halangan.
Feminisme gelombang kedua ini merupakan suatu proyek transformasi radikal dan bertujuan untuk menciptakan dunia yang difeminiskan. Dengan adanya operasi penindasan dalam berbagai kehidupan, ketidak adilan dalam ranah politik dan kekuasaan dan kemudian hal itu menjadi kajian para feminisme gelombang kedua, karena itulah pada dekade tersebut lahir apa yang disebut dengan politik feminisme. Politik feminisme yang dimaksud dalam konteks global yaitu memperjuangkan hak perempuan.
Gelombang tiga ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. sehingga perempuan harus memisahkan kehidupannya dari laki-laki. Gelombang ini terkenal dengan sebutan feminis radikal.
Sekalipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama tentang adanya ketidak adilan gender terhadap perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, tapi mereka berbeda pendapat dalam menganalisis sebab terjadinya ketidak adilan tersebut dan juga berbeda pendapat tentang bentuk dan target yang hendak dicapai. Perbedaan tersebut melahirkan empat aliran feminis yaitu feminis liberal, marxis, radikal dan sosialis. (Ilyas, 1998:46)

a.    Feminis Liberal
Feminis liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Aliran ini berpendapat bahwa semua orang diciptakan dengan hak yang sama dan setiap orang harus punya kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. (Ilyas, 1998:47)
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkaN wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Bagi kaum feminis liberal ada dua macam untuk mencapai tujuan dengan cara membangkitkan individu-individu mellui diskusi dan cara berikutnya dengan menuntut pembaruan-pembaruan hukum yang tidak menguntungkan perempuan dan mengubah hukum dan peraturan yang memperlakukan perempuan setara dengan laki-laki. (Ilyas, 1998:47)  
b.      Feminis Marxis
Aliran ini berpendapat bahwa ketertinggalan yang dialami oleh perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu secara sengaja, tetapi akibat dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang erat kaitannya dengan kapitalisme. Menurut mereka tidak mungkin perempuan memperoleh kesempatan yang sama seperti laki-laki jika mereka masih tetap hidup dalam masyarakat yang berkelas. (Ilyas, 1998:48)
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
c.    Feminis Radikal
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Gerakan ini dapat didefinisikan sebagai gerakan yang berjuang di dalam realitas seksual, dan kurang pada realitas-realitas lainnya.
Ia berasumsi bahwa perempuan harus memisahkan kehidupannya dari laki-laki, paling sedikit pemisahan perasaan dengan cara mengembangkan kesanggupan untuk berdiri sendiri, termasuk dalam hal memperoleh kepuasan seksual. Sesudah itu perempuan dan laki-laki harus belajar kembali, sehingga sehingga tercipta sebuah hubungan yang didasarkan pada cinta, kasih sayang yang sesungguhnya. (Ilyas, 1998:53)

d.   Feminis Sosialis
Gerakan ini merupakan sintesis dari feminis Marxis dan feminis radikal. Aliran ini hendak mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan.
Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
2.      Karakteristik  Pendekatan Feminis
Patriarkhi yang berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-anak telah menjadi isu sentral dalam wacana feminisme. Laki-laki sebagai patriarch menguasai anggota keluarga, harta dan sumber-sumber ekonomi serta posisi pengambil keputusan. Dalam realitas sosial, superioritas laki-laki juga mengendalikan norma dan hukum kepantasan secara sepihak.
Dalam catatan sejarah, perempuan dipandang sebagai makhluk inferior, emosional, serta kurang akalnya. Kentalnya dominasi budaya patriarki seringkali tidak mampu direntas secara tuntas oleh agama-agama yang dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan  yang berbasis etnik, ras, agama maupun gender.
Feminis berpendapat bahwa setelah para utusan Tuhan sebagai pewarta wahyu wafat maka secara berangsur-angsur penafsiran kitab suci kembali dikendalikan oleh nilai-nilai patriarkis yang menguntungkan pada satu pihak.
 Konstruk budaya patriarki yang mapan secara universal dan berlangsung secara berabad-abad tidak lagi dipandang sebagai ketimpangan, bahkan diklaim sebagai fakta alamiah. Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarki. Oleh sebab itu, kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan dari mereka yang diuntungkan dari budaya patriarki. Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam sejarah perkembangan manusia.
Salah satu aspek fundamental suatu agama adalah kemampuannya untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan. Dalam Al Qur'an digambarkan bahwa kedatangan Nabi Muhammad bertujuan untuk membebaskan umat manusia dari belenggu penindasan yang menghilangkan integritas kemanusiaan mereka
Dalam wacana keagamaan, perspektif para penafsir memiliki andil dalam menerjemahkan kebenaran ilahi. Tidak seperti pewahyuan yang datang begitu saja, perspektif penafsir adalah suatu kondisi mentalitas yang terbentuk dari proses sosialisasi kolektif dari suatu konstruk budaya tertentu dan mengalami proses internalisasi individual. Dengan kata lain, perspektif adalah produk dari suatu kultur yang dalam kadar tertentu berpengaruh pada sikap seseorang, bahkan pada tingkat apapun obyektifitas dipertahankan.
Di samping itu, proses penafsiran juga melibatkan suatu persaingan untuk menetapkan otoritas dan kompetensi penafsir, baik dari segi strata sosial, etnisitas dan juga gender. Kompetensi tersebut harus didukung oleh suatu mekanisme untuk menetapakan kebenaran resmi yang pada gilirannya dapat mengokohkan otoritas penafsir, baik secara individual maupun kolektif. Kedua aspek inilah yang berpotensi untuk mereduksi semangat emansipasi wahyu dengan lebih banyak melegitimasi kenyataan kultural di mana penafsiran dilakukan.

3.      Pendekatan Feminis dalam Studi Agama
Apabila kita tela’ah lagi kata feminis sangat erat kaitannya dengan perempuan, karena memang pelaku feminis ini dominan kepada perempuan. pada zaman jahiliyah  dahulu perempuan selalu menjadi objek yang tertindas dari kalangan laki-laki, bahkan sebelum datangnya rasulullah SAW sebagai pembawai risalah kebenaran. namun sangat disayangkan walaupun akhirnya dengan datangnya islam harkat derajat wanita telah diangkat tapi tetap saja ajarannya yang mungkin disalah artikan dijadikan dalil oleh sebagian laki-laki untuk tetap dapat mengontrol, menguasai kaum perempuan dengan membatasi kehidupan kaum perempuan dari urusan-urusan public yang mana ornament-ornament yang berlaku bagi kaum perempuan hanya terkait dengan urusan dapur, sumur dan kasur serta ketaatan pada suami dan juga larangan wilayah public.
Pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dari perspektif teoretis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Konsep gender didefinisikan sebagai hasil atau akibat dari pembedaan atas dasar jenis kelamin atau lainnya. Gender digunakan digunakan untuk menganalisis secara sistematik tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan.
Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalah pahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin. Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak. Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi.(Mufidah Ch, 2008:3)
Sebagaimana agama, feminis memberi perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam, didasarkan pada banyak pandangan interdisipliner baik dari antropologi, teologi, sosiologi dan filsafat. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara satu dengan yang lain. ( Conolly, 2012:63)
Perkembangan teoretis belakangan dalam studi keagamaan perempuan menunjukkan bahwa disamping mencari asal status inspirasional seluruh perempuan masa lampau, juga memunculkan pertanyaan yang perlu dijawab mengenai dinamika historis agama, gender, dan kekuasaan. Persoalan gender dan peran perempuan sudah merupakan bagian integral dari sistem nilai dan pandangan dunianya. (Yamani, 2000:326)
Sebagai hasilnya, pendekatan feminis telah dan terus berfungsi sebagai suatu percobaan untuk menguji kemampuan agama dalam mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam konteks pluralitas kontemporer dan menghadapi tantangan postmodernitas. ( Conolly, 2012:85-90)
Selain itu, pendekatan feminis berupaya melawan persepsi umum bahwa perempuan lebih rendah daripada lelaki secara moral dan spiritual dan karenanya memiliki peran dan tugas keagamaan dan spiritual yang lebih rendah daripada lelaki.
4.      Poligami dalam Pandangan Feminisme
Poligami adalah praktek perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan dua orang istri atau lebih pada saat yang bersamaan. Praktek perkawinan ini demikian permissive (longgar) dilakukan oleh banyak laki-laki di dunia Islam, termasuk Indonesia. Alasan longgarnya praktek poligami ini karena kuatnya anggapan bahwa laki-laki memiliki dorongan seksual tinggi yang sewaktu-waktu dapat meletup. Adanya penyaluran formal dan teratur, seperti praktek poligami, sebagaimana yang menjadi pandangan beberapa pihak, merupakan salah satu jalan keluar untuk menghindari frustasi dan sebagai kelanjutannya, agresifitas laki-laki. Sebagian laki-laki Islam mendasarkan praktek poligami ini pada ajaran Islam seraya mengutip ayat-ayat al-Quran yang berbunyi: “Jika kamu khawatir tak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, kawinilah perempuan-perempuan yatim tersebut sesuai dengan yang kamu sukai; dua, atau tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup satu saja. Sebab yang demikian (dengan hanya satu tersebut) dapat menjauhkan kamu dari bersikap aniaya. (Qs. Annisa: 3)”
Dalam tafsir yang berperspektif feminis, ayat di atas bukan merupakan pengesahan untuk laki-laki melakukan poligami, melainkan untuk mengatasi berbagai persoalan sosial-ekonomi akibat dari kekalahan perang Uhud. (625 M). Pada  masa ini,  Rasulullah Muhammad dan  umat Islam awal sedang mengalami masa-masa yang cukup sulit, yakni kekalahan Perang Uhud. Akibat dari kekalahan tersebut, banyak prajurit Muslim gugur dan meninggalkan istri-istri serta anak-anak mereka yang kemudian menjadi janda dan anak-anak yatim. (Engineer, 2003:257)
Ulama Tafsir memahami dan menafsirkan ayat-di atas sebagaimana berikut ini. Imam Ath-Thabari memahami ayat diatas dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya, dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak yatim dan kewajiban berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini. Lebih lanjut menurut Ath-Thabari, apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Namun “jika khawatir” tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang istri saja. Jika masih juga khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap satu istri, maka janganlah engkau menikahinya. Akan tetapi, nikahilah budak-budak yang kamu miliki, karena mereka itu adalah milikmu dan merupakan hartamu (para budak tidak menuntut hak sebagaimana hak perempuan-perempuan merdeka). Yang demikian itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan terhadap perempuan.
Dari penafsiran Imam ath-Thabari diatas, sangat  jelas beliau menekankan untuk berlaku adil bagi kaum lelaki baik terhadap hak-hak anak yatim maupun terhadap hak-hak perempuan yang dia kawini. Jadi, bukan berarti ayat ini menunjukkan kebolehan berpoligami sampai empat orang istri dengan tanpa syarat yang ketat, sehingga syarat tersebut tidak mungkin (untuk tidak mengatakan mustahil) bisa dipenuhi oleh setiap laki-laki. Adapun syarat-syaratnya, sebagaimana disebuatkan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah dalam kitabnya “Pembebasan Wanita” sebagai berikut :
1.        Tidak lebih dari 4 (empat) istri, sebagaimana al-Qur’an 4:3.
2.        Mampu memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggunganya.
3.        Mampu memeliara istri-istri dan nanak-anaknya dengan baik.
4.        Dapat berbuat adil.
Terhadap persoalan ini al-Quran menawarkan pemecahannya dengan tawaran poligami sebagaimana yang terdapat pada al-Quran Surat Annisa: 3 di atas.  Dalam hal ini tawaran poligami pada saat itu berfungsi untuk beberapa hal. Pertama, menopang ekonomi para janda dan anak-anak yatim yang telah kehilangan suami dan ayah mereka pasca Perang Uhud. Kedua, pemerataan distribusi ekonomi secara adil. Harta kekayaan tidak hanya menumpuk pada satu tangan, tetapi bagaimana semua masyarakat bisa mengakses kekayaan tersebut. (Engineer, 2003:257-258)
Tetapi tawaran al-Quran dengan memperbolehkan menikahi para janda tersebut pun diragukan oleh al-Quran itu sendiri, terbukti terdapat ayat-ayat yang menegasikannya: “Kamu takkan dapat berlaku adil terhadap perempuan, meskipun kamu berhasrat demikian” (Qs. Annisa 129). Terkait dengan ayat yang mengikutinya ini, Muhammad Abduh melarang poligami dengan tiga argumentasi. Pertama, berlaku adil merupakan syarat dari poligami, dan syarat ini tidak pernah terjadi. Jika pun ternyata ada orang yang berbuat adil, mungkin satu dari sejumlah banyak orang di dunia ini yang tak dapat berbuat adil dan hal tersebut tak dapat dijadikan argumentasi. Kedua, dewasa ini, suami berbuat tidak baik kepada istrinya karena berpoligami seperti tidak memberi nafkah dan berbuat sewenang-wenang. Maka hakim agama (Qadhi) berhak melarang tradisi ini untuk menghindari kerusakan dalam kehidupan keluarga. Ketiga, muncul permusuhan dan perselisihan antara anak-anak yang berbeda ibu, karena mereka dididik dalam suasana persaingan dan kebencian diantara  para istri. Setelah mempertimbangkan realitas di atas, tokoh-tokoh agama berhak membatalkan tradisi ini untuk mencipta kebaikan dan menghindari kerusakan. (Romli: 2010: 205)
            Berbeda dengan Ath-Thabari, ar-Razi menambahkan bahwa firman Allah : وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا (jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil) sebagai syarat, dan فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ  (maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi) sebagai suatu kebolehan. Dengan demikian, mesti ada keterangan yang jelas tentang bagaimana sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi perempuan-perempuan yang disukai (beristri sampai empat atau poligami) dengan syarat tersebut di atas.
            Menurut ar-Razi, untuk menjawab pertanyaan tersebut, dikalangan para mufassir ada empat alasan :
1.        Karena adanya wali yang tertarik kepada kecantikan dan harta anak yatim perempuan dan bermaksud menikahinya tetapi enggan membayar mahar. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut ini.
”Bahwa Urwah bin Zubair telah bertanya kepada Aisyah (istri Rasulullah), apa maksud firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى Aisyah menjawab: ” wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak yatim perempuan yang ada dalam asuhan walinya, si wali tertarik pada harta dan pada kecantikan anak itu. Maka bermaksudlah dia untuk menikahinya dengan memberi mahar yang paling rendah, kemudian ia menggaulinya dengan cara yang tidak baik. “Oleh karena itu, Allah berfirman, jika kamu khawatir akan menganiaya terhadap anak-anak yatim ketika kamu menikahi mereka, maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu suka. Aisyah meneruskan pembicaraanya: “Kemudian ada orang meminta fatwa kepada Rosulullah tentang perempuan-perempuan itu  sesudah ayat ini turun. Selanjutnya turunlah ayat (surat an-Nisa’ juga ayat 127). Mereka meminta fatwa kepadamu  tentang perempuan-perempuan. Katakanlah : Allah akan memberi keterangan kepadamu di dalam kitab (ini) dari hal anak-anak yatim perempuan yang kamu tidak mau memberikan apa yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu menikahinya. Kata Aisyah selanjutnya: “Yang dimaksud dengan yang dibacakan kepadamu dalam kitab ini  ialah ayat yang pertama itu, yaitu jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan  (lain) yang kamu senangi,”
2.        Karena adanya lelaki yang berpoligami tetapi tidak memberi hak-hak istri-istrinya dan tidak berlaku adil terhadap mereka.”
3.        Karena adanya lelaki yang engan menjadi wali disatu sisi bagi anak-anak yatim perempuan, disisi yang lain dia menginginkan untuk menikahinya akan tetapi dia takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim, sementara dia takut juga dari dosa zina, maka hendaknya menikahi saja perempuan-perempuan yang dihalalkan baginya. “
4.        Karena adanya seorang lelaki yang berpoligami serta mengayomi anak-anak yatim tetapi tidak mampu memberikan nafkah kepada istri-istri mereka, maka mereka mengambil harta anak anak yatim yang ada padanya untuk diberikan kepada istri-istri mereka. Ketika seorang lelaki tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak yatim karena banyak istri maka dilarang untuk berpoligami. Sebagaimana disebutkana dalam riwayat Ikrimah dibawah ini.
”Diriwayatkan dari Ikrimah bahwa ia berkata: ” Ada seorang laki-laki yang memiliki banyak istri, dan ia juga mengayomi anak-anak yatim. Ketika ia menafkahkan harta pribadinya  untuk istri-istrinya dan tidaklah cukup harta tersebut, karena ia banyak kebutuhan, maka diambillah harta anak yatim untuk menafkahi mereka. Allah berfirman: Jika kamu takut tidak mampu berlaku adil terhadap harta anak-anak yatim, karena kamu banyak istri, maka dilarang bagi kamu menikahi lebih dari empat istri, supaya kamu bebas dari ketakutan itu. Jika kamu masih takut dengan beristri empat , maka nikahlah dengan seorang istri saja. Ingatlah, batas maksimal (paling banyak) adalah emapt orang, dan batas minimal adalah satu orang, dan diperingatkan antara keduanya. Maka Allah juga mengatakan: Jika kamu khawatir dengan empat orang, maka nikahilah tiga orang, jika kamu khawatir dengan tiga orang maka nikahilah dua orang, jika kamu khawatir dengan dua orang, maka nikahilah satu orang orang saja. Penafsiran ini lebih dekat, seolah-olah Allah mengkhawatirkan orang yang memiliki banyak istri, boleh jadi ia akan terjerumus seperti wali yang mengambil harta anak yatim yang ada dalam asuhannya, untuk menutupi kebutuhan nafkah yang banyak disebabkan ia memiliki istri yang banyak.
Berdasarkan penjelasan diatas, baik Ath-Thabari maupun ar-Razi, memahami ayat tersebut masih dalam kaitanya dengan perintah berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga keharusan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dinikahi. At-Thabari mengatakan : “Jika kamu khawatir tidk mampu berlaku adil terhadap anak yatim, demikian juga terhadap perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, maka janganlah kamu nikahi mereka walaupun hanya satu orang. Tetapi cukuplah kamu menikahi budak-budak yang kamu miliki. Sebab mengawini budaknya sendiri lebih memungkinkah untuk tidak berbuat penyelewengan (semena-mena terhadap perempuan).
Sementara itu, ar-Razi berpendapat bahwa apabila seorang laki-laki khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain sebanyak yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Dan jangan menikahi lebih dari empat orang istri, agar hilang kekhawatiran tersebut. Namun jika masih khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap empat orang istri maka seorang istri lebih baik bagi mereka. Kemudian ar-Razi memperingatkan bahwa batas maksimal empat orang istri, dan batas minimal satu orang istri. Sedangkan diantara dua batas tersebut (dua atau tiga orang istri) itu boleh-boleh saja, asal kamu mampu berlaku adil.

C.    Kesimpulan
a.    Metode pendekatan feminis merupakan cara mengkaji Islam dengan perspektif gender, di mana yang diusung adalah ketidaksetaraan, marginalisasi terhadap perempuan dan sebagainya.
b.    Dengan metode, meskipun mendekati keadilan, namun tidak berarti semua orang setuju dengan metode ini, terutama bagi orang-orang atu golongan tertentu yang merasa diuntungkan dari budaya patriarkhi.
c.    Karena feminis timbul atas dasar sebuah persoalan, maka di dalam metode ini terkesan adany keterpihakan, bahkan tidak jarang ada orang yang menganggapnya sebagai sebuah tindakan yang kebablasan atau terlalu apologis dalam menafsirkan suatu ayat.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Zayd, Nasr Hamid. 2003. Dekonstruksi Gender, Yogyakarta: SAMHA
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rajawali Press
Agustino, Leo. 2007. Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik,  Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ahmed, Leila. 2000 Wanita dan Gender dalam Islam: Akar-akar Historis Perdebatan Modern, Jakarta: PT. Lentera Basitama.
Al Khayyath, Muhammad Haitsam, 2007. Problematika Muslimah di Era Modern, terjm. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratam
Ilyas, Yunahar. 1998. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakart: Pustaka Pelajar
Ismail, Nurjanah. 2003. Perempuan dalam pasungan, Yogyakarta: LKis
Moghissi, Haideh. 2005. Feminisme dan Fundamentalisme Islam, Yogyakarta: LKis.
Mufidah Ch, 2008, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN Press.
Poerwadaminta WJ.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:PN balai pustaka.
S. Ansori, Dadang. 1997. Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial  Kaum Wanita, Jakarta: Pustaka Hidayah.
Sue Morgan, Pendekatan Feminis, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. Peter       Connolly, Yogyakarta: LKis, 2002
Yamani, May. 2000, Feminisme dan Islam:  Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia

Tidak ada komentar: