Sabtu, 01 Juli 2017

Tesis Pengaruh Motivasi Belajar dan Kecerdasan Intelektual terhadap Prestasi belajar PAI Siswa



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah­
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah upaya mengembangkan kemampuan/potensi individu sehingga bisa hidup optimal baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman hidupnya. John Dewey dalam Jalaludin (2001: 65),  menyatakan bahwa pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.
Pendidikan adalah proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, melalui proses yang panjang dan berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan terjadi melalui interaksi insani, tanpa batasan ruang dan waktu.pendidikan tidak dimulai dan diakhiri di sekolah (Sudjana, 2005: 2). Pendidikan dimulai dari lingkungan keluarga, dilanjutkan dan ditempa dalam lingkungan sekolah, diperkaya dalam lingkungan masyarakat dan hasilo-hasilnya digunakan dalam membangun kehidupan pribadi, agama, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Menyadari hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak asasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Sementara itu, lembaga pendidikan diharapkan mampu beradaptasi terhadap globalisasi, perkembangan teknologi, industrialisasi dan asianisasi serta informasi yang semakin canggih. Hal ini dimaksudkan agar lulusan dari lembaga pendidikan dapat menjadi pemimpin, manajer, inovator, operator yang efektif dan mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan. Dengan demikian, sistem pendidikan di masa depan perlu dikembangkan agar dapat menjadi lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat dan tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang.
Implikasi dari globalisasi antara lain; keterbukaan, demokratisasi, sikap individualistis, orientasi pada materialistis dan persaingan dalam konteks kerjasama. Imbas industrialisasi adalah rasionalitas, didominasi kemampuan intelektual daripada kemampuan emosional, serta sekularisme. Efek asianisasi adalah munculnya percaya diri negara-negara di Benua Asia (termasuk Indonesia), dan tampaknya pengaruh budaya Asia ke dunia Barat. Sistem informasi canggih berdampak pada derasnya informasi, kemampuan intelektual dan kemampuan emosional berjalan seimbang, bahasa asing (terutama Inggris) menjadi kebutuhan pokok, kemandirian dalam memperoleh pengetahuan, perubahan drastis lembaga-lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan masyarakat madani dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih demokratis, transparan, dan menujunjung tinggi hak asasi manusia hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Disamping itu, untuk mengembangkan sumber daya manusia yang memilki rasa percaya diri untuk bersanding dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia, diperlukan pendidikan yang dapat mengembangkan potensi mayarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan semangat generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan demikianlah yang mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta memiliki visi, transparansi dan pandangan jauh ke depan; yang tidak mengedepankan diri dan kelompoknya, tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan (Mulyasa, 2005: 4).
Menghadapi hal tersebut, perlu dilakukan penataan sistem pendidikan secara menyeluruh, terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Pendidikan juga harus lebih mengedepankan kreativitas (creativity quotient) untuk menumbuhkan kemandirian dan aspek kewirausahaan dalam pribadi peserta didik.
Sejalan dengan pemikiran di atas, berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan telah dilakukan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan dalam pengembangan dan pembinaan untuk mendukung pembelajaran yang efektif seperti pelatihan manajemen kelas, manajemen sekolah, pengadaan dan penerimaan buku serta sarana belajar. Upaya lain yang sedang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah pembinaan mutu pendidikan. Pembinaan mutu pendidikan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan prinsip whole school development, yang memandang sekolah sebagai suatu keutuhan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di sekolah (Mulyasa, 2005: 10).
Komponen-komponen yang diperhatikan dalam memperbaiki mutu pendidikan meliputi kegiatan pembelajaran, manajemen, buku dan sarana belajar, fisik dan penampilan sekolah, serta partisipasi masyarakat, yang semuanya perlu mendapat perhatian yang optimal. Kelima komponen tersebut merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap proses pendidikan. Suatu proses pendidikan akan selalu berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan yang didalamnya mencakup lingkungan fisik, sekolah dan sosial masyarakat. Proses pendidikan yang didukung dengan adanya sarana dan prasarana serta fasilitas memadai pada gilirannya dapat mewujudkan pencapaian hasil belajar (Sukmadinata, 2003: 5).
Tinggi rendahnya hasil belajar yang diperoleh dapat menggambarkan sedikitnya dua hal, diantaranya tinggi rendahnya kemampuan siswa dan berhasil tidaknya seorang guru melakukan proses pembelajaran. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah,  kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik.
Pencapaian hasil belajar siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor dari dalam diri siswa (internal) maupun faktor dari luar (eksternal). Pertama, faktor yang ada pada diri individu itu sendiri atau disebut juga dengan faktor internal. Adanya pengaruh dari dalam diri siswa, merupakan hal yang wajar. Karena, akibat dari perbuatan belajar adalah perubahan tingkahlaku individu yang diniati (dilandasi motivasi) dan disadarinya. Seorang siswa harus merasakan adanya suatu kebutuhan untuk belajar dan berprestasi. Ia harus berusaha mengerahkan segala daya dan upaya untuk dapat mencapainya.
Faktor yang datang dari dalam individu itu terdiri dari faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis meliputi kondisi fisik dan kondisi panca indera. Sedangkan faktor psikologis meliputi intelegensi/ kecerdasan, perhatian, minat, bakat, sikap dan kebiasaan belajar, cara belajar dan motivasi belajar (Kartono, 1985: 1-5). Arifin (1990: 3), berpendapat bahwa, ”dalam Evaluasi Intruksional prestasi belajar bukan sesuatu yang berdiri sendiri”. Artinya prestasi belajar merupakan hasil akumulasi dari berbagai pengaruh yang mempengaruhi siswa. Pengaruh tersebut bisa datang dari luar (faktor eksternal) dan bisa datang dari dalam diri siswa itu sendiri (faktor internal).
Faktor dari luar meliputi; lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sedangkan faktor dari dalam diri siswa meliputi; kecerdasan, minat, bakat (bekal kemampuan, input), motif, dan kesehatan serta cara belajar (Arifin, 1990: 3). Winkel (1983: 47) menyatakan bahwa, ”prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh faktor kecerdasan, motivasi belajar, minat, sikap, perasaan, keadaan sosial ekonomi, dan keadaan fisik serta psikis siswa”.
Klausmier dan Goodwin (1971: 13) berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, yakni; karakteristik siswa, tenaga pengajar, materi yang diajarkan, fasilitas pengajaran, kondisi fisik sekolah, lingkungan sekolah, kurikulum dan tujuan pengajaran. Sedangkan Purwanto (2000: 106) membagi faktor yang mempengaruhi prestasi belajar menjadi dua faktor. Faktor individual meliputi: kematangan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi, dan faktor kedua meliputi: keluarga, guru dan cara mengajarnya, media dan alat atau sarana yang menunjang proses pembelajaran.
Masing-masing faktor tersebut memberi kontribusi yang berbeda-beda terhadap kemajuan hasil belajar siswa. Diantaranya adanya motivasi belajar siswa, baik motivasi tersebut datang dari luar (ekstrinsik) maupun motivasi yang datang dari dalam (intrinsik). Seseorang akan melakukan suatu perbuatan jika ada motivasi yang mendorong untuk melakukannya. Demikian pula untuk belajar diperlukan motivasi. Hal ini berkaitan dengan hasil belajar yang diperoleh siswa. Semakin tinggi motivasi yang diberikan, maka hasil belajar yang diharapkan akan semakin baik.
Dengan prestasi belajar yang optimal, lembaga pendidikan telah berpartisipasi dalam mensukseskan program pemerintah, yakni mencerdaskan bangsa. Lembaga pendidikan yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah madrasah, baik tingkat dasar maupun menengah, negeri dan swasta. Lembaga pendidikan ini bernaung dibawah Departemen Agama Republik Indonesia (Depag RI). Madrasah tingkat dasar yakni madrasah Ibtidaiyah, sedangkan madrasah tingkat menengah adalah Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Adalah MTs Sholihiyyah sebagai lembaga pendidikan di bawah naungan Depag, selalu berupaya mewujudkan tuntutan perkembangan dan peningkatan kualitas/mutu pendidikan bagi peserta didiknya. Namun yang terjadi dilapangan tidak seperti yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari animo masyarakat yang menyekolahkan anaknya di madrasah tersebut semakin menurun dari tahun ke tahun. Disamping itu, data statistik kelulusan dan kenaikan kelas siswa dari tahun ke tahun yang mengalami penurunan. Tidak hanya mata pelajaran umum, mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) juga mengalami hal serupa. Padahal telah diketahui, bahwa mata pelajaran PAI merupakan mata pelajaran inti, yang mencerminkan identitas dari madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam.
Melalui pengamatan awal yang dilakukan peneliti, pada MTs Sholihiyyah Mrangen Demak, bahwa prestasi belajar PAI siswa masih rendah dibanding dengan Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) yang ditetapkan.  Rendahnya prestasi belajar PAI siswa disebabkan oleh adanya motivasi belajar siswa yang rendah. Disamping itu, faktor individual siswa yakni kecerdasan intelektual siswa berkisar dibawah rata-rata juga ambil bagian dalam menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar. Motivasi belajar yang rendah dapat dilihat dari keengganan siswa mengikuti proses pembelajaran dengan maksimal, seperti sering bolos, malas mengerjakan pekerjaan rumah, dan tingginya siswa yang absen/tidak masuk mengikuti pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa terpanggil untuk melakukan penelitian di MTs Sholihiyyah Kalitengah Mranggen, yang difokuskan pada prestasi belajar PAI yang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: 1) faktor motivasi belajar dan 2) faktor kecerdasan intelektual, dengan judul “Pengaruh Motivasi Belajar dan Kecerdasan Intelektual terhadap Prestasi belajar PAI Siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Keling Kabupaten Jepara Tahun Pelajaran 2009/2010”


B.     Rumusan Masalah         
Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah :
1.      Adakah hubungan yang signifikan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar PAI?
2.      Adakah hubungan yang signifikan antara kecerdasan Intelektual dengan prestasi belajar PAI?
3.      Adakah hubungan antara motivasi belajar dan kecerdasan Intelektual secara bersama-sama (simultan) dengan prestasi belajar PAI?

C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kejelasan tentang besarnya pengaruh motivasi belajar dan kecerdasan Intelektual siswa dengan prestasi belajar PAI siswa MTs Sholihiyyah Kalitengah Mranggen tahun pelajaran 2009/2010.
Sesuai dengan permasalahan yang penulis rumuskan, hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang motivasi belajar para siswa, dan kecerdasan intelektual para siswa, hubungan motivasi belajar dengan prestasi belajar pendidikan agama Islam siswa MTs Sholihiyyah Kalitengah Mranggen, hubungan kecerdasan intelektual dengan prestasi belajar pendidikan agama Islam siswa MTs Sholihiyyah Kalitengah Mranggen.
Berdasarkan informasi tersebut kemudian dijadikan bahan kajian ilmiah untuk mengetahui; faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi prestasi belajar pendidikan agama Islam siswa, dan faktor-faktor apa saja yang dapat menghambat prestasi belajar pendidikan agama Islam siswa. Jika ternyata informasi tersebut menyatakan bahwa terjadi hubungan yang signifikan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar PAI maka, hasil penelitian ini akan disampaikan kepada para guru pendidikan agama Islam terutama guru agama Islam (GPAI) MTs Sholihiyyah Kalitengah Mranggen untuk dijadikan masukan dan introspeksi diri, dalam memperlakukan para siswa berkenaan dengan pemberian motivasi kepada mereka, dan apakah selama ini telah memberikan motivasi belajar yang cukup dan benar kepada anak-anak didiknya dalam usaha meningkatkan prestasi belajar pendidikan agama Islam.
Oleh Sebab itu, prestasi belajar pendidikan agama Islam tidak dapat dicapai secara maksimal bila motivasi belajar para siswa rendah, prestasi belajar merupakan akumulasi dari berbagai pengaruh yang melingkupinya, termasuk didalamnya motivasi yang tinggi dari para peserta didik baik yang tumbuh dari dalam diri siswa sendiri (intrinsik) maupun yang tumbuh karena dorongan orang lain (ekstrinsik) diantaranya dororngan dari para guru.
Selanjutnya, jika ternyata dari informasi tersebut menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan kecerdasan intelektual dengan prestasi belajar pendidikan agama Islam siswa, maka hasil penelitian ini akan disampaikan kepada pihak madrasah yang menjadi obyek penelitian untuk dijadikan bahan telaah ilmiah dan masukan dalam rangka meningkatkan prestasi belajar PAI siswa.
Jika ternyata siswa berkecerdasan intelektual tinggi memilki prestasi belajar pendidikan agama islam lebih baik, maka sebaiknya guru agama yang bersangkutan memberi tambahan (les dan atau pesantren) kepada siswa yang berkecerdasan intelektual rendah. Hal ini dimaksudkan agar antara siswa yang berkecerdasan intelektual tinggi dan berkecerdasan intelektual rendah memiliki prestasi belajar pendidikan agama Islam yang berimbang. Disamping hal-hal tersebut, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pendidikan.

D.    Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan dituangkan dalam bentuk penulisan yang tersusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama merupakan pendahuluan sebagai pengantar pada bab-bab berikutnya, terdiri dari latar belakang masalah mengapa penelitian dilakukan. Dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua ini kerangka teori, membahas teori yang berkaitan dengan, prestasi belajar, Motivasi belajar, kecerdasan (intelegensi), penelitian terkait, kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian.
Bab ketiga metode penelitian, pada bab ini membicarakan tentang: Disain dan Metode penelitian, subyek penelitian, variabel dan intrumen, dan teknik analisis data.
Pada Bab empat hasil penelitian, penulis akan mendeskripsikan data, uji persyaratan, uji hipotesis dan pembahasan.
Bab kelima penutup, berisi tentang kesimpulan, dan saran-saran.




BAB II
KERANGKA TEORI

A. Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam

1.      Belajar

a.      Pengertian

Belajar dapat diartikan sebagai suatu proses aktif untuk menuju satu arah tertentu yang dapat meningkatkan perbuatan, kemampuan atau pengertian baru. Menurut rumusan Gathrie and Brown (1950: 145);….“learning is always a case of improving same perfornce or gaining same new ability or understanding”. Lebih lanjut Ernest R. Hilgard (1968: 5), merinci rumusan belajar sebagai berikut; ”learning is the process by which an activity originates or is changes through training procedures wheter in the laboratory or in the natural environment distinguished from changes by faktors not attributabel to training “.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa belajar adalah sesuatu yang dapat meningkatkan perbuatan, kemampuan, atau pengertian baru. Belajar juga dapat diartikan suatu proses yang dapat menghasilkan suatu aktifitas baru melalui pelatihan dilaboratorium maupun dilingkungan alam, yang hasil tersebut berbeda dengan hasil yang diperoleh tanpa adanya proses latihan. Tokoh-tokoh pendidikan lain yang memaknai belajar sebagai proses perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman, antara lain: Di Vesta dan Thompson, Gagne dan Berliner (1970: 256). Belajar adalah suatu proses latihan menuju perubahan yang akan menghasilkan sesuatu yang dapat diukur dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan, karena proses latihan tersebut telah melalui tahapan-tahapan sistematis yang telah dipersiapkan sebelumnya melalui uji coba secara ilmiah.
Perubahan dalam rumusan pengertian belajar tersebut dapat menyangkut semua aspek kepribadian individu, yang didalamnya menyangkut penguasaan, pemahaman, sikap, nilai, motivasi, kebiasaan, minat, apresiasi dan sebagainya. Demikian juga dengan pengalaman; ini berkenaan dengan segala bentuk membaca, melihat, mendengar, merasakan, melakukan, menghayati, membayangkan, merencanakan, melaksanakan, menilai, mencoba, menganalisis, dan sebagainya (Sukmadinata, 2003: 156).
Pengertian belajar yang berbeda datang dari tokoh aliran psikologi kognitif. Bagi mereka belajar merupakan proses perubahan yang bersifat internal, dan tidak dapat diamati secara langsung, yang berupa suatu perubahan kemampuan individu dalam merespon terhadap situasi tertentu. Perubahan pada perilaku yang tampak merupakan refleksi dari perubahan yang bersifat internal (Sukmadinata, 2003: 157).
Sedangkan Lawson (1991:5) berpendapat bahwa rumusan-rumusan pendidikan yang sering menggunakan kata-kata perubahan dan tingkah laku tidak perlu lagi disebut, mengingat kedua istilah tersebut sudah menjadi kebenaran umum dan telah diketahui oleh semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan. Sebagai gantinya ia menawarkan rumusan belajar dalam tiga macam rumusan yaitu: 1) rumusan kuantitatif, 2) rumusan institusional, dan 3) rumusan kualitatif. Rumusan kuantitatif (tinjauan dari sudut jumlah), dapat dimaknai sebagai kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta yang sebanyak-banyaknya. Atau seberapa banyak materi yang dikuasai oleh siswa dalam belajar. Rumusan institusional (tinjauan kelembagaan), dapat diartikan sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadap penguasaan siswa atas materi–materi yang telah dipelajari oleh siswa. Hal ini dapat diukur dengan semakin baik mutu mengajar yang dilakukan oleh guru kepada siswa, semakin baik pula perolehan mutu siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai.
Rumusan kualitatif (tinjauan mutu), dapat diartikan sebagai proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia yang ada disekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan daya nalar serta tindakan yang berkualitas untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa baik saat sekarang maupun dimasa yang akan datang (Lawson, 1991: 5).
Dari bebrapa rumusan belajar tersebut, terdapat beberapa perbedaan, akan tetapi terkandung suatu pemahaman, bahwa belajar adalah suatu proses untuk mencapai perubahan yang akan menghasilkan sesuatu yang dapat diukur dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan. Perubahan tersebut dapat menyangkut semua aspek kepribadian individu yang didalamnya menyangkut penguasaan penalaran, sikap, nilai, motivasi, kebiasaan, minat, apresiasi dan sebagainya.

b.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar

Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat digolongkan menjadi tiga macam, yakni: 1) faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), misalnya kondisi jasmani (fisiologis) meliputi kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya), dan rohaniah siswa (psychis) meliputi tingkat kecerdasan, bakat, minat dan motivasi siswa, 2) faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa), misalnya kondisi lingkungan disekitar siswa, termasuk didalamnya lingkungan alam dan lingkungan manusia atau keluarga, dan 3) faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni suatu upaya belajar yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran terhadap materi-materi pelajaran (Syah, 1999: 131).
Pada realitasnya proses belajar bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan akumulasi dari berbagai hal yang saling mempengaruhi.
Learning teaching process, merupakan pusat pembelajaran yang menerima pengaruh dari berbagai faktor, seperti raw input atau masukan mentah berupa siswa, yang memiliki karakteristik tertentu baik secara fisiologis (fisik) maupun psikologis. Karakteristik fisiologis meliputi; kemampuan fungsi panca indera, kemampuan fungsi anggota tubuh. Sedangkan karakteristik psikologis meliputi; minat, bakat, intelegensi, motivasi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan aspek kejiwaan. Faktor lain yang ikut mempengaruhi proses pembelajaran adalah instrumental input, yaitu faktor yang dengan sengaja dipersiapkan dan dirancang untuk menunjang keberhasilan proses pembelajaran, dan manajemen pengelolaan sekolah.
Sedangkan Enviromental input merupakan faktor lingkungan dimana proses pembelajaran itu berlangsung, yang meliputi; lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, yang didalamnya mencakup lingkungan fisiologis, psikologis, dan sosio kultural (Sumanto, 2003: 84). Dari interaksi dan akumulasi berbagai pengaruh inilah yang melahirkan out put atau lulusan sebagai hasil dari proses panjang pembelajaran, atau disebut juga dengan prestasi belajar.

2.      Prestasi Belajar PAI

a.      Pengertian

Prestasi belajar terdiri dari dua kata yang masing-masing mempunyai arti yaitu prestasi dan belajar. Prestasi berasal dari bahasa Belanda “prestatie” (Arifin, 1991: 2), yang kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasi belajar. Dalam bahasa pendidikan Islam dikenal dengan انجاز atau achievement. Sedangkan belajar adalah modifikasi atau mempertegas kelakuan melaui pengalaman (Learning is defined as the modification or strengthening through experiencing) (Hamalik, 1995: 36).
Sedangkan menurut Aziz dan Majid (tt.: 169). pengertian belajar adalah: “…suatu perubahan di dalam akal pikiran seseorang pelajar yang dihasilkan atas pengalaman masa lalu sehingga terjadilah di dalamnya perubahan yang baru”. Menurut Morgan, belajar adalah:”Learning is any relatively permanent change in behavior which accours as a result of practise or experience”(Morgan, 1971: 112). (belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif permanen atau menetap yang dihasilkan dari praktek atau pengalaman).
Prestasi belajar memiliki posisi penting dalam pendidikan, karena sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran, sekaligus sebagai bahan evaluasi bagi para pelaku pendidikan. Atau dapat dirumuskan sebagai: 1) indikator kualitas dan kuantitas materi pelajaran yang telah dikuasai siswa, 2) lambang hasrat ingin tahu siswa. Artinya, semakin tinggi rasa ingin tahu siswa terhadap materi pelajaran yang ditunjukkan dengan giat mempelajari dan memahami serta menguasai materi pelajaran, maka akan semakin tinggi prestasi yang dicapai oleh siswa. 3) inovasi dan pendorong bagi peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus berperan sebagai umpan balik bagi peningkatan mutu pendidikan (Arifin, 1990: 3).
Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil pencapaian peserta didik dalam mengerjakan tugas atau kegiatan pembelajaran, melalui penguasaan pengetahuan atau ketrampilan mata pelajaran disekolah yang biasanya ditunjukkan dengan nilai test atau angka nilai yang diberikan oleh guru (Tu’u, 2004: 47). Untuk lebih kongkritnya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) prestasi belajar adalah hasil belajar yang dicapai oleh siswa ketika mengikuti dan mengerjakan tugas pembelajaran di sekolah, 2) prestasi belajar adalah pencapaian nilai mata pelajaran berdasarkan kemampuan siswa dalam aspek pengetahuan, ingatan, aplikasi, sintesis dan evaluasi, 3) prestasi belajar adalah nilai yang dicapai oleh siswa melaui ulangan atau ujian yang diberikan oleh guru (Tu’u, 2004: 75). Dapat disimpulkan, prestasi belajar adalah hasil belajar atau nilai mata pelajaran yang dicapai oleh siswa melalui ulangan atau ujian yang diberikan oleh guru.
Pendidikan agama berarti usaha-usaha secara sadar dan pragmatif membantu anak didik supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama (Zuhairini, 2000: 27). Sedangkan Saleh (1973: 19) mendefinisikan bahwa pendidikan agama merupakan usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik supaya kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai way of life. Dalam “Ruh Al-Tarbiyah Wa Al-Ta’lim”, M Athiyah Al-Abrasyi (1950: 6) menerangkan pengertian pendidikan sebagai berikut:
أَلتَّرْبِيَةُ تَهْذِيْبُ الْقَوِيُّ الطَّبِيْعَةِ لِلطِّفْلِ كَى يَكُوْنُ قَادِرًا عَلَى اَنْ يُقَوِّدً حَيَاةً خَلْقِيَة صَحِيْحَةً سَعِيْدَةً.                                                      
Artinya: “Pendidikan adalah membentuk tabiat kepada anak agar ia mempu mencapai kehidupan manusia yang sehat dan bahagia”.
Pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan. Sedangkan Ibnu Hadjar (1999: 4) mendefinisikan bahwa pendidikan agama Islam merupakan sesuatu subjek pelajaran yang bersama-sama dengan subjek studi yang lain dimaksudkan untuk membentuk manusia yang utuh.
Sebagaimana diketahui, bahwa prestasi belajar siswa dalam arti luas adalah keberhasilan siswa yang meliputi ranah cipta, rasa dan karsa. Yang dikenal dengan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Pada prinsipnya, pengungkapan hasil belajar yang ideal meliputi segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Sedangkan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dimaksud adalah mata pelajaran PAI sebagaimana di dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah yang meliputi mata pelajaran; al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlaq, Fiqih dan Sejarah Kebudayaan Islam (Depag RI, 2004: v-vi).
Jadi secara sederhana Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah suatu mata pelajaran yang diajarkan disekolah yang bertujuan agar peserta didik dapat meyakini, memahami dan mengamalkan agama Islam dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Dengan demikian, maka prestasi belajar atau hasil belajar PAI adalah suatu pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki siswa dalam mata pelajaran PAI setelah melalui proses belajar mengajar yang ditunjukkan dengan nilai tes/angka yang diberikan oleh guru.

b.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar PAI

Prestasi belajar siswa banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik berasal dari dirinya (internal) maupun dari luar dirinya (eksternal). Prestasi belajar yang dicapai siswa pada hakikatnya merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang dimaksud adalah:
1)      Faktor yang berasal dari dalam individu (internal)
Faktor internal dibagi menjadi dua yaitu:
(a)    Aspek Jasmaniah, mencakup kondisi dan kesejahteraan jasmani dari individu. Kondisi fisik menyangkut pula kelengkapan dan kesehatan indra penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pencacapan. Kesehatan inilah merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan belajar.
(b)   Aspek Psikis atau Rohaniah, menyangkut kondisi kesehatan psikis, kemampuan-kemampuan intelektual, sosial, psikomotor, serta kondisi afektif dan konatif dari individu (Sukmadinata, 2003: 162).

Menurut M. Umar dan Sartono (1998: 178), dalam aspek psikologis selain intelligensi meliputi juga adanya “motif, minat, konsentrasi perhatian, natural curioucity (keinginan untuk mengetahui secara alami), balance personality (pribadi yang seimbang), self confidense (kepercayaan pada diri sendiri). Self dicipline (disiplin terhadap diri sendiri) serta ingatan”.

2)      Faktor yang berasal dari luar diri siswa (eksternal), terdiri dari:
(a)   Faktor Sosial
Purwanto (1990: 102) menyebutkan bahwa yang termasuk faktor sosial adalah: “keluarga/keadaan rumah tangga, kalau anak berada dalam sebuah keluarga yang harmonis, maka anak akan betah tinggal dalam keluarga tersebut dan kegiatan belajarnya akan terarah”. Dengan keadaan yang demikian maka prestasi belajar anak akan meningkat. Begitu juga sebaliknya, jika anak hidup dalam keluarga yang kurang harmonis, penuh dengan percekcokan, maka anak menjadi tidak betah tinggal dalam keluarga. Keadaan demikian akan membuat anak malas belajar sehingga prestasi belajarnya menurun.
Menurut Thoha (1989: 127), lingkungan keluarga yang berpengaruh terhadap prestasi belajar anak adalah ”cara mendidik orang tua terhadap anak ”sikap sosial dan emosional orang tua serta sikap keagamaan orang tua”.
(1)   Interaksi guru dengan murid, di mana guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara intim, maka akan menyebabkan proses belajar-mengajar kurang lancar.
(2)   Guru dan cara penyajian, di sini guru dituntut agar pandai-pandai cara mengajarkan pengetahuan kepada anak didik.
(3)   Alat-alat yang digunakan dalam belajar mengajar.
(4)   Lingkungan dan kesempatan yang tersedia.
(5)   Motivasi sosial (Purwanto, 1990: 102).




(b)   Faktor Non Sosial
Menurut Suryabrata (1984: 233), kelompok faktor ini tak terbilang jumlahnya, itu bisa berwujud keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu, tempat, alat-alat yang dipakai untuk belajar.
Sedangkan Ahmadi dan Supriyono (1991: 138-139), menjelaskan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar Pendidikan Agama Islam ada 2, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.
1)      Faktor internal meliputi:
a)      Faktor jasmaniah (fisiologis) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh, misalnya: penglihatan, pendengaran, struktur dan sebagainya.
b)      Faktor psikologi, baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh yang terdiri atas: 1) Faktor interaktif yang meliputi: faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat, dan faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki. 2) Faktor non interaktif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat motivasi, emosi, penguasaan diri.
c)      Faktor kematangan fisik maupun psikis.
2)      Faktor eksternal meliputi:
(a)    Faktor sosial yang terdiri atas: Lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, dan kelompok.
(b)   Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian.
(c)    Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, iklim.
(d)   Faktor lingkungan spiritual atau keamanan.
(e)    Demikian pula faktor internal dan eksternal yang berinteraksi baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi prestasi belajar siswa, oleh karena itu perlu memperhatikan faktor-faktor tersebut.
Prestasi belajar bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Prestasi belajar merupakan hasil akumulasi dari berbagai hal yang mempengaruhi siswa. Berbagai hal yang mempengaruhi prestasi belajar tersebut bisa datang dari luar (faktor eksternal) dan bisa datang dari dalam diri siswa itu sendiri (faktor internal). Faktor dari luar meliputi; lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sedangkan faktor dari dalam diri siswa meliputi; kecerdasan, minat, bakat, input, motif, kesehatan dan cara belajar (Kartono, 1985: 1-5). Winkel (1983: 47) menyatakan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh faktor kecerdasan, motivasi belajar, minat, sikap, perasaan, keadaan sosial ekonomi, dan keadaan fisik serta psikis siswa.
Dengan demikian, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, dapat dirumuskan lebih rinci. Faktor-faktor itu misalnya: karakteristik siswa, tenaga pengajar, materi yang diajarkan, fasilitas pengajaran, kondisi fisik sekolah, lingkungan sekolah, kurikulum dan tujuan pengajaran, dapat juga dikategorikan; faktor yang mempengaruhi prestasi belajar menjadi dua yaitu: faktor pertama individual, yang meliputi; kematangan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi; faktor kedua meliputi: keluarga, guru dan cara mengajarnya, media dan alat atau sarana yang menunjang proses pembelajaran.
Dari berbagai hal yang mempengaruhi prestasi belajar, antara pengaruh yang satu dan yang lainnya memiliki posisi saling terkait dan tidak ada satupun pengaruh yang paling dominan. Siswa yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi atau dapat disebut sebagai anak dalam golongan gilted child atau talented chil, diasumsikan jika didalam proses pembelajaran, kemampuan yang dimilikinya tidak terakomodasi secara layak dan tepat, maka anak tersebut akan mengalami kesulitan belajar yang pada akhirnya tidak akan mampu mencapai prestasi belajar dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jika seorang siswa memiliki kecerdasan yang sedang, akan tetapi dia mendapatkan pendidikan dan bimbingan dari seorang guru yang tepat, dan dia mempunyai motivasi belajar yang tinggi, dia mendapatkan fasilitas belajar yang memadai, maka siswa tersebut akan mampu meraih prestasi yang baik.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa semua faktor yang ada, akan mampu berfungsi sebagaimana seharusnya. Jika semua faktor tersebut berfungsi secara simultan dan bersama- sama dalam bekerja.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar terdiri dari faktor internal dan eksternal. Selain itu sesuai dengan kajian yang diteliti, faktor internal siswa dalam meraih prestasi belajar yang terpenting adalah motivasi belajar dan kecerdasan intelekktual siswa. Artinya, diasumsikan semakin tinggi motivasi dan kecerdasan intelektual yang dimiliki oleh siswa, maka akan semakin tinggi pula prestasi belajar siswa. demikian juga sebaliknya, semakin rendah motivasi dan kecerdasan intelektual siswa, maka akan rendah pula prestasi belajar siswa.

c.       Faktor yang Menghambat Prestasi Belajar

Prestasi belajar akan sulit tercapai, apabila seorang siswa mengalami gangguan kesulitan belajar yang dapat dimaknai sebagai hambatan dan gangguan dalam proses penyerapan materi pelajaran yang disampaikan guru kepada siswa. Pada prinsipnya setiap siswa mempunyai hak dan peluang yang sama untuk memperoleh atau mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Namun pada kenyataannya ada perbedaan kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar, yang terkadang sangat mencolok antara siswa yang satu dengan siswa lainnya (ada siswa yang sangat bodoh dan ada siswa yang sangat pandai), sehingga perlu adanya perhatian dan penanganan khusus terhadap keduanya sehingga tidak akan timbul apa yang disebut dengan kesulitan belajar (learning difficult ).
Kesulitan belajar tidak hanya dapat menimpa siswa yang berkemampuan rendah saja, akan tetapi juga dapat menimpa kepada mereka yang berkemampuan tinggi. Ada dua faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar siswa.
Pertama, faktor intern siswa yang meliputi gangguan psiko-fisik siswa, yang berkaitan dengan; a) aspek kognitif (ranah cipta), dalam hal ini terkait dengan rendahnya kapasitas intelektual atau intelegensi siswa, b) aspek afektif (ranah rasa), dalam hal ini terkait dengan labilnya emosi dan sikap, c) aspek psikomaotor (ranah karsa), dalam hal ini terkait dengan terganggunya fungsi panca indera siswa. Disamping hal tersebut, karena adanya sindrom psikologis yang berupa ketidak mampuan belajar (learning disability), adanya gangguan kecil pada otak (minimal brain disfunction).
Kedua, faktor ekstern siswa yang meliputi; a) lingkungan keluarga, misalnya; ketidak harmonisan hubungan antara ayah dengan ibu, rendahnya pendapatan ekonomi keluarga, b) lingkungan perumahan atau masyarakat, misalnya; berada dalam lingkungan kumuh (slum area) dan kelompok bermain yang nakal, c) lingkungan sekolah, misalnya; tata letak sekolah yang kurang nyaman dan strategis (dekat pasar, dekat rel kereta api, dekat terminal dan sebagainya), d) guru yang kurang memiliki kompetensi dibidang mata pelajaran yang diampu, fasilitas belajar yang kurang memadai dan sebagainya (Syah, 1999: 165-167).

d.      Tujuan Pembelajaran PAI di MTs.
Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka salah satu bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik di Madrasah adalah pendidikan agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia (BSNP, 2007: 5).
Secara umum, pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Muhaimin, 2002: 75).
Pendidikan Agama Islam di Madrasah Tsanawiyah terdiri atas empat mata pelajaran, yaitu: al-Qur’an Hadis, Aqidah-akhlak, fiqh, dan tarikh (sejarah) kebudayaan Islam. Masing-masing mata pelajaran tersebut pada dasarnya saling terkait, isi mengisi dan melengkapi. Al-Qur’an-Hadis merupakan sumber utama ajaran Islam, dalam arti ia merupakan sumber aqidah-akhlak, syari’ah/fiqih (ibadah, muamalah), sehingga kajiannya berada di setiap unsur tersebut. Aqidah (ushuluddin) atau keimanan merupakan akar atau pokok agama.
Syariah/fiqih (ibadah, muamalah) dan akhlak bertitik tolak dari aqidah, yakni sebagai manifestasi dan konsekuensi dari aqidah (keimanan dan keyakinan hidup). Syari’ah/fiqih merupakan sistem norma (aturan) yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan dengan makhluk lainnya. Akhlaq merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia, dalam arti bagaimana sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah (ibadah dalam arti khas) dan hubungan manusia dengan manusia dan lainnya (muamalah) itu menjadi sikap hidup dan kepribadian hidup manusia dalam menjalankan sistem kehidupannya (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kekeluargaan, kebudayaan/seni, iptek, olahraga/ kesehatan, dan lain-lain) yang dilandasi oleh aqidah yang kokoh.
Sedangkan tarikh (sejarah) kebudayaan Islam merupakan perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke masa dalam usaha bersyariah (beribadah dan bermuamalah) dan berakhlak serta dalam mengembangkan sistem kehidupannya yang dilandasi oleh aqidah.
Pendidikan agama Islam (PAI) di Madrasah Aliyah yang terdiri atas empat mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Al-Qur’an-Hadis, menekankan pada kemampuan baca tulis yang baik dan benar, memahami makna secara tekstual dan kontekstual, serta mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Aspek aqidah menekankan pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan/keimanan yang benar serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-asma’ al-husna. Aspek Akhlak menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari. Aspek Fiqh menekankan pada kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan baik.
Sedangkan aspek Tarikh & kebudayaan Islam menekankan pada kemampuan mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam), meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, ipteks dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam.
Sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi Dasar yang merupakan kurikulum hasil refleksi, pemikiran dan pengkajian dari kurikulum yang berlaku sebelumnya pembelajaran PAI di Madrasah Tsanawiyah diharapkan dapat membantu mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan di masa depan. Standar kompetensi dan kompetensi dasar diarahkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam kondisi penuh dengan berbagai perubahan, persaingan, ketidakpastian dan kerumitan dalam kehidupan. Melalui kurikulum yg sedang berlaku saat ini, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembelajaran PAI di Madrasah diharapkan menghasilkan tamatan yang kompeten, cerdas dalam membangun integritas sosial, serta mewujudkan karakter nasional (BNSP, 2007: 3).
Dalam konteks madrasah, tujuan pembelajaran PAI di madrasah adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dengan pendekatan berbasis kompetensi. Basis kompetensi yang dikembangkan diharapan agar siswa/peserta didik tumbuh dan berkembang rasa keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, menghayati dan mengamalkan hukum Islam, penguasaan keterampilan hidup, kemampuan akademik, seni dan pengembangan kepribadian yang paripurna, yaitu berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (BNSP, 2007: 5).
Tujuan masing-masing mata pelajaran yang masuk lingkup mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dikembangkan di Madrasah Tsanawiyah adalah sebagai berikut:
1)      al-Qur’an Hadis
Mata Pelajaran al-Qur’an Hadis di Madrasah Tsanawiyah bertujuan agar peserta didik bergairah untuk membaca al-Qur’an Hadis dengan baik dan benar, serta mempelajarinya, memahami, meyakini kebenarannya, dan mengamalkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai petunjuk dan pedoman dalam seluruh aspek kehidupan (Depag. RI, 2004: 4).
2)      Aqidah Akhlaq
Mata pelajaran ini bertujuan untuk: 1) menumbuhkan dan meningkatkan keimanan peserta didik yang diwujudkan dalam akhlaqnya yang terpuji, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, serta pengalaman peserta didik tentang aqidah dan akhlaq Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dan meningkat kualitas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT, serta berahlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Depag. RI, 2004: 22); 2) mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan individu maupun sosial, sebagai manifestasi dari ajaran dan nilai-nilai aqidah Islam.

3)      Fiqih
Mata pelajaran ini bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat: (1) Mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial. (2) Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar. Pengamalan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kataatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya (Depag. RI, 2004: 47).
4)      Sejarah Kebudayaan Islam
Mata pelajaran ini bertujuan untuk: (1) Memberi pengetahuan tentang sejarah agama Islam dan kebudayaan Islam kepada peserta didik, agar memiliki data yang obyektif dan sistematis tentang sejarah. (2) Mengapresiasi dan mengambil ibrah, nilai dan makna yang terdapat dalam sejarah. (3) Menanamkan penghayatan dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan nilai-nilai Islam berdasarkan cermatan atas fakta sejarah yang ada. (4) Membekali peserta didik untuk membentuk kepribadiannya melalui imitasi terhadap tokoh-tokoh teladan sehingga terbentuk kepribadian yang luhur (Depag. RI, 2004: 69).

e.       Materi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di MTs.
Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 36 dan 38, kurikulum dikembangkan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. Kurikulum madrasah dikembangkan dengan mengacu dan didasarkan pada dokumen kurikulum yang dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, sebagai konsekuensi logis eksistensi madrasah sebagai bagian yang integral dalam satu sistem pendidikan nasional (Depag. RI, 2004: iii-iv).
Materi pokok pembelajaran pendidikan agama Islam meliputi, aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Aspek pengetahuan terkait dengan kemampuan pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan, dan kemampuan menjelaskan terhadap materi yang telah diterima. Dari kemampuan memahami dan menjelaskan inilah kemudian diaplikasikan kedalam bentuk ketrampilan konkrit, kemudian dijadikan sikap dasar dalam berperilaku sehari-hari.
Materi pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) MTs. yang terdiri dari mata pelajaran al-Qur’an Hadis, Aqidah akhlaq, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam, disampaikan berjenjang mulai kelas VII sampai kelas IX dengan pokok-pokok materi sebagai berikut.

1.      Mata pelajaran al-Qur’an Hadis
Materi-materi pokok mata pelajaran al-Qur’an Hadis pada Madrasah Tsanawiyah kelas VII semester gasal terdiri dari satu standar kompetensi, yaitu: Mampu menerapkan kaidah ilmu tajwid dalam bacaan al-Qur’an, meliputi 3 kompetensi dasar yaitu: 1) membaca makhorijul huruf, alif lam syamsiyah dan qomariyah. 2) Mendemontrasikan hukum bacaan nun sukun dan tanwin, 3) Menguasai hukum dasar bacaan al-Qur’an (Ilmu Tajwid) dan penerapannya. Semester genap standar kompetensi: Mampu memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang akhlaq terhadap ibu bapak dan sesama manusia, dan memahami hadis tentang perintah bertaqwa dan berbuat baik pada sesama manusia, dan mampu menerapkan ilmu tajwid dalam bacaan al-Qur’an. Kelas VII semester genap; Terdiri dari tiga standar kompetensi, yaitu: 1) Menunjukkan cara berakhlaq pada ibu bapak dan sesamama manusia. 2) Membaca qolqolah dan waqof. 3) Melaksanakan perintah bertakwa dan akhlaq kepada sesama manusia (Depag. RI, 2004 : 11).
Untuk Kelas VIII semester gasal standar kompetensinya adalah: Mampu memahami sejarah turunnya al-Qur’an, memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang persatuan dan persaudaraan, memahami arti hadis| dan macam-macamnya, memahami Hadis-Hadis dan meyakini kebenaran dan istiqomah dan mampu menerapkan ilmu tajwid dalam bacaan al-Qur’an. Meliputi komptensi dasar;1) menjelaskan sejarah turunnya al-Qur’an, 2) membedakan arti Hadis dan macam-macamnya 3) menunjukkan sikap persatuan dan persaudaraan 4) meyakini kebenaran Islam dan beristiqomah. 5) memahami hukum bacaan mim sukun, ra’ dan lam.
Standar kompetensi materi al-Qur’an Hadis kelas VIII semester genap adalah Mampu memahami ayat al-Qur’an tentang setan sebagai musuh manusia, berlaku dermawan, memahami Hadis-Hadis tentang cinta kepada Allah dan Rasul dan mampu menerapkan ilmu tajwid dalam bacaan al-Qur’an. Kompetensi dasar 1) menyadari syetan sebagai musuh manusia 2) berlaku dermawan 3) mendemontrasikan bacaan mad 4) menunjukkan sikap cinta kepada Allah dan Rasul (Depag. RI, 2004 : 15).
Kelas IX Semester gasal standar kompetensinya: Mampu memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang semangat keilmuan, tentang makanan yang halal dan baik, dan memahami Hadis-Hadis tentang perintah menuntut ilmu dan keutamaan orang yang berilmu. Meliputi kompetensi dasar: 1) memiliki semangat keilmuaan, 2) membiasakan makan-makan yang halal dan baik serta tidak berlebih-lebihan, 3) menguasai Hadis tentang perintah menuntut ilmu secara lisan dan tertulis, 4) menjelaskan Hadis tentang keutamaan orang yang berilmu.
Kelas IX Semester genap standar kompetensinya; Mampu memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang sabar dan tabah menghadapi cobaan, tentang bersikap konsekuen dan jujur, serta memahami hadis-hadis tentang taat kepada Allah, Rasul dan pemerintah. Kompetensi dasarnya meliputi: 1) berperilaku sabar dan tabah dalam menghadapi cobaan, 2) bersikap konsekuen dan jujur, 3) membiasakan taat kepada Allah, Rasul dan pemerintah (Depag. RI, 2004 : 18).
2.      Mata Pelajaran Aqidah ahklaq
Materi pokok mata pelajaran Aqidah akhlaq kelas VII Semester gasal standar kompetensi: Memahami sifat-sifat wajib, mustahil Allah yang nafsiyah dan salbiyah, berakhlaq terpuji kepada Allah dan menghindari akhlaq tercela kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi dasarnya; 1) meyakini sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz Allah yang nafsiyah-salbiyah, 2) meyakini sifat-sifat wajib Allah yang nafsiyah dan salbiyah, 3) meyakini sifat-sifat Allah yang nafsiyah dan salbiyah 4) membiasakan diri berakhlaq terpuji terhadap Allah, 5) membiasakan diri menghindari berakhlaq tercela terhadap Allah, 6) mencintai dan meneladani sifat dan perilaku kehidupan rasul/sahabat/ ulama’/ulil amri dan atau tokoh.
Kelas VII Semester genap standar kopetensi: Memahami kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para Nabi dan rasul serta mempedomani dan mengamalkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kompetensi dasarnya meliputi; 1) beriman kepada kitab-kitab Allah, 2) meyakini kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Daud As, Musa As. dan Isa As., 3) mempedomani kitab suci al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. dalam kehidupan sehari-hari, 4) mencintai dan meneladani sifat dan perilaku kehidupan sahabat/ulama’ (Depag. RI, 2004:33).
Kelas VIII Semester gasal standar kompetensi: Memahami dan mengamalkan sifat-sifat wajib dan mustahil Allah yang ma’ani/ma’nawiyah serta sifat jaiz bagi Allah, berakhlaq terpuji pada diri sendiri, menghindari akhlaq tercela kepada diri sendiri, serta meneladani perilaku kehidupan Rasul/sahabat/ ulama’ dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi dasarnya adalah: 1) memahami dan meyakini sifat-sifat wajib dan mustahil Allah yang ma’ani/ma’nawiyah, 2) meyakini sifat-sifat mustahil Allah yang ma’ani/ma’nawiyah 3) meyakini sifat jaiz Allah, 4) membiasakan diri berakhlaq terpuji kepada diri sendiri dalam kehidupan bersama, 5) membiasakan diri menghindari akhlaq tercela dalam kehidupan sehari-hari, 6) mencintai dan meneladani sifat dan perilaku kehidupan Rasul/sahabat/ulama’.
Kelas VIII Semester genap standar kompetensi: Memahami sifat-sifat dan mu’jizat Nabi dan Rasul dan meneladani akhlak Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi dasarnya: 1) meyakini mu’jizat Allah yang diturunkan kepada rasul-Nya, 2) meyakini sifat-siafat wajib dan mustahil rasul, 3) meneladani kisah rasul Ulul ’Azmi, 4) meneladani akhlaq Nabi Muhammad saw., 5) mencintai dan meneladani sifat dan perilaku kehidupan sahabat/ulama’ (Depag. RI, 2004 : 38).
Kelas IX Semester gasal standar kompetensi: Memahami dan meyakini adanya hari akhir dan alam gaib dalam kehidupan sehari-hari, berakhlaq terpuji dan menghindari akhlaq tercela terhadap lingkungan sosial/sesama manusia dalam masyarakat. Kompetensi dasarnya; 1) beriman kepada hari akhir, 2) beriman kepada alam gaib yang berhubungan dengan hari akhir, 3) mengamalkan akhlaq terpuji terhadap lingkungan sosial/sesama manusia dalam masyarakat, 4) membiasakan diri berakhlaq terpuji terhadap sesama, 5) membiasakan diri menghindari akhlaq tercela terhadap sesama.
Kelas IX Semester genap standar kompetensi: Berakhlaq terpuji terhadap lingkungan flora dan fauna serta menghindari akhlaq tercela terhadap lingkungan flora dan fauna, serta meneladani akhlaq para rasul/sahabat atau ulul amri dalam kehidupan sehari-hari, 1) mengamalkan akhlaq terpuji terhadap lingkungan flora dan fauna (tumbuh-tumbuhan dan hewan), 2) menjauhi akhlaq tercela terhadap lingkunagn flora dan fauna (tumbuh-tumbuhan dan hewan), 3) mencintai dan meneladani sifat dan perilaku kehidupan rasul/sahabat/ulama’/ulil amri/tokoh yang beriman dan berakhlaq mulia (Depag. RI, 2004 : 42).

3.      Mata Pelajaran Fiqih
Materi pokok mata pelajaran Fiqih kelas VII Semester gasal dan genap standar kompetensi: Menguasai tata cara bersuci (t}aharah), pelaksanaan shalat (s}alat wajib, jamaah, jama’ qas}ar, darurat, janazah, s}alat sunnah) serta mampu mengamalkannya dalam kehiupan sehari-hari. Kompetensi dasar 1) menjelaskan tata cara bersuci dari hadas̀^, najis dan kotoran. 2) menjelaskan tata cara berwudlu dan mempraktekannya. 3) menjelaskan tata cara mandi. 4) menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan haid. 5) menjelaskan tata cara tayamum dan mempraktekannya. 6) menjelaskan tata cara s}alat jum’at. 7) menjelaskan tata cara pelaksanaan s}alat berjamaah. 8) menjelaskan tata cara s}alat jama’. 9) menjelaskan tata cara s}alat qas}ar. 10) menjelaskan tata cara s}alat dalam keadaan darurat. 11) menjelaskan tata cara s}alat janazah. 12) menjelaskan tata cara shalat sunnah malam. 13) menjelaskan tata cara s}alat ’Id. 14) menjelaskan tata cara shalat D{uha. 15) menjelaskan cara s}alat Tahiyyatul Masjid (Depag. RI, 2004: 56).
Kelas VIII Semester gasal dan genap standar kompetensi: Kemampuan membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang sujud syukur, z^ikir dan doa’, haji dan umroh, qurban dan aqiqah. Kompetensi dasarnya adalah: 1) menjelaskan tata cara pelaksanaan sujud syukur dan tilawah, 2) menjelaskan tata cara pelaksanaan berz^ikir dan berdo’a setelah shalat, 3) menjelaskan tata cara pelaksanaan puasa naz^ar, 4) menjelaskan tata cara pelaksanaan menginfaqkan harta benda di luar kewajiban zakat, 5) menjelaskan tata cara pelaksanaan haji dengan benar, 6) menjelaskan tata cara pelaksanaan umrah, 7) menjelaskan ketentuan kurban, 8) menjelaskan ketentuan aqiqah (Depag. RI, 2004: 58).
Kelas IX Semester gasal dan genap standar kompetensi: Menguasai tata cara muamalah, muamalah selain jual beli, kewajiban terhadap sesama (janazah, dan ziarah kubur), tata pergaulan remaja, jinayat, hudud dan sangsi hukumannya, kewajiban mematuhi undang-undang negara dan syariat Islam, kewajiban mengelola dan mengolah lingkungan untuk kesejahteraan sosial.
Kompetensi dasar 1) menjelaskan tata cara pelaksanaan jual beli yang benar. 2) menjelaskan tata cara khiyar. 3) menjelaskan tata cara pelaksanaan qirad}. 4) menjelaskan tata cara berpiutang, gadai dan borg dengan baik. 5) menjelaskan tata cara pelaksanaan upah dan luqat}ah. 6) menjelaskan batasan-batasan riba dengan benar. 7) menjelaskan tindakan yang harus dilakukan terhadap jenazah. 8) menjelaskan tata cara pelaksanaan ta’ziyah dan ziarah kubur dengan benar. 9) Menjelaskan tata cara pergaulan remaja yang sesuai ajaran Islam. 10) menjelaskan hukum jinayat dan hudud. 10) menjelaskan tata cara pelaksanaan diyat. 11) menjelaskan larangan minuman keras. 12) menjelaskan hukum pencopetan, penjambretan, pencurian, penyamunan, perampokan dan perompakan. 13) menjelaskan permasalahan hukum zina. 14) menjelaskan undang-undang negara. 15) menjelaskan hukum kewajiban membela tanah air. 16) menjelaskan hukum mematuhi syariat Islam. 17) menjelaskan pola kepemimpinan dalam Islam. 18) menjelaskan pentingnya memelihara lingkungan hidup. 19) menjelaskan cara meningkatkan kesejahteraan sosial (Depag. RI, 2004 : 63).

4.      Mata Pelajaran SKI
Materi pokok mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kelas VII Semester gasal dan genap standar kompetensi: Membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang sejarah pembentukan Dinasti Umayah; biografi dan kebijakan khalifah-khalifah Dinasti Umayah (Muawiyah bin Abi Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik); Kemajuan Dinasti Umayah (bidang politik dan militer). Kompetensi dasar 1) mendiskripsikan pembentukan pemerintah Dinasti Umayah. 2) menjelaskan biografi dan kebijakan khalifah Muawiyah bin Abi Sofyan. 3) menjelaskan biografi dan kebijakan khalifahh Abdul Malik bin Marwan serta meneladani keberanian, keteguhan dan kebijaksanaannya. 4) menjelaskan biografi dan kebijakan khalifah Walid bin Abdul Malik. 5) menjelaskan biografi dan kebijakan kholifah Umar bin Abdul Aziz serta meneladani kesalehannya dan kezuhudannya. 6) mrenjelaskan biogarafi dan kebijakan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. 7) menganalisis kemajuan-kemajuan Dinasti Umayah di bidang sosial budaya. 8) menganalisis kemajuan-kemajuan Dinasti Umayah di bidang politik dan militer (Depag. RI, 2004 : 76).
Kelas VIII Semester gasal dan genap standar kompetensi: Membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang kemajuan-kemajuan Dinasti Umayah (bidang ilmu agama Islam) dan mengkaji sebab-sebab keruntuhannya; Sejarah terbentuknya Dinasti Abbasiyah, biografi dan kebijakan khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah yang terkenal (Abu Ja’far al- Mansur, Harun al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun); Kemajuan Dinasti Abbasiyah (bidang sosial budaya, politik dan militer). Kompetensi dasar 1) menganlisis kemajuan-kemajuan Dinasti Umayah di bidang ilmu Agama Islam. 2) menganalisis keruntuhan Dinasti Umayah dan mengambil ibrahnya. 3) menjelaskan sejarah terbentuknya Dinasti abbasiyah. 4) menjelaskan biografi dan kebijakan khalifah Abu Ja’far al Mansur. 5) menjelaskan biografi dan kebijakan khalifah Harun al-Rasyid. 6) menjelaskan biografi dan kebijakan khalifah Abdullah al-Ma’mun serta meneladani kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. 7) menganlisis kemajuan-kemajuan Dinasti Abbasiyah dibidang sosial budaya. 8) menganlisi kemajuan-kemajuan Dinasti Abbasiyah di bidang politik dan militer (Depag. RI, 2004 : 79).
Kelas IX Semester gasal dan genap standar kompetensi: Membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang kemajuan-kemajuan Dinasti Abbasiyah (bidang ilmu pengetahuan dan bidang Agama Islam) dan mengkaji sebab-sebab keruntuhannya, serta kemajuan-kemajuan Dinasti al-Ayyubiyah. Kompetensi dasar 1) menganlisis kemajuan-kemajuan Dinasti Abbasiyah di bidang ilmu pengetahuan. 2) menganalisis kemajuan-kemajuan Dinasti Abbasiyah di bidang ilmu Agama Islam. 3) menganalisis keruntuahan Dinasti Abbasiyah (1.4) menganalisis kemajuan-kemajuan Dinasti al-Ayyubiyah (Depag. RI, 2004 : 80).
Program pengajaran agama dapat dipandang sebagai suatu usaha mengubah tingkah laku siswa dengan menggunakan bahan pengajaran agama. Tingkah laku yang diharapkan itu terjadi setelah siswa mempelajari pelajaran agama dan dinamakan hasil belajar siswa dalam bidang pangajaran agama.
Hasil belajar atau bentuk perubahan tingkah laku yang diharapkan itu meliputi tiga aspek yaitu: Pertama, aspek kongnitif, meliputi perubahan-perubahan dalam segi penguasaan pengetahuan dan perkembangan ketrampilan atau kemampuan yang diperlukan untuk menggunakan pengetahuan tersebut. Kedua, Aspek afektif meliputi perubahan-perubahan dalam segi mental, perasaan dan kesadaran. Ketiga, aspek psikomotor, meliputi perubahan dalam bentuk-bentuk tindakan motorik.

f.       Pengukuran Prestasi Belajar PAI
Untuk mengetahui suatu keberhasilan dalam proses pembelajaran, diperlukan adanya evaluasi/ penilaian atau pengukuran yang dapat dilakukan melalui tes. Hasil penilaian tes digunakan sebagai parameter untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar anak didik, apakah pembelajaran berhasil atau gagal. Hasil belajar digunakan oleh seorang pendidik selain untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran juga untuk memperbaiki motivasi belajar yang akan diberikan kepada siswa, aktivitas dan cara belajar siswa dan fasilias yang perlu disediakan (Purwanto, 2002 :5).
Untuk mengetahui sampai sejauh mana prestasi yang dicapai oleh siswa dalam proses pembelajaran dapat ditempuh dengan mengadakan pengukuran atau penilaian. Dari hasil penilaian atau evaluasi inilah akan diketahui apakah siswa yang bersangkutan berprestasi ataukah tidak. Jika pencapaian nilai atau skor yang dicapai oleh siswa memenuhi atau bahkan melampaui standar yang telah ditentukan, maka siswa bersangkutan dapat dikatakan sebagai siswa yang berprestasi. Hal ini menunjukkan juga bahwa proses pembelajaran telah berlangsung sesuai dengan tujuan (Slameto, 1984:3). Skor yang dicapai oleh siswa sebagai simbul pencapaian prestasi belajar merupakan kumulatif dari pengukuran aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek motorik, yang masing- masing ranah memiliki jenis, indikator dan cara evaluasi yang berbeda (Syah, 1999: 187-188).
Obyek pengukuran yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa tidak semata-mata dari hasil pengembangan intelektual saja, melainkan juga mencakup sikap dan perilaku yang berkembang dari kondisi siswa sebelum belajar sampai kondis siswa setelah belajar. Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan jenis, indikator, dan cara evaluasi prestasi belajar.


Tabel 2.1
Jenis, Indikator, dan Cara Evaluasi Prestasi Belajar

Ranah/JenisPrestasi
Indikator
Cara Evaluasi
A. Kognitif
 (ranah cipta )
1.       Pengamatan

2.       Ingatan

3.       Pemahaman

4.       Aplikasi

5.       Analisis pemeriksaan dan pemilihan secara teliti).
6.       Sintesis pembuat panduan baru dan utuh).


1.      Dapat menunjukkan, mem-bandingkan,menghubungkan.
2.      Dapat menyebutkan, menunjuk-kan kembali.
3.      Dapat menjelaskan, mendefini-sikan dengan lisan sendiri.
4.      Dapat memberikan Contoh dan menggunakan secara tepat.
5.      Dapat menguraikan dan meng-klasifikasi.Dapat menghubung-kan, menyimpulkan, mengene-ralisasi.


1.    Tes lisan, tulisan, observasi.
2.    Tes lisan, tulisan, observasi.
3.    Tes lisan, tulisan.

4.    Tes lisan, tulisan, observasi.
5.    Tes tulis dan pem-berian tugas.


6.    Tes tulis dan pem-berian tugas.

B. Afektif
(ranah rasa)
1.       Penerimaan

2.       Sambutan


3.       Apresiasi (sikap menghargai)


4.       Internalisasi (pendalaman)

5.       Karakterisasi
(penghayatan)


1.       Menunjukkan sikap menerima, dan menolak.
2.       Kesediaan terlibat dan meman-faatkan.

3.       Menganggap penting, berman-faat, indah, harmonis, menga-gumi

4.       Mengakui, meyakini, menging-kari.

5.       Melembagakan atau meniada-kan. menjelmakan dalam peri-laku sehari- hari.


1.       Tes tulis, tes skala sikap, observasi.
2.       Tes skala sikap, pemberian tugas, observasi.
3.       Tes skala penilai-an sikap, pemberi-an tugas, obser-vasi.
4.       Tes skala sikap, pemberian tugas, ekspresi.
5.       Pemberian tugas, ekspresif dan proyektif observasi
C. Psikomotor
(ranah karsa)
1. Ketrampilan bergerak dan ber-tindak
2. Kecakapan
Ekspresi verbal
dan non verbal


1.       Kecakapan mengkordinasikan gerak mata, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya.
2.       kefasihan melafalkan keca-kapan membuat mimik dan gerakan jasmani.


g.        Tes tindakan
h.       observasi

1.       Tes lisan, obser-vasi
2.       Tes tindakan.





Sumber: Syah (1999: 193-195)
Dari pengukuran yang meliputi tiga ranah, kognitif, afektif, dan psikomotor tersebut, dapat ditentukan tingkat pencapaian hasil belajar atau prestasi belajar siswa melalui skor yang diperoleh siswa. Kemudian dari perolehan skor tersebut dikonsultasikan kepada alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan siswa yang telah dibakukan. Diantara norma-norma pengukuran tersebut adalah: 1). Norma skala angka dari 0 sampai 10; dan 2). Norma skala angka dari 0 sampai 100. Perolehan skor terendah yang dapat dinyatakan sebagai keberhasilan belajar atau kelulusan (passing grade) untuk skala 0-10 adalah 5,5 atau 6,0, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. artinya, jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar, maka ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar.
Namun demikian, untuk mata pelajaran inti (Core Subjects) perlu dipertimbangkan perlunya menetapkan passing grade atau KKM (kriteria ketuntasan minimal) yang lebih tinggi (misalnya 65 atau 70), mengingat mata pelajaran inti merupakan “kunci pembuka” ilmu pengetahan lainnya. Mata pelajaran inti ini (Core Subjects) meliputi bahasa dan matematika. Skala pengukuran tingkat keberhasilan siswa tersebut berlaku untuk siswa tingkat pendidikan dasar dan menengah (Syah, 1999: 196-197). Pencapaian skor tersebut merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan atau kegagalan proses pembelajaran.
Keberhasilan proses pembelajaran pendidikan agama Islam dapat diketahui dengan menunjukkan hasil pencapaian prestasi belajar agama Islam siswa, yang dapat ditempuh melalui pengukuran dari tiga aspek sebagaimana telah ditentukan dalam kurikulum pendidikan agama Islam, yakni aspek pengetahuan, aspek ketrampilan, dan aspek sikap. Artinya, dalam menentukan prestasi belajar agama Islam, seorang guru dalam menentukan nilai yang diperoleh siswa berdasarkan jumlah total nilai yang diperoleh siswa dari masing-masing aspek dengan menggunakan skala 0–100. Dari perhitungan tersebut, siswa dapat dinyatakan memiliki prestasi sangat baik jika mampu mencapai nilai komulatif lebih dari (<90), dinyatakan berprestasi baik jika mampu meraih nilai komulatif (80–89), dan berprestasi cukup baik jika mencapai nilai komulatif (70-79), serta dianggap berprestasi cukup jika mencapai nilai komulatif (60-69) dan dianggap memiliki prestasi kurang apabila siswa hanya mampu mencapai nilai kurang dari (>59) (Tabel Kriteria Ketuntasan Minimal, MTs Sholihiyyah Kalitengah Mranggen tahun pelajaran 2009/2010).
Bentuk pengukuran prestasi belajar agama Islam, terbagi dalam tiga bentuk pengukuran untuk tiga aspek. Pertama, untuk aspek pengetahuan berbentuk pemberian tes tertulis kepada siswa dengan sejumlah pertanyaan yang terkait dengan materi pelajaran. Dari hasil jawaban atau respon siswa terhadap pertanyaan tersebut, kemudian dicocokkan dengan norma pengukuran atau standar penilaian yang telah ditentukan oleh guru, dari hasil respon inilah siswa diberi skor untuk aspek pengetahuan.
Kedua, aspek ketrampilan dengan bentuk pemberian tugas kepada siswa untuk mempraktekkan materi pelajaran yang telah disampaikan guru kepada siswa. dari pemberian tugas praktek tersebut akan diketahui sampai sejauhmana siswa mampu mempraktekkan materi pelajaran yang telah disampaikan guru kepada siswa secara tepat dan benar. Misalnya materi pelajaran shalat janazah, maka yang diukur adalah sampai sejauh mana siswa mampu mempraktekkan shalat janazah secara tepat dan benar, baik kefasihan lafaz, mahraj, maupun kekhusuan.
Ketiga, aspek sikap, dengan bentuk pengamatan langsung terhadap perilaku siswa sehari-hari di sekolah, atau dapat juga melalui bantuan guru BP untuk mengetahui apakah siswa yang bersangkutan sering mempunyai kasus ataukah tidak. Disamping melakukan pengamatan langsung, juga melakukan pengamatan tidak langsung melalui orang tua siswa tentang perilaku siswa bersangkutan ketika di rumah. Dari hasil pengamatan tersebut kemudian guru memberi skor kepada siswa bersangkutan untuk aspek sikap (Depdiknas, 2003: 58).
Jumlah total skor yang dicapai oleh siswa dari tiga aspek tersebut, kemudian dijumlahkan. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan nilai pendidikan agama Islam untuk siswa, tidak lagi semata-mata ditentukan hanya dari aspek kognitif, tetapi juga ditentukan oleh aspek afektif dan psikomotor. Karena ajaran Islam bukan hanya terkait dengan pengetahuan semata, akan tetapi yang paling menentukan adalah dalam aplikasinya dalam kehidupan (pengamalannya). Azizy (2003: 58), menekankan pentingnya pelajaran agama Islam diikuti dengan praktek langsung oleh tiap-tiap siswa yang mengikuti materi pelajaran pendidikan Islam. Lebih lanjut Azizy mencontohkan, ajaran Islam yang bermuatan etika sosial seperti kesucian dan kebersihan (t}aharah dan naz}afah) seharusnya bukan untuk dihafal saja, melainkan harus langsung dipraktekkan.
Demikian pula ajaran tentang ketepatan waktu (al-as}r), tanggung jawab (mas’u<liyah), menepati janji (wafa’ al ‘ahd), dan hal-hal yang terkait dengan hak-hak orang lain (haq al-adami), juga harus dipraktekkan langsung, disamping tentunya ajaran pokok Islam, s}alat, zakat, puasa dan haji (Azizy, 2003: 58). Dengan demikian, akan dapat dihindari adanya pemberian nilai yang kurang tepat. Misalnya, memberikan nilai 9 atau bahkan 10 pada mata pelajaran agama Islam terhadap siswa yang tidak rajin shalat, tidak rajin puasa, dan tidak memiliki akhlak yang baik, hanya karena siswa tersebut mampu menjawab dengan benar sebagian besar atau bahkan keseluruhan pertanyaan yang diujikan.
Sedangkan siswa yang rajin s}alat, rajin puasa, dan menunjukkan prilaku akhlakul karimah memperoleh nilai 6 pada mata pelajaran agama Islam hanya karena tidak dapat menjawab dengan benar semua pertanyaan atau sebagian besar pertanyaan yang diujikan. Dengan sitem penilaian semisal ini, akan lebih fair dan jujur dalam menilai siswa, sekaligus menghindari tuduhan sebagian orang yang beranggapan bahwa Islam diajarkan lebih menekankan pada hafalan, menekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhan, mengabaikan penalaran dan argumentasi berfikir untuk problem-problem keagamaan, dan mengabaikan penghayatan nilai-nilai agama dalam pengamalannya, serta mengukur keberhasilan pendidikan agama Islam hanya masih bersifat formalitas dan verbalitas (Azizy, 2003: 61).

B.     Motivasi Belajar

1.      Pengertian
Dalam pengggunaan istilah, sering terdapat penyamaan istilah motif dan motivasi untuk menyatakan hal yang sama. Mempersamakan kedua istilah itu memang tidak menimbulkan kerugian, namun ada baiknya diketahui, bahwa istilah itu tidak persis sama.
W.S. Winkel (1983: 53) mengatakan bahwa ”motif” adalah:
”...daya penggerak di dalam diri orang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi motif itu merupakan suatu kondisi internal atau disposisi internal. Dalam bahasa yang lebih sederhana, motif itu adalah ”kesiap-siagaan” dalam diri seseorang. Motivasi diartikan sebagai motif yang sudah menjadi aktif pada saat melakukan suatu perbuatan, sedangkan motif sudah ada dalam diri seseorang, jauh sebelum orang itu melakukan suatu perbuatan”.
Whittaker dalam Pasaribu (1983: 50), mendefinisikan motif sebagai berikut: ”Motivasion is broad term used in psichology to cover those internal conditions or states that activate or energize the organism and that lead to goal directed behaviour”. (motivasi adalah suatu istilah yang sifatnya luas, yang digunakan dalam psikologi, yang meliputi kondisi-kondisi atau keadaan internal yang mengaktifkan atau memberi kekuatan kepada organisme, dan mengarahkan tingkah laku organisme mencapai tujuan).
Mulyani M. dalam Darsono (1984: 62), mengambil definisi dari Atkinson sebagai berikut: ”Motif adalah suatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu; tujuan ini dapat berupa prestasi, afiliasi, atau kekuasaan”. ”Motivasi adalah keadaan individu yang terangsang yang terjadi jika suatu motif telah dihubungkan dengan suatu pengharapan yang sesuai”.
Sardiman (2001: 71), berpendapat bahwa motivasi berasal dari kata “motif ” yang diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiap-siagaan ). Berawal dari kata “motif” maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. W.S Winkel mengatakan bahwa “motif” adalah daya penggerak di dalam diri orang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi mencapai suatu tujuan tertentu. Motif adalah keadaan dalam pribadi orang yang mendorong individu atau melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan (Suryabrata, 1990: 70).
Sedangkan Clifford T. Morgan (1961: 66) berpendapat, “Motivation is a general term referring to state that motivate behaviour, to the behaviour motivated by these, and to the goals or end of such behaviour”. Motivasi adalah istilah umum yang menunjukkan kepada keadaan yang menggerakkan tingkah laku, tingkah laku itu digerakkan oleh adanya kedudukan dan untuk tujuan akhir dari tingkah laku.
Dalam kegiatan belajar mengajar, apabila ada seseorang siswa, tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dikerjakan, maka perlu diselidiki sebab-sebabnya. Sebab itu biasanya bermacam-macam, mungkin ia tidak senang, mungkin sakit, lapar, ada problem pribadi dan lain-lain. Hal ini berarti pada diri anak tidak terjadi perubahan energi, tidak terangsang afeksinya untuk melakukan sesuatu, karena tidak memiliki tujuan atau kebutuhan belajar. Keadaan semacam ini perlu dilakukan daya upaya yang dapat menemukan sebab-sebabnya dan kemudian mendorong seseorang siswa mau melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan, yakni belajar. Dengan kata lain siswa perlu diberi rangsangan agar tumbuh motivasi pada dirinya.
Motivasi juga dapat dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga sesorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Jadi motivasi dapat dirangsang oleh faktor luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam diri seseorang. Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak didalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai. Dikatakan keseluruhan, karena pada umumnya ada bebrapa motif yang bersama-sama menggerakkan siswa untuk belajar. Motivasi belajar adalah merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam menumbuhkan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Ibaratnya seseorang itu menghadiri suatu ceramah, tetapi karena tidak tertarik pada materi yang diceramahkan, maka tidak akan mencamkan, apalagi mencatat isi ceramah tersebut. Seseorang itu tidak memiliki motivasi, kecuali karana paksaan atau sekedar seremonial. Seseorang yang memiliki intelligensia cukup tinggi, boleh jadi gagal karena kekurangan motivasi (Sardiman, 2001: 73).
Hasil belajar itu akan optimal kalau ada motivasi yang tepat dengan demikian maka kegagalan belajar siswa jangan begitu saja mempersalahkan pihak siswa. Sebab mungkin saja guru tidak berhasil dalam memberi motivasi yang mampu membangkitkan semangat dan kegiatan siswa untuk berbuat belajar. Jadi tugas guru bagaimana mendorong para siswa agar pada dirinya tumbuh motivasi.
Persoalan motivasi ini, dapat juga dikaitkan dengan persoalan minat. Minat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu, apa yang dilihat seseorang sudah tentu akan membangkitkan minatnya sejauh apa yang dilihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingannya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa minat merupakan kecenderungan jiwa seseorang kepada seseorang (biasanya disertai dengan perasaan senang), karena itu merasa ada kepentingan dengan sesuatu itu. Menurut Bernard, minat timbul tidak secara tiba-tiba/spontan, melainkan timbul akibat dari partisipasi, pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar atau bekerja. Jadi minat akan selalu berkait dengan soal kebutuhan atau keinginan. Oleh karena itu yang penting bagaimana menciptakan kondisi tertentu agar siswa itu selalu butuh dan ingin terus belajar.
Berdasarkan definisi dan penjelasan tersebut dapat disimpukan bahwa ”motif” tidak hanya mendorong orang untuk bertingkah laku, tetapi juga memberi arah pada tingkah laku yang mengarah pada pencapaian tujuan, bahwa motif itu bersifat potensial, sedangkan motivasi bersifat aktual. ”Motivasi belajar” dapat diartikan suatu tenaga daya penggerak yang bersifat non intelektual, yang berupa dorongan, (alasan, kemauan), dari dalam maupun dari luar yang menyebabkan siswa berbuat atau melakukan aktivitas belajar.

2.      Macam-macam Motivasi
Berbicara tentang macam atau jenis motivasi, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian menurut Sardiman (2001: 84), motivasi atau motif-motif yang aktif itu sangat bervariasi.

a.      Motivasi dilihat dari dasar pembentukannya
1)      Motif-motif bawaan.
Yang dimaksud dengan motif bawaan adalah motif yang dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada tanpa dipelajari. Misalnya dorongan untuk makan, dorongan untuk minum, dorongan untuk bekerja, untuk beristirahat, dorongan seksual. Motif-motif ini seringkali disebut motif-motif yang disyaratkan secara biologis. Relevan dengan ini, maka Frandsen (Sardiman, 2001: 84) memberi istilah jenis motif Psysiological drives.

2)      Motif-motif yang dipelajari.
Maksudnya motif-motif yang timbul karena dipelajari. Misalnya; doronganm untuk mengajar sesuatu didalam masyarakat. Motif-motif ini seringkali disebut dengan motif-motif yang diisyaratkan secara sosial. Sebab manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan sesama manusia yang lain, sehingga motivasi itu terbentuk. Frandsen mengistilahkan dengan affiliative needs. Sebab justru dengan kemampuan berhubungan, kerja sama di dalam masyarakat tercapailah suatu kepuasan diri. Sehingga manusia perlu mengembangkan sifat-sifat ramah, kooperatif, membina hubungan baik dengan sesama, apalagi orang tua dan guru. Dalam kegiatan belajar-mengajar, hal ini dapat membantu dalam usaha mencapai prestasi. Frandsen masih menambah jenis- jenis motif ini:
a)      Cognitive motives 
Motif ini menunjuk pada gejala intrinsic, yakni menyangkut kepuasan individual. Kepuasan individual yang berada di dalam diri manusia dan biasanya berwujud proses dan produk mental. Jenis motif seperti ini adalah sangat primer dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah, terutama yang berkaitan dengan pengembangan intelektual.
b)      Self-Expression
Penampilan diri adalah sebagaian dari perilaku manusia. yang penting kebutuhan individu itu tidak sekedar tahu mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi, tetapi juga mampu membuat suatu kejadian. Untuk ini memang diperlukan kreativitas, penuh imajinasi. Jadi dalam hal ini seseorang itu ada keinginan untuk aktualisasi diri.
c)      Self-enhancement
Melalui aktualisasi diri dan pengembangan kompetensi akan meningkatkan kemajuan diri seseorang. Ketinggian dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi setiap individu. Dalam belajar dapat diciptakan suasana kompetisi yang sehat bagi anak didik untuk mencapai suatu prestasi.

b.      Jenis-jenis Motivasi Menurut Woodworrth dan Marquis
Menurut Woodworrth dan Marquis dalam Sardiman (2001: 86), jenis-jenis motivasi adalah:
1)      Motif atau kebutuhan organis, misalnya; kebutuhan untuk minum, makan, bernafas, seksual, berbuat dan kebutuhan untuk beristirahat. Ini sesuai dengan jenis Psysiological drives dari Frandsen.
2)      Motif-motif darurat, yang termasuk dalam jenis ini anatara lain: dorongan untuk menyelamatkan diri, dorongan untuk membalas, untuk berusaha, untuk memburu. Jelasnya motivasi jenis ini timbul karena rangsangan dari luar.
3)      Motif-motif obyektif. Dalam hal ini menyangkut kebutuhan untuk melakukan eksplorasi, melakukan manipulasi, untuk menaruh minat. Motif-motif ini muncul karena dorongan untuk dapat menghadapi dunia luar secara efektif .
c.       Motivasi Jasmaniah dan Rohaniah
Ada beberapa ahli yang menggolongkan jenis motivasi itu menjadi dua jenis yakni motivasi jasmaniah dan motivasi rohaniah. Yang termasuk motivasi jasmaniah misalnya; refleks, instink otomatis, nafsu. Sedangkan yang termasuk motivasi rohaniah, yaitu kemauan (Sardiman, 2001: 86).

d.      Motivasi intrinsik dan ekstrinsik
1)      Motivasi intrinsik
Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh seseorang yang senang membaca, tidak usah ada yang menyuruh atau mendorongnya, ia sudah rajin mencari buku-buku untuk dibacanya. Dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannya, maka yang dimaksud dengan motivasi instrinsik ini adalah ingin mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan membaca itu sendiri. Seorang siswa itu melakukan belajar, karena betul-betul ingin mendapat pengetahuan, nilai atau ketrampilan agar dapat berubah tingkahlakunya secara konstruktif, tidak karena tujuan yang lain-lain. Instrinsic motivations are inherent in the learning situasions and meet pupil-needs and purpses”. Motivasi instrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang didalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak berkait dengan aktivitas belajarnya. Seperti contoh bahwa seseorang belajar, memang benar-benar ingin mengetahui segala sesuatunya, bukan karena ingin pujian atau ganjaran.
Perlu diketahui bahwa siswa yang memiliki motivasi intrinsik akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam bidang studi tertentu. Satu-satunya jalan untuk menuju ke tujuan yang ingin dicapai adalah belajar, tanpa belajar tidak mungkin dapat pengetahuan, tidak mungkin menjadi ahli. Dorongan yang menggerakkan itu bersumber pada suatu kebutuhan, kebutuhan yang berisikan keharusan untuk menjadi orang yang terdidik dan berpengetahuan. Jadi memang motivasi itu muncul dari kesadaran diri sendiri dengan tujuan secara esensial, bukan sekedar simbul dan seremonial.

2)      Motivasi ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Sebagai contoh seseorang itu belajar, karena tahu besuk paginya akan ujian dengan harapan mendapatkan nilai baik, sehingga akan mendapatkan pujian dari temannya. Jadi yang penting bukan karena belajar ingin mengetahui sesuatu, tetapi ingin mendapatkan nilai yang baik, atau agar mendapatkan pujian. Jadi kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannya, tidak secara langsung bergayut dengan esensi apa yang dilakukannya itu. Oleh karena itu motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar.
Perlu ditegaskan, bukan berarti bahwa motivasi esktrinsik ini tidak baik dan tidak penting. Dalam kegiatan belajar-mengajar tetap penting. Sebab kemungkinan besar keadaan siswa itu dinamis, berubah-ubah, dan juga mungkin komponen-komponen lain dalam proses belajar-mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa, sehingga diperlukan motivasi ekstrinsik. Karena itu pula motivasi diklasifikasikan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik (Rusyan,1989:120).
Kesimpulanya adalah bahwa motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dari dalam individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar.

3.      Fungsi Motivasi dalam Belajar
Di dalam realitas pendidikan, motivasi belajar tidak selalu timbul dalam diri siswa. Sebagian siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi, tetapi sebagian lain motivasinya rendah atau bahkan tidak ada sama sekali (Darsono, 1984: 63). Bagi siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar, besar kemungkinan ia tidak akan mencapai tujuan belajar. Bila hal seperti ini tidak diperhatikan, di bantu, maka siswa akan gagal dalam belajar. Oleh karena itu, guru sebagai orang yang membelajarkan siswa, harus peduli dengan masalah motivasi ini. Guru bukanlah pengajar yang sudah lega bila semua pokok bahasan dari suatu mata pelajaran sudah tersampaikan tepat pada waktunya. Ia tidak hanya berbangga hati bila ia telah menyampaikan materi pelajaran dengan berbagai metode pembebelajaran yang canggih.
Disamping itu semua, yang tidak kalah pentingnya, ia harus mau dan mampu memotivasi siswa yang rendah motivasi belajarnya, dan meningkatkan motivasi siswa yang sudah mempunyai motivasi belajar. Kepedulian guru terhadap masalah motivasi belajar siswa bukanlah hal yang mengada-ada, melainkan sebagai tugas yang melekat dalam diri guru. Sekali guru dapat membangun motivasi siswa terhadap pelajaran yang diajarkan, diharapkan seterusnya siswa akan selalu meminta mata pelajaran tersebut.
Bahwa motivasi yang dilakukan oleh guru, pada mulanya bersifat ekstrinsik, tetapi diharapkan untuk selanjutnya dapat berubah menjadi motivasi intrinsik. Sebagai konsekuensi tugas memotivasi siswa, guru hendaknya memahami, menghayati dan menerapkan konsep-konsep dan teknik-teknik memotivasi siswa.
Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru. Bagi siswa pentingnya motivasi belajar adalah:
a.       Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses dan hasil akhir
b.      Menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar, yang dibandingkan dengan teman sebaya
c.       Mengarahkan kegiatan belajar
d.      Membesarkan semangat belajar
e.       Menyadarkan tentang adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja yang berkesinambungan; individu dilatih untuk menggunakan kekuatannya sedemikian rupa sehingga dapat berhasil (Dimyati dan Mudjiono, 1994: 120).

Keberhasilan siswa dalam belajar bukan hanya ditentukan oleh kemampuan intelektual, tetapi juga oleh segi-segi afektif terutama motivasi. Dalam membangkitkan motivasi belajar para siswa, guru perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu:
1)      Lebih banyak memberikan penghargaan atau pujian daripada hukuman, sebab siswa lebih termotivasi oleh hal-hal yang menimbulkan rasa senang daripada rasa sakit
2)      Terhadap pekerjaan-pekerjaan siswa, sebaiknya guru memberikan komentar tertulis dan jangan hanya komentar lisan
3)      Pendapat dari teman-teman sekelas lebih memberikan motivasi yang kuat daripada hanya pendapat dari guru
4)      Strategi atau metode mengajar yang sesuai dengan minat siswa akan lebih membangkitkan motivasi dibandingkan dengan yang bersifat teoritis
5)      Guru hendaknya banyak menekankan pelajaran kepada kenyataan sebab hal-hal yang nyata lebih membangkitkan motivasi dibandingkan dengan yang bersifat teoritis
6)      Penggunaan metode atau strategi mengajar yang bervariasi dapat membangkitkan motivasi belajar
7)      Kegiatan belajar yang banyak memberikan tantangan, lebih mengaktifkan dan memberikan dorongan yang wajar (Sukmadinata, 2003: 265-266).

4.      Bentuk-bentuk Motivasi di Sekolah
Motivasi bagi pelajar dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat mengarahkan dan memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar (Sardiman AM, 2001: 89 ). Dalam kaitan itu, perlu diketahui bahwa cara dan jenis menumbuhkan motivasi adalah bermacam-macam. Tetapi untuk motivasi ekstrinsik kadang-kadang tepat, dan kadang-kadang juga bisa kurang sesuai. Guru harus hati-hati dalam menumbuhkan dan memberi motivasi bagi kegiatan belajar para anak didik. Sebab mungkin maksudnya memberikan motivasi tetapi justru tidak menguntungkan perkembangan belajar siswa.
Beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah menurut Djamarah (2002: 115), diantaranya:
a.      Memberi angka
Angka dalam hal ini sebagai simbul dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar, yang utama justru untuk mencapai angka atau nilai baik. Sehingga siswa biasanya yang dikejar adalah nilai ulangan atau nilai-nilai pada raport angkanya baik.
Angka-angka yang baik bagi para siswa merupakan motivasi yang sangat kuat. Bahkan banyak siswa bekerja atau belajar hanya ingin mengejar pokoknya naik kelas saja. Ini menunjukkan motivasi yang dimilikinya kurang berbobot bila dibandingkan dengan siswa-siswa yang menginginkan angka baik. Namun semua itu harus diingat oleh guru bahwa pencapaian angka-angka seperti itu belum merupakan hasil belajar yang sejati, hasil belajar yang bermakna. Oleh karena itu langkah selanjutnya yang ditempuh adalah bagaimana cara memberikan angka- angka dapat dikaitkan dengan values yang terkandung di dalam setiap pengetahuan yang diajarkan kepada para siswa sehingga tidak sekedar kognitif saja tetapi juga keterampilan dan afeksinya.
b.      Hadiah
Hadiah dapat juga dikatakan sebagai motivasi, tetapi tidaklah selalu demikian. Karena hadiah untuk suatu pekerjaan, mungkin tidak akan menarik bagi seorang yang tidak senang dan tidak berbakat untuk suatu pekerjaan tersebut. Misalnya hadiah yang diberikan untuk gambar yang terbaik mungkin tidak akan menarik bagi seseorang siswa yang tidak memiliki bakat menggambar.
c.       Saingan/ kompetisi
Saingan atau kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar siswa. persaingan, baik persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. memang persaingan banyak dimanfaatkan di dalam dunia industri atau perdagangan, tetapi juga sangat baik digunakan untuk meningkatkan kegiatan belajar siswa.
d.       Ego-involvement
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri, adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting. Seseorang akan berusaha dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi yang baik dengan menjaga harga dirinya. Penyelesaian tugas dengan baik adalah simbol kebanggaan dan harga diri, begitu juga untuk siswa subjek belajar. Para siswa akan belajar dengan keras bisa jadi karena harga dirinya.
e.       Memberi ulangan
Para siswa akan menjadi giat belajar kalau mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu memberi ulangan ini juga merupakan sarana motivasi. Tetapi yang harus diingat oleh guru, adalah jangan terlalu sering (misalnya setiap hari) karena bisa membosankan dan bersifat rutinitas. Dalam hal ini guru harus terbuka maksudnya, kalau akan ulangan harus diberitahukan kepada siswanya.
f.       Mengetahui hasil
Dengan mengetahui hasil pekerjaan, apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui bahwa hasil belajar meningkat, maka ada motivasi pada diri siswa untuk terus belajar, dengan suatu harapan hasilnya terus meningkat.
g.      Pujian
Apabila ada siswa yang sukses yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik, perlu diberikan pujian. Pujian ini adalah bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik. Oleh karena itu supaya pujian ini merupakan motivasi, pemberiannya harus tepat. Dengan pujian yang tepat akan memupuk suasana yang menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar serta sekaligus akan membangkitkan harga diri.
h.      Hukuman
Hukuman sebagai reinforcement yang negatif tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Oleh karena itu, guru harus memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman.
i.        Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk belajar, berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk belajar. Hal ini akan lebih baik, bila dibandingkan segala sesuatu kegiatan yang tanpa maksud. Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.
j.        Minat
Motivasi muncul karena ada kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepatlah kalau minat merupakan alat motivasi yang pokok. Proses belajar itu akan berjalan lancar kalau disertai dengan minat. Minat dapat dibangkitkan dengan cara; a) membangkitkan adanya suatu kebutuhan, b) menghubungkan dengan persoalan pengalaman yang lampau, c) memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik, d) menggunakan berbagai macam bentuk mengajar.
k.      Tujuan yang diakui
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, merupakan alat motivasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, dirasa sangat berguna dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.

5.      Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Belajar adalah suatu tingkahlaku atau kegiatan dalam rangka mengembangkan diri, baik dalam aspek kognitif, psikomotor, maupun sikap (Darsono, 64). Agar kegiatan ini terwujud, harus ada motivasi, yang disebut motivasi belajar.
Motivasi belajar dapat timbul tenggelam atau berubah, terkadang siswa memiliki motivasi belajar tinggi dan terkadang motivasi belajarnya rendah, hal ini disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Darsono(1984: 64-67), siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi atau rendah di indikasikan sebagai berikut:
a.       Cita-cita atau Aspirasi
Cita-cita disebut juga aspirasi adalah suatu target yang ingin dicapai. Penentuan target ini tidak sama bagi semua siswa. Target ini diartikan sebagai tujuan yang ditetapkan dalam suatu kegiatan yang mengandung makna bagi seseorang.
Yang dimaksud dengan cita-cita atau aspirasi disini ialah tujuan yang ditetapkan dalam suatu kegiatan yang mengandung makna bagi seseorang (Winkel, 1989: 96). Aspirasi ini dapat bersifat positif, dapat pula bersifat negatif. Siswa yang mempunyai aspirasi positif adalah siswa yang menunjukkan hasratnya untuk memperoleh keberhasilan (Darsono, 1984: 65).
Sebaliknya siswa yang memiliki aspirasi negatif adalah siswa yang menunjukkan keinginan atau hasrat menghindari kegagalan. Siswa yang mempunyai aspirasi positif dan memmiliki taraf aspirasi realistik biasanya mempunyai motif berprestasi, demikian sebaliknya. Siswa yang mempunyai aspirasi negatif atau tidak realistik apabila penetapan taraf keberhasilan itu tidak wajar, artinya terlalu tinggi atau terlalu rendah dibanding dengan kemampuan belajar siswa atau kenyataan yang dicapai siswa sehari-hari.
b.      Kemampuan Belajar
Dalam belajar dibutuhkan kemampuan, kemampuan ini meliputi beberapa aspek psikis yang terdapat dalam diri siswa, misalnya pengamatan, perhatian, ingatan, daya pikir, dan fantasi. Orang belajar dimulai dengan mengamati bahan yang dipelajari. Pengamatan dilakukan dengan mengfungsikan panca indera. Makin baik pengamatan seseorang makain jelas tanggapan yang terekam dalam dirinya, dan makin mudah orang mereproduksi atau mengingatnya dan mengolahnya kembali dengan berfikir, sehingga memperoleh sesuatu yang baru. Daya fantasi juga sangat berpengaruh terhadap perolehan pengetahuan, ketrampilan dan sikap.
Dalam kemampuan belajar, taraf perkembangan berfikir siswa, menjadi ukuran. Siswa yang taraf perkembangan berfikirnya kongkrit tidak sama dengan siswa yang sudah sampai pada taraf perkembangan berpikir operasional. Jadi siswa yang mempunyai kemampuan belajar tinggi biasanya lebih bermotivasi dalam belajar, karena siswa sepertinya itu lebih sering memperoleh sukses, sehingga kesuksesan ini memperkuat motivasinya.
c.       Kondisi Siswa
Kondisi siswa juga mempengaruhi motivasi belajar, kondisi fisik yang lemah, misalnya lesu, mengantuk atau sakit, serta kondisi psikis, cemas dan perasaan-perasaan yang tidak menyenagkan yang terbawa ke sekolah. Maka kondisi-kondisi fisik dan psikologis semacam ini dapat menguragi bahkan menghilangkan motivasi belajar siswa.
d.      Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan merupakan unsur-unsur yang datang dari luar diri siswa. Lingkungan siswa, sebagaimana juga lingkungan individu pada umumnya, ada tiga, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Berarti unsur-unsur yang mendukung atau yang menghambat dapat berasal dari ketiga lingkungan tersebut. Suasana belajar yang menyenagkan, penampilan diri guru yang menarik, membantu siswa termotivasi dalam belajar. Lingkungan fisik sekolah, sarana dan prasarana yang baik dan memadai membuat siswa betah dan termotivasi belajar. Kebutuhan berprestasi, dihargai, diakui yang merupakan kebutuhan emosional psikologis harus terpenuhi, agar motivasi belajar timbul dan dapat dipertahankan.

e.       Unsur-unsur Dinamis dalam Belajar
Unsur-unsur dinamis dalam belajar adalah unsur-unsur yang keberadaannya dalam proses belajar tidak stabil, kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah dan bahkan hilang sama sekali, khususnya kondisi-kondisi yang sifatnya kondisioanal. Misalnya keadaan emosi siswa, gairah belajar, situasi dalam keluarga dan lain-lain.
f.       Upaya Guru Membelajarkan siswa
Upaya yang dimaksud adalah bagaimana guru mempersiapkan diri dalam membelajarkan siswa mulai dari penguasaan materi, cara menyampaikannnya, menarik perhatian siswa, mengevaluasi hasil belajar siswa dan lain-lain. Bila upaya-upaya tersebut dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan siswa maka diharapkan akan menimbulkan motivasi belajar siswa.

C.    Kecerdasan (Intelegensi)
1.      Pengertian
Kecerdasan atau intelligence ini pada awalnya menjadi perhatian utama bagi kalangan ahli psikologi pendidikan. Semiawan (1997: 81-83) mengikhtisarkan berbagai pengertian dan definisi tentang kecerdasan (intelligence) dari para ahli ke dalam tiga kriteria, yakni judgment (penilaian), comprehension (pengertian), dan reasoning (penalaran). Kecerdasan, (kecakapan) atau inteligence bukanlah substansi (suatu benda) atau kekuatan, yang terletak dalam bagian tertentu dari tubuh seseorang, perilaku intelegen atau cerdas ada kaitannya dengan konsep intelegensi. Kecerdasan adalah penyifatan kualifikasi perilaku individu yang menunjukkan pernyataan intelek yang digunakan (Makmun, 2004:53).
Claparede dan Stern dalam Sarwono (1996: 71), memberi definisi inteligensi adalah penyesuaian diri secara mental terhadap situasi atau kondisi baru. Di lain pihak Buhler memberi definisi intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian. Lebih lanjut ia memberikan definisi intelegensi sebagai berikut: Intelegensi adalah kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Kemampuan itu adalah kemampuan untuk mengolah lebih jauh lagi hal-hal yang kita amati. Kemampuan ini terdiri dari dua jenis, yaitu kemampuan umum dan kemampuan khusus.
Menurut Langer (2001: 16), inteligensi adalah kesanggupan dalam suatu kesatuan untuk mendeteksi, mengartikan, menyimpan, menyusun dan memproses tanda-tanda yang timbul di alam sekitar dan diri sendiri dan mengubah serta menghasilkan itu semua menjadi satu pola-pola instruksi yang optimal. Optimal dalam artian memberikan hasil yang menguntungkan bagi individu atau kelompok dimana inteligensi itu bekerja.
Kesimpulanya inteligensi adalah kesanggupan penyesuaian diri secara mental melalui penilaian, pengertian dan penalaran, dalam suatu kesatuan untuk mendeteksi, mengartikan, menyimpan, menyusun dan memproses tanda-tanda yang timbul di alam sekitar dan diri sendiri dan mengubah serta menghasilkan itu semua menjadi satu pola-pola instruksi yang optimal. Optimal dalam artian memberikan hasil yang menguntungkan bagi individu atau kelompok dimana inteligensi itu bekerja.

2.      Kecerdasan Intelektual
Salah satu keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah disamping manusia diberi kesempurnaan dan keindahan tubuh oleh Allah, manusia juga diberi otak yang cerdas, dengan otak yang cerdas inilah manusia sangat berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Karena dengan kecerdasan otak manusia bisa berfikir dan melahirkan peradaban. Sedangkan makhluk yang lain tidak mampu berfikir layaknya manusia (Amin, 2003: 51).
Istilah kecerdasan Intelektual diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1912 oleh seorang ahli psikologi berkebangsaan Jerman bernama William Stero. Salah satu cara yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya intelegensi adalah dengan menerjemahkan hasil tes Intelegensi kedalam angka-angka yang menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang bila di bandingkan secara relatif terhadap suatu norma (Azwar, 1999: 51).
Dalam perspektif psikologis, kecerdasan Intelektual dianggap sebagai kemampuan mental seseorang dalam merespon dan menyelesaikan problem-problem, dari yang bersifat kuantitatif dan fenomenal, seperti matematika, fisika, data-data sejarah dan sebagainya. Menurut Suharsono kecerdasan intelektual adalah kemampuan seseorang untuk mengenal dan merespon alam semesta atau obyek yang berada diluar dirinya (outward looking). Hal senada diungkapkan oleh Mulyadi dalam Ummi (2002: 9) pemerhati dan praktisi masalah anak, ia mengatakan bahwa kecerdasan Intelektual itu penting untuk memahami gejala alam dan gejala pengetahuan.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa semua jenis kecerdasan itu sebagai suatu potensi; sesungguhnya ada pada setiap orang hanya saja tinggi rendah atau kuat lemahnya masing-masing kecerdasan itu berbeda-beda. Demikian halnya dengan potensi kecerdasan intelektual, ada pada setiap orang akan tetapi tingkatnya berbeda-beda. Perbedaan tingkat Kecerdasan Intelektual (IQ) itu, dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wechster yang dikutip oleh Amin (2003: 70), dengan klasifikasi intelegensi sebagai berikut:
IQ 130 – ke atas          : Sangat unggul (genius)
IQ 120 – 129               : Unggul
IQ 110 – 119               : Cakap normal
IQ 90 – 109                 : Rata-rata
IQ 80 – 89                   : Lamban normal
IQ 70 – 79                   : Batas dungu
IQ 70 – ke bawah       : Cacat mental
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan kecerdasan Intelektual (Amin, 2003: 70-80) adalah:
a.       Penalaran
Penalaran adalah cara kerja dan sekaligus karakteristik kecerdasan Intelektual, untuk mengembangkan kecerdasan Intelektual harus terus menerus melakukan penalaran terhadap segala hal, terutama tentang fenomena alam, pada diri manusia sendiri, perkembangan IPTEK dan sebagainya.
b.      Eksperimen
Disamping penalaran, eksperimen juga merupakan langkah penting untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan menjadi kegiatan yang disenangi oleh orang cerdas intelektual. Dorongan rasa ingin tahu yang tinggi membuat mereka suka melakukan eksperimen. Biasanya mereka tidak terlalu mempedulikan kegagalan, justru kegagalan menjadi batu loncatan bagi penyempurnaan-penyempurnaan terhadap temuan mereka.

c.       Ingatan
Orang yang cerdas Intelektual, mempunyai daya ingat yang baik. Daya ingat atau kemampuan mengingat itu sangat penting, baik untuk keperluan belajar, pengembangan ilmu pengetahuan dan lain-lain. Lebih lanjut Amin (2003: 51-52) mengutip dalam buku “The Great Memory Book” karya Eric Jensen dan Karen Markowitz: “ingatan merupakan suatu proses biologi yakni informasi di beri kode dan dipanggil kembali”. Pada dasarnya ingatan adalah suatu yang membentuk jati diri manusia dan membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Ingatan memberi manusia titik-titik rujuk pada masa lalu dan perkiraan masa depan, ingatan merupakan kumpulan reaksi elektronika yang rumit yang diaktifkan melalui beragam saluran inderawi dan disimpan dalam jaringan syaraf yang sangat rumit dan unik diseluruh bagian otak. Ingatan yang sifatnya dinamis itu terus berubah dan berkembang sejalan dengan bertambahnya informasi yang disimpan.
Taraf kecerdasan umum tiap-tiap orang berbeda-beda. Hal ini antara lain sudah ditentukan atau merupakan bawaan sejak lahir. Di samping orang- orang yang pandai, terdapat pula orang-orang yang bodoh, sedangkan yang terbanyak adalah yang bertaraf rata-rata (Sarwono, 1996: 72). Menyadari hal ini, sejak lama sudah diusahakan dalam psikologi, untuk mengukur taraf inteligensi pada manusia. Dalam psikologi, pengukuran inteligensi dilakukan dengan alat-alat psiko-diagnostik tertentu (psikometri), yang oleh orang awam lebih dikenal dengan nama psikotes, hasil pengukuran inteligensi biasanya dinyatakan dalam satuan ukuran tertentu yang dapat menyatakan tinggi rendahnya inteligensi yang diukur, yaitui IQ (singkatan dari istilah bahasa Inggris “ Intelligence Quotient”, yang berarti “ hasil bagi taraf kecerdasan” (Makmun, 2004: 59-60).
Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa kecerdasan intelektual adalah kemampuan mental seseorang dalam merespon dan menyelesaikan problem-problem dari yang bersifat kualitatif dan fenomenal (matematika, fisika, data-data sejarah dan sebagainya), dan atau kemampuan seseorang untuk mengenal dan merespon alam semesta atau obyek yang berada diluar dirinya.

3.      Kecerdasan Emosional
a.      Pengertian
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan (Shapiro, 1997: 5).
Istilah kecerdasan emosional baru dikenal secara luas dengan diterbitkannya buku Daniel Goleman: Emotional Intelligence. Goleman mengatakan: “Emotional Intelligence: abilities as being able to motivate oneself and persist in the face of frustration, to control impulse and delay gratification, to regulate one’s moods and keep distress from swamping the ability to think, to empathizes and to hape (Goleman, 1995: 35).
Kecerdasan emosional: kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan mengahadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress yang dapat melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.”
Dengan kata lain kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain. Kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri dan menata dengan baik emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam hubungan dengan orang lain.

b.      Komponen Kecerdasan Emosional
1)      Empati: Kemampuan untuk ikut merasakan perasaan orang lain empati diartikan sebagai melihat sesuatu melalui mata orang lain. Beberapa ketrampilan yang diperlukan adalah mendengarkan dengan seksama serta membaca bahasa tubuh non verbal dan nada suara, yang sering lebih banyak mengungkapkan perasaan dari pada kata-kata. Empati bisa dipandang dengan memahami emosi non verbal orang lain (Asatiadarma, 2003: 45).
2)      Kemandirian: Bentuk sikap terhadap obyek dimana individu memiliki independensi yang tidak terpengaruh terhadap orang lain. Schaefer menggunakan otonomi untuk kemandirian yang berarti berdiri di atas kaki sendiri yaitu keinginan untuk menguasai dan mengendalikan tindakan sendiri dan bebas dari pengendalian luar (Schaefer, 1994: 45). Tujuannya adalah untuk menjadi seorang manusia yang mengatur diri sendiri, mengarahkan diri sendiri, mengambil inisiatif mengatasi kesulitan-kesulitannya.
3)      Motivasi: Sesuatu yang mendorong terjadinya suatu tindakan, perbuatan atau pekerjaan, dapat dikatakan pula motivasi adalah kondisi mental seseorang yang mendorong, mengarahkan dan menuntun melakukan aktivitas guna mencapai tujuan dimana motif ini bukanlah sesuatu yang dapat diamati secara langsung melainkan hanya dapat disimpulkan adanya, karena suatu yang dapat disaksikan.

4.      Kecerdasan Spiritual
a.      Pengertian
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan jenis ketiga setelah IQ dan EQ. Pencetusnya adalah salah seorang anggota dari angkatan ke empat (the fourth force) dalam sejarah psikologi yaitu David Lukots. Spiritual dalam Bahasa Inggris berasal dari kata “Spirit” yang berarti batin, rohani dan keagamaan (Echol, 1992: 546). Sedangkan dalam kamus psikologi, spiritual diartikan sebagai sesuatu mengenai nilai-nilai transcendental (Hanafi, 1995:633). makna spiritual sendiri berhubungan erat dengan eksistensi manusia dalam dunia ini.
Zohar dan Ian Marsal (2000: 3) berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup seseorang dalam makna dan konteks makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk menfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Dengan SQ manusia dapat menggali potensi yang demikian untuk tumbuh dan berubah serta menjalankan lebih lanjut evaluasi potensi yang dimilikinya. Manusia menggunakan SQ untuk menjadi kreatif, serta untuk berhadapan dengan masalah eksistensial yaitu saat seseorang secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan.
SQ menjadikan kita sadar bahwa kita memiliki masalah eksistensial dan membuat kita mampu mengatasinya atau setidak-tidaknya bisa berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi kita semua rasa yang “dalam” menyangkut perjuangan hidup. Kita menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena kita memiliki potensi untuk itu. Pada tingkatan ego murni kita adalah egois, ambisius terhadap materi, serba aku, dan sebagainya. Akan tetapi kita memiliki gambaran-gambaran transpersonal terhadap kebaikan, keindahan, kesempurnaan, pengorbanan dan sebagainya. SQ membantu kita tumbuh melebihi ego terdekat diri kita dan mencapai lapisan yang lebih dalam yang tersembunyi di dalam diri kita ia membantu kita menjalani hidup pada tingkatan makna yang lebih dalam (Nggermanto, 2002:143).

b.      Komponen Kecerdasan Spiritual.
Disiplin merupakan kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban. Nilai-nilai tersebut telah menjadi bagian perilaku dalam kehidupannya. Perilaku itu tercipta melalui proses binaan melalui keluarga, pendidikan dan pengalaman.
Kejujuran adalah memberitahukan, memutuskan sesuatu dengan sebenarnya. SQ menuntut kita untuk benar-benar jujur kepada diri sendiri, benar-benar sadar akan diri kita sendiri. SQ tinggi menuntut integritas pribadi yang paling kuat, menuntut kita agar terbuka menerima pengalaman, agar kita dapat menangkap kembali kemampuan kita untuk memandang kehidupan dan orang lain denga cara pandang baru. Seolah-olah dengan mata seorang anak, ia menuntut kita untuk tidak lagi mencari perlindungan di dalam apa yang kita ketahui dan terus-menerus kita selidiki dan pelajari apa yang tidak kita ketahui.
Kesadaran diri adalah mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu mengembalikan keputusan diri sendiri, mempunyai tolok ukur yang realitis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri meliputi:
·         Kesadaran emosi diri sendiri.
·         Penilaian diri serta teliti: mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri.
·         Percaya diri, keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.

5.      Tes IQ (Inteleligensi Question)
Ukuran inteligensi dinyatakan dalam IQ (Intelligence Quotient). Pada orang dewasa (umur 16 tahun ke atas) IQ dihitung dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan yang terdiri dari berbagai soal (hitungan, kata-kata, gambar-gambar, dan lain-lain) dan menghitung berapa banyaknya pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar dan membandingkannnya dengan sebuah daftar (yang dibuat berdasarkan penelitian yang terpercaya) dan didapatkanlah nilai IQ orang yang bersangkutan (Sarwono, 2004: 78).
Tetapi pada anak-anak cara menghitung IQ adalah dengan menyuruh anak untuk melakukan pekerjaan tertentu dan menjawab pertanyaan tertentu (misalnya menghitung sampai 10 atau 100, menyebut nama-nama hari atau bulan, membuka pintu dan menutupnya kembali, dan lain-lain). Jumlah pekerjaan yang bisa dilakukan anak kemudian dicocokkan dengan membuat daftar untuk mengetahui usia mental (mental age = MA) anak. Makin banyak yang bisa dijawab atau dikerjakan anak, makin tinggi usia mentalnya. Usia mental ini kemudian dibagi dengan usia kalender (Callender age = CA) dan dikalikan 100, maka didapatkan IQ anak.
Jadi rumusnya adalah sebagai berikut: IQ = MA/CA X 100. Misalnya seorang anak mempunyai usia mental 7 tahun sedangkan usia kalendernya 6 tahun, usia IQnya = 7/6 X 100 = 116,6 atau 117. Kalau usia mentalnya hanya 5,5 tahun sedangkan usia kalendernya 6 tahun, maka IQnya = 92. Kalau usia mentalnya tepat 6 tahun, maka anak yang berumur 6 tahun itu mempunyai IQ =100.
Di antara berbagai skala IQ yang diajukan oleh berbagai ahli, yang paling banyak digunakan adalah skala yang dikembangkan oleh Wechsler dan Bellevue yang dimulai dari 0 (nol) sampai dengan 200, dengan bilangan 100 sebagai titik tengah atau rata-rata. (Sarwono, 1986: 72-73). Mereka menyatakan bahwa kalau semua orang di dunia diukur inteligensinya maka akan terdapat orang-orang yang sangat pandai sama banyaknya dengan orang-orang yang terbelakang. Orang-orang yang superior sama banyaknya dengan orang-orang yang tergolong perbatasan (border-line). Sedangkan yang terbanyak adalah orang-orang dari golongan inteligensi rata-rata. Kalau dijabarkan skor IQ dan klasifikasinya adalah sebagai berikut:


Tabel 2.3
Klasifikasi kecerdasan intelektual

IQ
Klasifikasi
% di antara Penduduk Dunia
Bila dihubungkan dg Tingkat Sekolah
Sampai de-ngan 67

68 – 79

80 – 90

91 – 110

111 – 119



120 – 127


128 ke atas

Terbelakang

Perbatasan

Kurang dari rata- rata
Rata-rata

Di atas rata-rata



Superior


Sangat superior

2,2

6,7

16,1

50,0

16,1



6,7


2,2

Tidak dapat mengikuti sekolah biasa
Dapat mempelajari se-suatu tetapi lambat
Dapat menyelesaikan se-kolah dasar
Dapat menyelesaikan sekolah lanjutan
Dapat menyelesaikan sekolah di atas sekolah lanjutan tanpa banyak kesulitan
Dapat menyelesaikan tingkat Universitas tanpa banyak kesulitan
Orang-orang yg sangat pandai: sarjana terke-muka, pemimpin dunia, para jenius dsb.
 (Sarwono, 1996 : 73, 2004 : 79 ).
Pengukuran IQ yang dilakukan di atas diarahkan pada satu teori bahwa ada yang dinamakan faktor umum (General faktor atau G-Faktor) pada inteligensi itu. G. Faktor inilah yang diukur dengan IQ tersebut. Dengan demikian orang yang ber IQ 120, misalnya, akan berpenampilan sama dengan orang- orang lain yang ber IQ 120 juga. Kalau ada perbedaan maka itu disebabkan oleh faktor-faktor lain di luar intelligensi seperti minat, pengalaman, sikap dan sebagainya.
Spearman dalam Sarwono (1986: 107) menyatakan bahwa di samping G-Faktor ada juga S-Faktor (Special Faktor atau faktor khusus) di dalam intelligensi itu sendiri. S. Faktor inilah yang menyebabkan orang-orang yang ber IQ sama, penampilannya berbeda-beda. Sama-sama ber IQ 120, misalnya, orang yang satu lebih terampil dalam bidang angka-angka sehingga ia menjadi ahli matematika, sedangkan orang yang lain lebih fasih dalam kemampuan lisan sehingga ia menjadi ahli bahasa.
Sedangkan Thurstone (1887-1955), mengatakan bahwa faktor umum itu tidak ada. Yang ada hanya sekelompok faktor khusus yang olehnya diberi nama kemampuan mental primer (Primary Menthal Abilities) yang terdiri dari 7 faktor yaitu: pengertian lisan (verbal comprehension), kemampuan angka-angka (numerical ability), penglihatan keruangan (spatial visualization), kemampuan penginderaan (perceptual ability), ingatan (memory), penalaran (reasoning) dan kelancaran kata-kata (word fluency) (Sarwono, 1986: 106).
Selanjutnya Thomson (1881-1955), kurang sependapat, bahkan juga tidak setuju dengan faktor-faktor yang disebutkan oleh Thurstone itu. Ia berpendapat bahwa faktor umum dalam intelligensi tidak ada, tetapi juga faktor khusus yang berbeda-beda dari orang ke orang dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Faktor-faktor itu sedemikian banyaknya, tetapi yang berfungsi pada suatu saat tertentu hanyalah sebagian kecil saja dari keseluruhan faktor yang ada (Sarwono, 1986 :107).
Di antara alat ukur kecakapan dasar (inteligensi) yang paling banyak dikenal dan digunakan, juga di Indonesia, ialah Test Binet Simon (verbal test) yang dikembangkan sejak tahun 1905 di Perancis dan direvisi serta dikembangkan di Stanford (USA) mulai tahun 1916 ( Makmun, 59). Test Binet Simon dipersiapkan untuk orang yang berusia mulai 3 sampai 15 tahun. Perhitungan IQ untuk orang yang berusia lebih dari 15 tahun, CA-nya diperhitungkan menurut tingkat usia 15 tahun ini, dengan asumsi bahwa perkembangan kecerdasan mencapai kemantapannya (mature) pada tingkat usia tersebut (Makmun, 60).
Selanjutnya sejumlah ahli pendidikan, seperti Charles Spearman, Thurston, Guilford dan Gardner, mengembangkan konsep kecerdasan baru yang dikenal dengan multiple intelligence, yakni teori faktor jamak, dimana kecerdasan manusia dianggap memiliki tujuh dimensi yang semi otonom, masing-masing adalah (i) linguistik, (ii) estetis-musik, (iii) matematis-logis, (iv) visual-spasial, (v) kinestetik fisik, (vi) sosial-interpersonal dan (vii) intra personal. Disebut dimensi-dimensi yang semi otonom, karena orang yang cerdas dalam satu dimensi, misalnya matematika, tidak selalu cerdas pada dimensi lainnya, misalnya estetik-musik. Teori ini banyak dirujuk sejumlah pihak karena dianggap bisa memberikan deteksi dini terhadap bakat, potensi dan kecenderungan anak (Suharsono, 2001: 82).
 Untuk mendeteksi dasar khusus (aptitudes, bakat khusus) telah pula ada berbagai perangkat alat ukurnya, antara lain: SRA-PMA (Science Research Association-Primary Mental Abilities), DAT (Differential Aptitudes Tests), FACT (Flanagan Aptitude Classification Tests). Tes ini dapat digunakan untuk mengungkapkan, antara lain:
V         = Verbal comprehension (pemahaman kata)
W        = Word fluency (Kefasihan mengungkapkan kata)
N         = Number (pemahaman bilangan)
S          = Space (tilikan ruang)
M         = Associative memory (daya mengingat secara asosiatif)
I or R   = Induction or General Reasoning (berpikir logis)
Mo       = Motor (Kecakapan gerak) (Makmun, 2004: 60).
Kalau diperhatikan secara seksama teori multiple intelligence tersebut, sebenarnya sebagian besarnya telah diimplementasikan di dalam mata pelajaran di sekolah. Anak-anak kita yang telah sekolah, baik ditingkat dasar maupun lanjutan, sebenarnya sedang dalam proses meningkatkan kecerdasan dalam pengertian tersebut. Tetapi dalam proses pendidikan tersebut apakah anak kita cukup cerdas, sangat cerdas, atau kurang cerdas? Pertanyaan seperti ini selalu menjadi konsern dan kepedulian orang tua. Karena dengan mengetahui tingkat kecerdasan tersebut, orang tua bisa mengambil langkah-langkah yang sesuai, tentunya demi masa depan anaknya.

6.      Indikator Kecerdasan (Intelligen)
Kecerdasan, (kecakapan) atau inteligence bukanlah substansi (suatu benda) atau kekuatan, yang terletak dalam bagian tertentu dari tubuh seseorang, perilaku intelegen atau cerdas ada kaitannya dengan konsep intelegensi. Kecerdasan adalah penyifatan kualifikasi perilaku individu yang menunjukkan pernyataan “intelect put to use” (intelek yang digunakan) (Makmun, 2004:53).
Individu memperoleh kecakapan tertentu bukan karena kelahirannya semata-mata, melainkan juga karena perkembangan dan pengalamannya. Memang ia dianugerahi potensi dasar atau kapasitas (capacity) untuk berperilaku intelligen, sesungguhnya kecakapan individu atau yang sering juga disebut abilitas (ability) itu dapat dibedakan ke dalam dua kategori, 1) kecakapan nyata atau aktual (actual ability), yang menunjukkan kepada aspek kecakapan yang segera dapat didemontrasikan dan diuji sekarang juga karena merupakan hasil, atau belajar yang bersangkutan dengan cara, bahan, dan dalam hal tertentu yang telah dijalaninya (achievement, prestasi); 2) kecakapan potensial (potensial ability), yang menunjukkan kepada aspek kecakapan yang masih terkandung dalam diri yang bersangkutan yang diperolehnya secara herediter (pembawaan kelahirannya), yang mungkin dapat merupakan: abilitas dasar umum (general intelligence), dan abilitas dasar khusus dalam bidang tertentu (bakat/aptitudes).
Kecerdasan atau intelegensi dan bakat (kecakapan potensial) hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi indikator-indikator yang dimanifestasikan dalam kualifikasi perilaku. Witherington (1952) dalam (Makmun, 2004: 54), menunjukkan manifestasi dari indikator-indikator perilaku intelegen antara lain: 1) kemudahan dalam menggunakan bilangan (facility in the use of the numbers); 2) efisiensi dalam bahasa (language efficiency); 3) kecepatan dalam pengamatan (speed of perception ); 4)kemudahan dalam mengingat (facility in memorizing ); 5)kemudahan dalam memahami hubungan (facility in comprehending relationships ); 6) imaginasi (imagination).
Dengan mengetahui indikator-indikator perilaku intelligen, para ahli telah mengembangkan alat ukurnya yang dibakukan (standardized test) baik untuk kecerdasan dasar umum (general intelegence test) maupun kecakapan dasar khusus (aptitude tests). Berdasarkan data atau informasi hasil pengukuran, para ahli telah mengadakan pengelompokan, yang diperlukan bagi proses seleksi atau penempatan orang-orang, menurut intelegensia perilaku. Dalam term kecakapan dasar umum (general intelegence), orang-orang yang berasal dari atau berada lama dalam populasi produk dapat dibagi ke dalam kategori: (a) superior atau genius[1] (b) normal[2] (c) sub normal atau mentally deffective atau mentally retarded[3].
Dalam term kecakapan dasar khusus (aptitudes, group faktors) orang-orang dapat dikelompokkan ke dalam kategori yang memiliki kemampuan dasar khusus dalam bidang: (a) bilangan (numirical abilities); (b) bahasa (verbal abilities) (c) tilikan ruang (spatial abilities); (d) tilikan hubungan sosial (social abilities); (e) gerak motoris (motorical abilities) (Makmun, 2004: 55).
Kecerdasan atau intelegensi dan bakat (kecakapan potensial) hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi indikator-indikator yang dimanifestasikan dalam kualifikasi perilaku. Manifestasi dari indikator-indikator perilaku intelegen antara lain: 1) kemudahan dalam menggunakan bilangan, 2) efisiensi dalam bahasa, 3) kecepatan dalam pengamatan, 4) kemudahan dalam mengingat, 5) kemudahan dalam memahami hubungan, 6) imaginasi.
Dalam term kecakapan dasar umum (general intelegence), orang-orang yang berasal dari atau berada lama dalam populasi produk dapat dibagi ke dalam kategori : (a) superior atau genius (b) normal (c) sub normal atau mentally deffective atau mentally retarded.
Sedangkan dalam term kecakapan dasar khusus (aptitudes, group faktors) orang-orang dapat dikelompokkan ke dalam kategori yang memiliki kemampuan dasar khusus dalam bidang: (a) bilangan, (b) bahasa, (c) tilikan ruang, (d) tilikan hubungan social, (e) gerak motoris.
Dengan demikian indikator-indikator perilaku intelligen adalah, orang yang mempunyai kemampuan; kemudahan dalam menggunakan bilangan, efisien dalam berbahasa, kecepatan dalam pengamatan, kemudahan dalam mengingat, kemudahan dalam memahami hubungan, dan memiliki imaginasi positif.

D.    Penelitian Terkait
Telaah atas penelitian, tentang pengaruh motivasi belajar dan kecerdasan intelektual terhadap prestasi belajar siswa Madrasah Tsanawiyah, pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), secara umum memiliki kesamaan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Namun secara spesifik dan fokus masalah, ada perbedaan. Beberapa peneliti dimaksud:
Muchtarom (2005) menulis tesis dengan judul “Pengaruh Perhatian Orang Tua dan Latar Belakang Pendidikan Siswa terhadap Prestasi Belajar Agama Siswa SMKN Jepara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hubungan antara latar belakang pendidikan siswa dengan perhatian orang tua, dan interaksi antar faktor-faktor tersebut terhadap pencapaian prestasi belajar PAI siswa. hasil penelitian itu menunjukkan bahwa: 1) tidak terdapat perbedaan antara prestasi belajar PAI yang cukup signifikan, 2) tidak terdapat perbedaan antara siswa yang mendapat perhatian tinggi dan perhatian rendah dari orang tua mereka. 3) tidak terdapat pengaruh yang interaktif antara perhatian orang tua baik tinggi maupun rendah dan latar belakang pendidikan baik MTs maupun SMP terhadap prestasi belajar, 4) terdapat perbedaan antara prestasi belajar PAI yang cukup signifikan antara yang berlatar belakang pendidikan MTs dan SMP.
Astuti (2007) dengan judul “Perbedaan motivasi berprestasi dan Hasil Belajar Fisika Dengan menggunakan Model Pembelajaran Induktif dan Model Pembelajaran Konvensional Siswa SMP Negeri 24 Bandar Lampung” dalam tesis ini menyimpulkan adanya hubungan yang positif dan cukup erat serta signifikan antara motivasi belajar dengan hasil belajar pada pembelajaran induktif.
Berdasar telaah penelitian Muchtarom dan Astuti, maka dalam penelitian ini akan ditampilkan kajian tentang hubungan antara motivasi belajar dan kecerdasan intelektual siswa terhadap prestasi belajar PAI siswa. Karena variabel-variabel tersebut, menurut peneliti belum tersentuh sama sekali. Padahal variabel kecerdasan intelektual siswa, sangat penting dan belum pernah ada yang meneliti, terutama pada MTs tempat penulis melakukan penelitian.

E.     Kerangka Pemikiran
1.      Hubungan Motivasi Belajar dengan Prestasi Belajar Agama Islam.
Melakukan perbuatan belajar, secara relatif, tidak semudah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sudah dilakukan secara rutin, seperti makan, tersenyum, tidur dan lain-lain. Oleh karena itu motivasi belajar sangat dibutuhkan dalam proses belajar dan pembelajaran. Motivasi belajar tidak sama kuatnya pada setiap siswa, dan motivasi dalam diri seorang siswa tidak tetap, kadang-kadang kuat, dan kadang-kadang lemah, bahkan suatu saat motivasi belajar dapat hilang sama sekali.
Dalam kenyataannya, motivasi belajar ini (motivasi Intrinsik) tidak selalu timbul dalam diri siswa. Sebagian siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi, tetapi sebagian lain motivasinya rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Bagi siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar. Bila hal ini tidak diperhatikan, tidak dibantu, maka siswa akan gagal dalam belajar. Oleh karena itu, guru sebagai orang yang membelajarkan siswa, harus peduli dengan masalah motivasi ini (motivasi ekstrinsik). Guru bukanlah pengajar yang sudah lega bila semua pokok bahasan dari suatu mata pelajaran sudah tersampaikan tepat pada waktunya. Dan tidak hanya berbangga hati bila ia telah menyampaikan materi pelajaran dengan bebagai metoda pembelajaran yang canggih. Disamping itu semua, yang tidak kalah pentingnya, adalah harus mau dan mampu memotivasi siswa yang rendah motivasi belajarnya, dan meningkatkan motivasi siswa yang sudah mempunyai motivasi belajar. Kepedulian guru terhadap masalah motivasi belajar siswa bukanlah hal yang mengada-ada, melainkan sebagai tugas yang melekat dalam diri guru. Asumsinya sekali guru dapat membangun memotivasi siswa terhadap pelajaran yang diajarkan, diharapkan seterusnya siswa akan selalu meminta mata pelajaran tersebut.
Dengan demikian, dapat ditarik suatu pmahaman bahwa diasumsikan semakin tinggi motivasi belajar anak, baik motivasi itu bersifat (intrinsik ) dari dalam ataupun karena dorongan dari luar (ekstrinsik), maka semakin tinggi pula prestasi belajar agama yang diraih siswa. Demikian sebaliknya, semakin rendah motivasi belajar anak, baik motivasi itu bersifat (intrinsik ) dari dalam ataupun karena dorongan dari lauar (ekstrinsik ), maka semakin rendah pula prestasi belajar agama yang diraih siswa.


2.      Hubungan Kecerdasan Intelektual dengan Prestasi Belajar Agama Islam
Kecerdasan adalah penyifatan kualifikasi perilaku individu yang menunjukkan pernyataan “intelect put to use” (intelek yang digunakan). Individu memperoleh kecakapan tertentu bukan karena kelahirannya semata-mata, melainkan juga karena perkembangan dan pengalamannya. Memang ia dianugerahi potensi dasar atau kapasitas (capacity) untuk berperilaku intelegen, sesungguhnya kecakapan individu atau yang sering juga disebut abilitas (ability) itu dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu; kecakapan nyata atau aktual (actual ability), yang menunjukkan kepada aspek kecakapan yang segera dapat didemontrasikan dan diuji sekarang juga karena merupakan hasil, atau belajar yang bersangkutan dengan cara, bahan, dan dalam hal tertentu yang telah dijalaninya (achievement, prestasi). Dan kecakapan potensial (potensial ability), yang menunjukkan kepada aspek kecakapan yang masih terkandung dalam diri yang bersangkutan yang diperolehnya secara heredite (pembawaan kelahirannya), yang dapat merupakan: Abilitas dasar umum (general intelligence), dan abilitas dasar khusus dalam bidang tertentu (bakat, aptitudes). Sesungguhnya kecerdasan intelektual ada pada setiap orang, hanya saja tinggi rendah atau kuat lemahnya kecerdasan dari masing-masing orang itu berbeda-beda. Perbedaan tingkat kecerdasan para siswa (Orang) dapat di klasifikasikan sebagai berikut.
IQ 130 – ke atas          : Sangat unggul
IQ 120 – 129               : Unggul
IQ 110 – 119               : Cakap normal
IQ 90 – 109                 : Rata-rata
IQ 80 – 89                   : Lamban normal
IQ 70 – 79                   : Batas dungu
IQ 70 – ke bawah       : Cacat mental
Mengingat siswa yang belajar di Madrasah rata-rata memiliki IQ sedang maka, dari penjelasan tersebut dapat diasumsikan bahwa, siswa yang memiliki kemampuan IQ tinggi akan mampu meraih prestasi belajar yang lebih tinggi dari pada siswa yang hanya memiliki kemampuan IQ sedang bahkan rendah.
Dengan demikian, diasumsikan semakin tinggi kecerdasan intelektual siswa, maka semakin tinggi pula prestasi belajar agama siswa, demikian sebaliknya, semakin rendah kecerdasan intelektual siswa, maka semakin rendah pula prestasi belajar agama yang diraih siswa.

3.      Hubungan Motivasi Belajar dan Kecerdasan Intelektual secara Bersama- sama (Simultan) dengan Prestasi Belajar

Salah satu rahasia psikologi yang telah menjadi makanan umum adalah ketidakmampuan relatif nilai-nilai IQ, atau nilai SAT (School Aptitude Test, tes bakat), kendati daya tarik test tersebut amat besar, untuk meramalkan dengan tepat siapa-siapa yang akan berhasil. Yang jelas ada, suatu kaitan antara IQ dan lingkungan tempat tinggal bagi kelompok-kelompok besar secara keseluruhan.
Ada banyak perkecualian terhadap pemikiran yang menyatakan bahwa IQ meramalkan kesuksesan banyak (atau lebih banyak) perkecualian daripada kasus yang cocok dengan pemikiran itu. Setinggi-tingginya, IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup (termasuk prestasi belajar), maka yang 80 persen diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.
Anak yang mempunyai IQ (Inteligensi Question) tinggi mungkin gagal dalam pelajaran karena kekurangan/rendahnya motivasi. Anak yang gagal, tak begitu saja dapat disalahkan. Hal ini bukan hanya faktor guru saja yang tak berhasil memberi motivasi yang membangkitkan kegiatan pada anak, akan tetapi IQ anak itu sendiri juga mempunyai bagian penting dalam penentuan tinggi rendahnya motivasi.
Disamping itu, siswa yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi atau dapat disebut sebagai anak dalam golongan gilted child atau talented chil, jika didalam proses pembelajaran, kemampuan yang dimilikinya tidak terakomodasi secara layak dan tepat, maka anak tersebut akan mengalami kesulitan belajar yang pada akhirnya diduga tidak akan mampu mencapai prestasi belajar dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jika seorang siswa memiliki kecerdasan yang sedang, akan tetapi dia mendapatkan pendidikan dan bimbingan dari seorang guru yang tepat, dan dia mempunyai motivasi belajar yang tinggi, dia mendapatkan fasilitas yang memadai, maka siswa tersebut diasumsikan akan mampu meraih prestasi yang baik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa semua faktor yang ada, akan mampu berfungsi sebagaimana seharusnya, jika semua faktor tersebut berfungsi secara simultan dan bersama-sama dalam bekerja.

F.     Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berfikir tersebut diatas, maka hipotesis yang penulis ajukan adalah:
1.      Terdapat hubungan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar PAI.
2.      Terdapat hubungan antara kecerdasan intelektual dengan prestasi belajar PAI.
3.      Terdapat hubungan antara motivasi belajar dan kecerdasan inteletual siswa secara bersama-sama (simultan) dengan prestasi belajar PAI.


[1] Superior atau genius (mereka yang dapat bertindak jauh lebih cepat dan dengan kemudahan dibandingkan dengan anggota kelompok lainnya); Pria ber IQ tinggi dicirikan-tak mengherankan dengan serangkaian luas kemampuan dan minat intelektual. Penuh ambisi dan produktif, dapat diramalkan dan tekun dan tidak dirisaukan oleh urusan-urusan tentang dirinya sendiri. Cenderung bersikap kritis dan meremehkan, pilih-pilih dan malu-malu, kurang menikmati seksualitas dan pengalaman sensual, kurang ekspresif dan menjaga jarak, dan secara emosional membosankan dan dingin (Goleman, 2000: 60). Wanita yang ber-IQ tinggi mempunyai keyakinan intelektual yang tinggi, lancar mengungkapkan gagasan, menghargai masalah-masalah intelelektual, dan mempunyai minat intelektual dan estetika yang amat luas. Mereka juga cenderung mawas diri, mudah cemas, gelisah dan merasa bersalah dan ragu-ragu untuk mengungkapkan kemarahan secara terbuka (meskipun melakukannya secara tidak langsung) (Goleman: 61).
[2] Normal (mereka yang rata-rata atau pada umumnya dapat bertindak biasa dengan kecepatan, ketepatan, dan kemudahannya seperti tampak pada sebagian besar kelompoknya menurut batasan- batasan waktu dan tingkat kesukaran yang telah ditetapkan );
[3] Sub-normal atau mentally defective atau mentally retarded (mereka yang bertindak jauh lebih lambat kecepatannya, dan jauh lebih banyak ketidak tepatannya dan kesulitannya, dibandingkan dengan anggota kelompoknya yang lain ) yang secara lebih teliti lagi dibedakan ke dalam kategori orang- orang 1) debil (moron) yang masih mendekati orang normal yang berusia 9-10 tahun; 2) imbecile mendekati orang normal sekitar usia 5-6 tahun; 3) idiot mendekati orang normal berusia di bawah 4 tahun.

Tidak ada komentar: