BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Pendidikan merupakan faktor utama
dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk
baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Pendidikan sebagai
upaya memanusiakan manusia pada dasarnya adalah upaya mengembangkan
kemampuan/potensi individu sehingga bisa hidup optimal baik sebagai pribadi
maupun sebagai anggota masyarakat serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial
sebagai pedoman hidupnya. John Dewey dalam Jalaludin (2001: 65), menyatakan bahwa pendidikan sebagai salah
satu kebutuhan, fungsi sosial, sebagai bimbingan, sarana pertumbuhan yang
mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.
Pendidikan adalah proses budaya untuk meningkatkan harkat
dan martabat manusia, melalui proses yang panjang dan berlangsung sepanjang
hayat. Pendidikan terjadi melalui interaksi insani, tanpa batasan ruang dan
waktu.pendidikan tidak dimulai dan diakhiri di sekolah (Sudjana, 2005: 2).
Pendidikan dimulai dari lingkungan keluarga, dilanjutkan dan ditempa dalam
lingkungan sekolah, diperkaya dalam lingkungan masyarakat dan hasilo-hasilnya
digunakan dalam membangun kehidupan pribadi, agama, keluarga, masyarakat,
bangsa dan negara.
Menyadari hal tersebut, pemerintah sangat serius
menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik
diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu
menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Reformasi
pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu
upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber
daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui
reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan
jaminan bagi perwujudan hak-hak asasi manusia untuk mengembangkan seluruh
potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Sementara itu, lembaga pendidikan
diharapkan mampu beradaptasi terhadap globalisasi, perkembangan teknologi,
industrialisasi dan asianisasi serta informasi yang semakin canggih. Hal ini
dimaksudkan agar lulusan dari lembaga pendidikan dapat menjadi pemimpin,
manajer, inovator, operator yang efektif dan mampu menyesuaikan diri terhadap
perubahan. Dengan demikian, sistem pendidikan di masa depan perlu dikembangkan
agar dapat menjadi lebih responsif terhadap tuntutan masyarakat dan tantangan
yang akan dihadapi di masa mendatang.
Implikasi dari globalisasi
antara lain; keterbukaan, demokratisasi, sikap individualistis, orientasi pada
materialistis dan persaingan dalam konteks kerjasama. Imbas industrialisasi
adalah rasionalitas, didominasi kemampuan intelektual daripada kemampuan
emosional, serta sekularisme. Efek asianisasi adalah munculnya percaya diri
negara-negara di Benua Asia (termasuk Indonesia), dan tampaknya pengaruh budaya
Asia ke dunia Barat. Sistem informasi canggih berdampak pada derasnya
informasi, kemampuan intelektual dan kemampuan emosional berjalan seimbang,
bahasa asing (terutama Inggris) menjadi kebutuhan pokok, kemandirian dalam
memperoleh pengetahuan, perubahan drastis lembaga-lembaga pendidikan.
Oleh karena itu, untuk
mewujudkan masyarakat madani dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang lebih demokratis, transparan, dan menujunjung tinggi hak asasi manusia
hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Disamping
itu, untuk mengembangkan sumber daya manusia yang memilki rasa percaya diri
untuk bersanding dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia, diperlukan
pendidikan yang dapat mengembangkan potensi mayarakat, mampu menumbuhkan
kemauan, serta membangkitkan semangat generasi bangsa untuk menggali berbagai
potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan
masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan demikianlah yang mampu
menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas serta memiliki visi,
transparansi dan pandangan jauh ke depan; yang tidak mengedepankan diri dan kelompoknya,
tetapi senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa dan negara dalam berbagai
aspek kehidupan (Mulyasa, 2005: 4).
Menghadapi hal tersebut, perlu
dilakukan penataan sistem pendidikan secara menyeluruh, terutama berkaitan
dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan kebutuhan masyarakat dan
dunia kerja. Pendidikan juga harus lebih mengedepankan kreativitas (creativity
quotient) untuk menumbuhkan kemandirian dan aspek kewirausahaan dalam
pribadi peserta didik.
Sejalan dengan pemikiran di atas,
berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan telah dilakukan oleh
pemerintah dan lembaga pendidikan dalam pengembangan dan pembinaan untuk
mendukung pembelajaran yang efektif seperti pelatihan manajemen kelas,
manajemen sekolah, pengadaan dan penerimaan buku serta sarana belajar. Upaya
lain yang sedang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah
pembinaan mutu pendidikan. Pembinaan mutu pendidikan tersebut dilaksanakan
dengan menggunakan prinsip whole school development, yang memandang
sekolah sebagai suatu keutuhan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan
ditekankan pada semua aspek dan komponen yang menentukan mutu pendidikan di
sekolah (Mulyasa, 2005: 10).
Komponen-komponen yang
diperhatikan dalam memperbaiki mutu pendidikan meliputi kegiatan pembelajaran,
manajemen, buku dan sarana belajar, fisik dan penampilan sekolah, serta
partisipasi masyarakat, yang semuanya perlu mendapat perhatian yang optimal. Kelima komponen tersebut merupakan faktor
penting yang berpengaruh terhadap proses pendidikan. Suatu proses pendidikan
akan selalu berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan yang didalamnya
mencakup lingkungan fisik, sekolah dan sosial masyarakat. Proses pendidikan yang didukung dengan adanya
sarana dan prasarana serta fasilitas memadai pada gilirannya dapat mewujudkan
pencapaian hasil belajar (Sukmadinata, 2003: 5).
Tinggi rendahnya hasil belajar
yang diperoleh dapat menggambarkan sedikitnya dua hal, diantaranya tinggi
rendahnya kemampuan siswa dan berhasil tidaknya seorang guru melakukan proses
pembelajaran. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang
paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan
banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa
sebagai anak didik.
Pencapaian hasil belajar siswa
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor dari dalam diri siswa
(internal) maupun faktor dari luar (eksternal). Pertama, faktor yang ada pada
diri individu itu sendiri atau disebut juga dengan faktor internal. Adanya
pengaruh dari dalam diri siswa, merupakan hal yang wajar. Karena, akibat dari
perbuatan belajar adalah perubahan tingkahlaku individu yang diniati (dilandasi
motivasi) dan disadarinya. Seorang siswa harus merasakan adanya suatu kebutuhan
untuk belajar dan berprestasi. Ia harus berusaha mengerahkan segala daya dan
upaya untuk dapat mencapainya.
Faktor yang datang dari dalam
individu itu terdiri dari faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor
fisiologis meliputi kondisi fisik dan kondisi panca indera. Sedangkan faktor
psikologis meliputi intelegensi/ kecerdasan, perhatian, minat, bakat, sikap dan
kebiasaan belajar, cara belajar dan motivasi belajar (Kartono, 1985: 1-5).
Arifin (1990: 3), berpendapat bahwa, ”dalam Evaluasi Intruksional prestasi
belajar bukan sesuatu yang berdiri sendiri”. Artinya prestasi belajar merupakan
hasil akumulasi dari berbagai pengaruh yang mempengaruhi siswa. Pengaruh
tersebut bisa datang dari luar (faktor eksternal) dan bisa datang dari dalam
diri siswa itu sendiri (faktor internal).
Faktor dari luar meliputi;
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sedangkan
faktor dari dalam diri siswa meliputi; kecerdasan, minat, bakat (bekal
kemampuan, input), motif, dan kesehatan serta cara belajar (Arifin, 1990: 3). Winkel
(1983: 47) menyatakan bahwa, ”prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh faktor
kecerdasan, motivasi belajar, minat, sikap, perasaan, keadaan sosial ekonomi,
dan keadaan fisik serta psikis siswa”.
Klausmier dan Goodwin (1971:
13) berpendapat bahwa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa, yakni;
karakteristik siswa, tenaga pengajar, materi yang diajarkan, fasilitas
pengajaran, kondisi fisik sekolah, lingkungan sekolah, kurikulum dan tujuan
pengajaran. Sedangkan Purwanto (2000: 106) membagi faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar menjadi dua faktor. Faktor individual meliputi: kematangan,
kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi, dan faktor kedua meliputi:
keluarga, guru dan cara mengajarnya, media dan alat atau sarana yang menunjang
proses pembelajaran.
Masing-masing faktor tersebut
memberi kontribusi yang berbeda-beda terhadap kemajuan hasil belajar siswa. Diantaranya
adanya motivasi belajar siswa, baik motivasi tersebut datang dari luar
(ekstrinsik) maupun motivasi yang datang dari dalam (intrinsik). Seseorang akan
melakukan suatu perbuatan jika ada motivasi yang mendorong untuk melakukannya. Demikian pula untuk belajar diperlukan
motivasi. Hal ini berkaitan dengan hasil belajar yang diperoleh siswa. Semakin
tinggi motivasi yang diberikan, maka hasil belajar yang diharapkan akan semakin
baik.
Dengan prestasi belajar yang
optimal, lembaga pendidikan telah berpartisipasi dalam mensukseskan program
pemerintah, yakni mencerdaskan bangsa. Lembaga pendidikan yang dimaksud
termasuk di dalamnya adalah madrasah, baik tingkat dasar maupun menengah,
negeri dan swasta. Lembaga pendidikan ini bernaung dibawah Departemen Agama
Republik Indonesia (Depag RI). Madrasah tingkat dasar yakni madrasah
Ibtidaiyah, sedangkan madrasah tingkat menengah adalah Madrasah Tsanawiyah dan
Madrasah Aliyah.
Adalah MTs Sholihiyyah sebagai
lembaga pendidikan di bawah naungan Depag, selalu berupaya mewujudkan tuntutan
perkembangan dan peningkatan kualitas/mutu pendidikan bagi peserta didiknya.
Namun yang terjadi dilapangan tidak seperti yang diharapkan. Hal ini dapat
dilihat dari animo masyarakat yang menyekolahkan anaknya di madrasah tersebut
semakin menurun dari tahun ke tahun. Disamping itu, data statistik kelulusan
dan kenaikan kelas siswa dari tahun ke tahun yang mengalami penurunan. Tidak hanya mata pelajaran umum, mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) juga mengalami hal serupa. Padahal telah
diketahui, bahwa mata pelajaran PAI merupakan mata pelajaran inti, yang
mencerminkan identitas dari madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam.
Melalui pengamatan awal yang
dilakukan peneliti, pada MTs Sholihiyyah Mrangen Demak, bahwa prestasi belajar
PAI siswa masih rendah dibanding dengan Standar Ketuntasan Belajar Minimal
(SKBM) yang ditetapkan. Rendahnya
prestasi belajar PAI siswa disebabkan oleh adanya motivasi belajar siswa yang
rendah. Disamping itu, faktor individual siswa yakni kecerdasan intelektual
siswa berkisar dibawah rata-rata juga ambil bagian dalam menentukan tinggi
rendahnya prestasi belajar. Motivasi belajar yang rendah dapat dilihat dari
keengganan siswa mengikuti proses pembelajaran dengan maksimal, seperti sering
bolos, malas mengerjakan pekerjaan rumah, dan tingginya siswa yang absen/tidak
masuk mengikuti pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas,
penulis merasa terpanggil untuk melakukan penelitian di MTs Sholihiyyah
Kalitengah Mranggen, yang difokuskan pada prestasi belajar PAI yang dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu: 1) faktor motivasi belajar dan 2) faktor kecerdasan
intelektual, dengan judul “Pengaruh Motivasi Belajar dan Kecerdasan Intelektual
terhadap Prestasi belajar PAI Siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Keling Kabupaten
Jepara Tahun Pelajaran 2009/2010”
B. Rumusan Masalah
Permasalahan utama dalam
penelitian ini adalah :
1. Adakah hubungan yang
signifikan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar PAI?
2. Adakah hubungan yang
signifikan antara kecerdasan Intelektual dengan prestasi belajar PAI?
3. Adakah hubungan
antara motivasi belajar dan kecerdasan Intelektual secara bersama-sama
(simultan) dengan prestasi belajar PAI?
C. Tujuan dan Manfaat
Penelitian
Secara umum penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan kejelasan tentang besarnya pengaruh motivasi
belajar dan kecerdasan Intelektual siswa dengan prestasi belajar PAI siswa MTs
Sholihiyyah Kalitengah Mranggen tahun pelajaran 2009/2010.
Sesuai dengan permasalahan
yang penulis rumuskan, hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi
tentang motivasi belajar para siswa, dan kecerdasan intelektual para siswa, hubungan
motivasi belajar dengan prestasi belajar pendidikan agama Islam siswa MTs
Sholihiyyah Kalitengah Mranggen, hubungan kecerdasan intelektual dengan prestasi
belajar pendidikan agama Islam siswa MTs Sholihiyyah Kalitengah Mranggen.
Berdasarkan informasi tersebut
kemudian dijadikan bahan kajian ilmiah untuk mengetahui; faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi prestasi belajar pendidikan agama Islam siswa, dan
faktor-faktor apa saja yang dapat menghambat prestasi belajar pendidikan agama
Islam siswa. Jika ternyata informasi tersebut menyatakan bahwa terjadi hubungan
yang signifikan antara motivasi belajar dengan prestasi belajar PAI maka, hasil
penelitian ini akan disampaikan kepada para guru pendidikan agama Islam
terutama guru agama Islam (GPAI) MTs Sholihiyyah Kalitengah Mranggen untuk
dijadikan masukan dan introspeksi diri, dalam memperlakukan para siswa
berkenaan dengan pemberian motivasi kepada mereka, dan apakah selama ini telah
memberikan motivasi belajar yang cukup dan benar kepada anak-anak didiknya
dalam usaha meningkatkan prestasi belajar pendidikan agama Islam.
Oleh Sebab itu, prestasi
belajar pendidikan agama Islam tidak dapat dicapai secara maksimal bila
motivasi belajar para siswa rendah, prestasi belajar merupakan akumulasi dari
berbagai pengaruh yang melingkupinya, termasuk didalamnya motivasi yang tinggi
dari para peserta didik baik yang tumbuh dari dalam diri siswa sendiri (intrinsik)
maupun yang tumbuh karena dorongan orang lain (ekstrinsik) diantaranya
dororngan dari para guru.
Selanjutnya, jika ternyata
dari informasi tersebut menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
kecerdasan intelektual dengan prestasi belajar pendidikan agama Islam siswa,
maka hasil penelitian ini akan disampaikan kepada pihak madrasah yang menjadi
obyek penelitian untuk dijadikan bahan telaah ilmiah dan masukan dalam rangka
meningkatkan prestasi belajar PAI siswa.
Jika ternyata siswa
berkecerdasan intelektual tinggi memilki prestasi belajar pendidikan agama
islam lebih baik, maka sebaiknya guru agama yang bersangkutan memberi tambahan
(les dan atau pesantren) kepada siswa yang berkecerdasan intelektual rendah.
Hal ini dimaksudkan agar antara siswa yang berkecerdasan intelektual tinggi dan
berkecerdasan intelektual rendah memiliki prestasi belajar pendidikan agama Islam
yang berimbang. Disamping hal-hal tersebut, penelitian ini diharapkan mampu
menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pendidikan.
D. Sistematika
Penulisan
Hasil penelitian ini akan
dituangkan dalam bentuk penulisan yang tersusun dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab pertama merupakan
pendahuluan sebagai pengantar pada bab-bab berikutnya, terdiri dari latar
belakang masalah mengapa penelitian dilakukan. Dilanjutkan dengan rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua ini kerangka teori, membahas
teori yang berkaitan dengan, prestasi belajar, Motivasi belajar, kecerdasan (intelegensi),
penelitian terkait, kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian.
Bab ketiga metode penelitian,
pada bab ini membicarakan tentang: Disain dan Metode penelitian, subyek
penelitian, variabel dan intrumen, dan teknik analisis data.
Pada Bab empat hasil
penelitian, penulis akan mendeskripsikan data, uji persyaratan, uji hipotesis
dan pembahasan.
Bab kelima penutup, berisi
tentang kesimpulan, dan saran-saran.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam
1. Belajar
a. Pengertian
Belajar dapat diartikan sebagai
suatu proses aktif untuk menuju satu arah tertentu yang dapat meningkatkan
perbuatan, kemampuan atau pengertian baru. Menurut rumusan Gathrie
and Brown (1950: 145);….“learning is always a case of improving same
perfornce or gaining same new ability or understanding”. Lebih lanjut
Ernest R. Hilgard (1968: 5), merinci rumusan belajar sebagai berikut; ”learning
is the process by which an activity originates or is changes through training
procedures wheter in the laboratory or in the natural environment distinguished
from changes by faktors not attributabel to training “.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat ditarik suatu
pengertian bahwa belajar adalah sesuatu yang dapat meningkatkan perbuatan,
kemampuan, atau pengertian baru. Belajar juga dapat diartikan suatu proses yang
dapat menghasilkan suatu aktifitas baru melalui pelatihan dilaboratorium maupun
dilingkungan alam, yang hasil tersebut berbeda dengan hasil yang diperoleh
tanpa adanya proses latihan. Tokoh-tokoh pendidikan lain yang memaknai belajar
sebagai proses perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman,
antara lain: Di Vesta dan Thompson, Gagne dan Berliner (1970: 256). Belajar
adalah suatu proses latihan menuju perubahan yang akan menghasilkan sesuatu
yang dapat diukur dan dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan, karena
proses latihan tersebut telah melalui tahapan-tahapan sistematis yang telah
dipersiapkan sebelumnya melalui uji coba secara ilmiah.
Perubahan dalam rumusan pengertian belajar tersebut dapat
menyangkut semua aspek kepribadian individu, yang didalamnya menyangkut
penguasaan, pemahaman, sikap, nilai, motivasi, kebiasaan, minat, apresiasi dan
sebagainya. Demikian juga dengan pengalaman; ini berkenaan dengan segala bentuk
membaca, melihat, mendengar, merasakan, melakukan, menghayati, membayangkan,
merencanakan, melaksanakan, menilai, mencoba, menganalisis, dan sebagainya (Sukmadinata,
2003: 156).
Pengertian belajar yang berbeda
datang dari tokoh aliran psikologi kognitif. Bagi mereka belajar merupakan
proses perubahan yang bersifat internal, dan tidak dapat diamati secara
langsung, yang berupa suatu perubahan kemampuan individu dalam merespon
terhadap situasi tertentu. Perubahan pada perilaku yang tampak merupakan
refleksi dari perubahan yang bersifat internal (Sukmadinata, 2003: 157).
Sedangkan Lawson (1991:5)
berpendapat bahwa rumusan-rumusan pendidikan yang sering menggunakan kata-kata
perubahan dan tingkah laku tidak perlu lagi disebut, mengingat kedua istilah
tersebut sudah menjadi kebenaran umum dan telah diketahui oleh semua orang yang
terlibat dalam proses pendidikan. Sebagai gantinya ia menawarkan rumusan
belajar dalam tiga macam rumusan yaitu: 1) rumusan kuantitatif, 2) rumusan
institusional, dan 3) rumusan kualitatif. Rumusan kuantitatif (tinjauan dari
sudut jumlah), dapat dimaknai sebagai kegiatan pengisian atau pengembangan
kemampuan kognitif dengan fakta yang sebanyak-banyaknya. Atau seberapa banyak
materi yang dikuasai oleh siswa dalam belajar. Rumusan institusional (tinjauan
kelembagaan), dapat diartikan sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadap
penguasaan siswa atas materi–materi yang telah dipelajari oleh siswa. Hal ini
dapat diukur dengan semakin baik mutu mengajar yang dilakukan oleh guru kepada siswa,
semakin baik pula perolehan mutu siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk
skor atau nilai.
Rumusan kualitatif (tinjauan mutu),
dapat diartikan sebagai proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman
serta cara-cara menafsirkan dunia yang ada disekeliling siswa. Belajar dalam
pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan daya nalar serta
tindakan yang berkualitas untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi oleh siswa baik saat sekarang maupun dimasa yang akan datang (Lawson,
1991: 5).
Dari bebrapa rumusan belajar
tersebut, terdapat beberapa perbedaan, akan tetapi terkandung suatu pemahaman,
bahwa belajar adalah suatu proses untuk mencapai perubahan yang akan
menghasilkan sesuatu yang dapat diukur dan dapat dipertanggung jawabkan secara
keilmuan. Perubahan tersebut dapat menyangkut semua aspek kepribadian individu
yang didalamnya menyangkut penguasaan penalaran, sikap, nilai, motivasi,
kebiasaan, minat, apresiasi dan sebagainya.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar siswa dapat digolongkan menjadi tiga macam, yakni: 1)
faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), misalnya kondisi jasmani (fisiologis)
meliputi kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot yang menandai
tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya), dan rohaniah siswa (psychis)
meliputi tingkat kecerdasan, bakat, minat dan motivasi siswa, 2) faktor
eksternal (faktor dari luar diri siswa), misalnya kondisi lingkungan disekitar
siswa, termasuk didalamnya lingkungan alam dan lingkungan manusia atau
keluarga, dan 3) faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni
suatu upaya belajar yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa
untuk melakukan kegiatan pembelajaran terhadap materi-materi pelajaran (Syah,
1999: 131).
Pada realitasnya proses belajar
bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan akumulasi
dari berbagai hal yang saling mempengaruhi.
Learning teaching
process, merupakan pusat pembelajaran yang menerima
pengaruh dari berbagai faktor, seperti raw input atau masukan mentah
berupa siswa, yang memiliki karakteristik tertentu baik secara fisiologis
(fisik) maupun psikologis. Karakteristik fisiologis meliputi; kemampuan fungsi
panca indera, kemampuan fungsi anggota tubuh. Sedangkan karakteristik
psikologis meliputi; minat, bakat, intelegensi, motivasi dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan aspek kejiwaan. Faktor lain yang ikut mempengaruhi proses
pembelajaran adalah instrumental input, yaitu faktor yang dengan sengaja
dipersiapkan dan dirancang untuk menunjang keberhasilan proses pembelajaran,
dan manajemen pengelolaan sekolah.
Sedangkan Enviromental input
merupakan faktor lingkungan dimana proses pembelajaran itu berlangsung, yang
meliputi; lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, yang didalamnya mencakup
lingkungan fisiologis, psikologis, dan sosio kultural (Sumanto, 2003: 84). Dari
interaksi dan akumulasi berbagai pengaruh inilah yang melahirkan out put
atau lulusan sebagai hasil dari proses panjang pembelajaran, atau disebut juga dengan
prestasi belajar.
2. Prestasi Belajar PAI
a. Pengertian
Prestasi belajar terdiri dari dua
kata yang masing-masing mempunyai arti yaitu prestasi dan belajar. Prestasi berasal dari bahasa Belanda “prestatie”
(Arifin, 1991: 2), yang kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang
berarti hasi belajar. Dalam bahasa
pendidikan Islam dikenal dengan انجاز atau
achievement. Sedangkan belajar adalah modifikasi atau mempertegas
kelakuan melaui pengalaman (Learning is defined as the modification or
strengthening through experiencing) (Hamalik, 1995: 36).
Sedangkan menurut Aziz dan Majid (tt.: 169). pengertian
belajar adalah: “…suatu perubahan di dalam akal pikiran seseorang pelajar yang
dihasilkan atas pengalaman masa lalu sehingga terjadilah di dalamnya perubahan
yang baru”. Menurut Morgan, belajar adalah:”Learning is any relatively
permanent change in behavior which accours as a result of practise or
experience”(Morgan, 1971: 112). (belajar adalah perubahan tingkah laku yang
relatif permanen atau menetap yang dihasilkan dari praktek atau pengalaman).
Prestasi belajar memiliki posisi penting dalam pendidikan,
karena sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran, sekaligus sebagai
bahan evaluasi bagi para pelaku pendidikan. Atau dapat dirumuskan sebagai: 1)
indikator kualitas dan kuantitas materi pelajaran yang telah dikuasai siswa, 2)
lambang hasrat ingin tahu siswa. Artinya, semakin tinggi rasa ingin tahu siswa
terhadap materi pelajaran yang ditunjukkan dengan giat mempelajari dan memahami
serta menguasai materi pelajaran, maka akan semakin tinggi prestasi yang
dicapai oleh siswa. 3) inovasi dan pendorong bagi peningkatan ilmu pengetahuan
dan teknologi, sekaligus berperan sebagai umpan balik bagi peningkatan mutu
pendidikan (Arifin, 1990: 3).
Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil pencapaian
peserta didik dalam mengerjakan tugas atau kegiatan pembelajaran, melalui
penguasaan pengetahuan atau ketrampilan mata pelajaran disekolah yang biasanya
ditunjukkan dengan nilai test atau angka nilai yang diberikan oleh guru (Tu’u,
2004: 47). Untuk lebih kongkritnya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) prestasi
belajar adalah hasil belajar yang dicapai oleh siswa ketika mengikuti dan
mengerjakan tugas pembelajaran di sekolah, 2) prestasi belajar adalah
pencapaian nilai mata pelajaran berdasarkan kemampuan siswa dalam aspek
pengetahuan, ingatan, aplikasi, sintesis dan evaluasi, 3) prestasi belajar
adalah nilai yang dicapai oleh siswa melaui ulangan atau ujian yang diberikan
oleh guru (Tu’u, 2004: 75). Dapat disimpulkan, prestasi belajar adalah hasil
belajar atau nilai mata pelajaran yang dicapai oleh siswa melalui ulangan atau
ujian yang diberikan oleh guru.
Pendidikan agama berarti usaha-usaha
secara sadar dan pragmatif membantu anak didik supaya mempunyai ilmu
pengetahuan agama (Zuhairini, 2000: 27). Sedangkan Saleh (1973: 19) mendefinisikan
bahwa pendidikan agama merupakan usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap
anak didik supaya kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan
mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai way of
life. Dalam “Ruh Al-Tarbiyah Wa Al-Ta’lim”, M Athiyah Al-Abrasyi
(1950: 6) menerangkan pengertian pendidikan sebagai berikut:
أَلتَّرْبِيَةُ
تَهْذِيْبُ الْقَوِيُّ الطَّبِيْعَةِ لِلطِّفْلِ كَى يَكُوْنُ قَادِرًا عَلَى اَنْ
يُقَوِّدً حَيَاةً خَلْقِيَة صَحِيْحَةً سَعِيْدَةً.
Artinya: “Pendidikan adalah membentuk tabiat
kepada anak agar ia mempu mencapai kehidupan manusia yang sehat dan bahagia”.
Pendidikan agama Islam adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami dan menghayati dan
mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan.
Sedangkan Ibnu Hadjar (1999: 4) mendefinisikan bahwa pendidikan agama Islam
merupakan sesuatu subjek pelajaran yang bersama-sama dengan subjek studi yang
lain dimaksudkan untuk membentuk manusia yang utuh.
Sebagaimana diketahui, bahwa prestasi belajar siswa dalam
arti luas adalah keberhasilan siswa yang meliputi ranah cipta, rasa dan karsa.
Yang dikenal dengan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Pada prinsipnya,
pengungkapan hasil belajar yang ideal meliputi segenap ranah psikologis yang
berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa. Sedangkan
Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dimaksud adalah mata pelajaran PAI
sebagaimana di dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah yang meliputi mata
pelajaran; al-Qur’an Hadis, Aqidah Akhlaq, Fiqih dan Sejarah Kebudayaan Islam
(Depag RI, 2004: v-vi).
Jadi secara
sederhana Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah suatu mata pelajaran yang
diajarkan disekolah yang bertujuan agar peserta didik dapat meyakini, memahami
dan mengamalkan agama Islam dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Dengan
demikian, maka prestasi belajar atau hasil belajar PAI adalah suatu pengetahuan
dan ketrampilan yang dimiliki siswa dalam mata pelajaran PAI setelah melalui
proses belajar mengajar yang ditunjukkan dengan nilai tes/angka yang diberikan
oleh guru.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar PAI
Prestasi belajar siswa banyak
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik berasal dari dirinya (internal) maupun
dari luar dirinya (eksternal). Prestasi belajar yang dicapai siswa pada
hakikatnya merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor tersebut. Adapun
faktor-faktor yang dimaksud adalah:
1) Faktor yang berasal dari
dalam individu (internal)
Faktor internal dibagi menjadi dua
yaitu:
(a) Aspek
Jasmaniah, mencakup kondisi dan kesejahteraan jasmani dari individu. Kondisi fisik menyangkut pula
kelengkapan dan kesehatan indra penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman
dan pencacapan. Kesehatan inilah merupakan
syarat mutlak bagi keberhasilan belajar.
(b) Aspek Psikis atau Rohaniah,
menyangkut kondisi kesehatan psikis, kemampuan-kemampuan intelektual, sosial,
psikomotor, serta kondisi afektif dan konatif dari individu (Sukmadinata, 2003:
162).
Menurut M. Umar dan Sartono (1998: 178), dalam
aspek psikologis selain intelligensi meliputi juga adanya “motif, minat,
konsentrasi perhatian, natural curioucity (keinginan untuk mengetahui
secara alami), balance personality (pribadi yang seimbang), self
confidense (kepercayaan pada diri sendiri). Self dicipline (disiplin
terhadap diri sendiri) serta ingatan”.
2)
Faktor yang berasal dari luar diri siswa (eksternal), terdiri
dari:
(a) Faktor Sosial
Purwanto (1990: 102) menyebutkan
bahwa yang termasuk faktor sosial adalah: “keluarga/keadaan rumah tangga, kalau
anak berada dalam sebuah keluarga yang harmonis, maka anak akan betah tinggal
dalam keluarga tersebut dan kegiatan belajarnya akan terarah”. Dengan keadaan yang demikian
maka prestasi belajar anak akan meningkat. Begitu juga sebaliknya, jika anak
hidup dalam keluarga yang kurang harmonis, penuh dengan percekcokan, maka anak
menjadi tidak betah tinggal dalam keluarga. Keadaan demikian akan membuat anak
malas belajar sehingga prestasi belajarnya menurun.
Menurut Thoha
(1989: 127), lingkungan keluarga yang berpengaruh terhadap prestasi belajar
anak adalah ”cara mendidik orang tua terhadap anak ”sikap sosial dan emosional
orang tua serta sikap keagamaan orang tua”.
(1) Interaksi
guru dengan murid, di mana guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara
intim, maka akan menyebabkan proses belajar-mengajar kurang lancar.
(2) Guru
dan cara penyajian, di sini guru dituntut agar pandai-pandai cara mengajarkan
pengetahuan kepada anak didik.
(3) Alat-alat
yang digunakan dalam belajar mengajar.
(4) Lingkungan
dan kesempatan yang tersedia.
(5) Motivasi
sosial (Purwanto, 1990: 102).
(b) Faktor Non
Sosial
Menurut Suryabrata
(1984: 233), kelompok faktor ini tak terbilang jumlahnya, itu bisa berwujud
keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu, tempat, alat-alat yang dipakai untuk
belajar.
Sedangkan Ahmadi dan
Supriyono (1991: 138-139), menjelaskan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi
prestasi belajar Pendidikan Agama Islam ada 2, yaitu: faktor internal dan
faktor eksternal.
1)
Faktor internal meliputi:
a)
Faktor
jasmaniah (fisiologis) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh,
misalnya: penglihatan, pendengaran, struktur dan sebagainya.
b)
Faktor
psikologi, baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh yang terdiri atas:
1) Faktor interaktif yang meliputi: faktor potensial yaitu
kecerdasan dan bakat, dan faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah
dimiliki. 2) Faktor non interaktif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu
seperti sikap, kebiasaan, minat motivasi, emosi, penguasaan diri.
c) Faktor
kematangan fisik maupun psikis.
2)
Faktor eksternal meliputi:
(a)
Faktor sosial yang terdiri atas: Lingkungan keluarga,
masyarakat, sekolah, dan kelompok.
(b) Faktor budaya seperti adat
istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian.
(c)
Faktor lingkungan fisik
seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, iklim.
(d)
Faktor lingkungan
spiritual atau keamanan.
(e)
Demikian pula faktor internal dan eksternal yang berinteraksi
baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi prestasi belajar siswa,
oleh karena itu perlu memperhatikan faktor-faktor tersebut.
Prestasi belajar bukan sesuatu yang
berdiri sendiri. Prestasi belajar merupakan hasil akumulasi dari berbagai hal
yang mempengaruhi siswa. Berbagai
hal yang mempengaruhi prestasi belajar tersebut bisa datang dari luar (faktor
eksternal) dan bisa datang dari dalam diri siswa itu sendiri (faktor internal).
Faktor dari luar meliputi; lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat. Sedangkan faktor dari dalam diri siswa meliputi;
kecerdasan, minat, bakat, input, motif, kesehatan dan cara belajar (Kartono,
1985: 1-5). Winkel (1983: 47) menyatakan bahwa prestasi belajar siswa
dipengaruhi oleh faktor kecerdasan, motivasi belajar, minat, sikap, perasaan,
keadaan sosial ekonomi, dan keadaan fisik serta psikis siswa.
Dengan demikian, faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa, dapat dirumuskan lebih rinci. Faktor-faktor
itu misalnya: karakteristik siswa, tenaga pengajar, materi yang diajarkan,
fasilitas pengajaran, kondisi fisik sekolah, lingkungan sekolah, kurikulum dan
tujuan pengajaran, dapat juga dikategorikan; faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar menjadi dua yaitu: faktor pertama individual, yang meliputi;
kematangan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi; faktor kedua
meliputi: keluarga, guru dan cara mengajarnya, media dan alat atau sarana yang
menunjang proses pembelajaran.
Dari berbagai hal yang mempengaruhi
prestasi belajar, antara pengaruh yang satu dan yang lainnya memiliki posisi
saling terkait dan tidak ada satupun pengaruh yang paling dominan. Siswa yang
memiliki tingkat kecerdasan tinggi atau dapat disebut sebagai anak dalam
golongan gilted child atau talented chil, diasumsikan jika
didalam proses pembelajaran, kemampuan yang dimilikinya tidak terakomodasi
secara layak dan tepat, maka anak tersebut akan mengalami kesulitan belajar
yang pada akhirnya tidak akan mampu mencapai prestasi belajar dengan baik.
Demikian juga sebaliknya, jika seorang siswa memiliki kecerdasan yang sedang,
akan tetapi dia mendapatkan pendidikan dan bimbingan dari seorang guru yang
tepat, dan dia mempunyai motivasi belajar yang tinggi, dia mendapatkan
fasilitas belajar yang memadai, maka siswa tersebut akan mampu meraih prestasi
yang baik.
Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa semua faktor yang ada, akan mampu berfungsi sebagaimana seharusnya. Jika
semua faktor tersebut berfungsi secara simultan dan bersama- sama dalam
bekerja.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar terdiri dari faktor internal dan eksternal. Selain itu sesuai dengan
kajian yang diteliti, faktor internal siswa dalam meraih prestasi belajar yang
terpenting adalah motivasi belajar dan kecerdasan intelekktual siswa. Artinya,
diasumsikan semakin tinggi motivasi dan kecerdasan intelektual yang dimiliki
oleh siswa, maka akan semakin tinggi pula prestasi belajar siswa. demikian juga
sebaliknya, semakin rendah motivasi dan kecerdasan intelektual siswa, maka akan
rendah pula prestasi belajar siswa.
c. Faktor yang Menghambat Prestasi Belajar
Prestasi
belajar akan sulit tercapai, apabila seorang siswa mengalami gangguan kesulitan
belajar yang dapat dimaknai sebagai hambatan dan gangguan dalam proses penyerapan
materi pelajaran yang disampaikan guru kepada siswa. Pada prinsipnya setiap
siswa mempunyai hak dan peluang yang sama untuk memperoleh atau mencapai
kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Namun pada
kenyataannya ada perbedaan kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar
belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar, yang terkadang sangat
mencolok antara siswa yang satu dengan siswa lainnya (ada siswa yang sangat
bodoh dan ada siswa yang sangat pandai), sehingga perlu adanya perhatian dan
penanganan khusus terhadap keduanya sehingga tidak akan timbul apa yang disebut
dengan kesulitan belajar (learning difficult ).
Kesulitan belajar tidak hanya dapat
menimpa siswa yang berkemampuan rendah saja, akan tetapi juga dapat menimpa
kepada mereka yang berkemampuan tinggi. Ada dua faktor penyebab timbulnya
kesulitan belajar siswa.
Pertama, faktor intern siswa
yang meliputi gangguan psiko-fisik siswa, yang berkaitan dengan; a) aspek
kognitif (ranah cipta), dalam hal ini terkait dengan rendahnya kapasitas
intelektual atau intelegensi siswa, b) aspek afektif (ranah rasa), dalam hal
ini terkait dengan labilnya emosi dan sikap, c) aspek psikomaotor (ranah
karsa), dalam hal ini terkait dengan terganggunya fungsi panca indera siswa.
Disamping hal tersebut, karena adanya sindrom psikologis yang berupa ketidak
mampuan belajar (learning disability), adanya gangguan kecil pada otak (minimal
brain disfunction).
Kedua, faktor ekstern siswa
yang meliputi; a) lingkungan keluarga, misalnya; ketidak harmonisan hubungan
antara ayah dengan ibu, rendahnya pendapatan ekonomi keluarga, b) lingkungan
perumahan atau masyarakat, misalnya; berada dalam lingkungan kumuh (slum
area) dan kelompok bermain yang nakal, c) lingkungan sekolah, misalnya;
tata letak sekolah yang kurang nyaman dan strategis (dekat pasar, dekat rel
kereta api, dekat terminal dan sebagainya), d) guru yang kurang memiliki
kompetensi dibidang mata pelajaran yang diampu, fasilitas belajar yang kurang memadai
dan sebagainya (Syah, 1999: 165-167).
d. Tujuan Pembelajaran PAI di
MTs.
Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka salah satu bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik
di Madrasah adalah pendidikan agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta berakhlak mulia (BSNP, 2007: 5).
Secara umum,
pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi
manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT serta berakhlak mulia
dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Muhaimin,
2002: 75).
Pendidikan Agama Islam di Madrasah Tsanawiyah terdiri
atas empat mata pelajaran, yaitu: al-Qur’an Hadis, Aqidah-akhlak, fiqh, dan
tarikh (sejarah) kebudayaan Islam. Masing-masing
mata pelajaran tersebut pada dasarnya saling terkait, isi mengisi dan
melengkapi. Al-Qur’an-Hadis merupakan sumber utama ajaran Islam, dalam arti ia
merupakan sumber aqidah-akhlak, syari’ah/fiqih (ibadah, muamalah), sehingga
kajiannya berada di setiap unsur tersebut. Aqidah (ushuluddin) atau keimanan
merupakan akar atau pokok agama.
Syariah/fiqih (ibadah, muamalah) dan akhlak bertitik
tolak dari aqidah, yakni sebagai manifestasi dan konsekuensi dari aqidah
(keimanan dan keyakinan hidup). Syari’ah/fiqih merupakan sistem norma (aturan)
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan dengan makhluk
lainnya. Akhlaq merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup manusia,
dalam arti bagaimana sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
(ibadah dalam arti khas) dan hubungan manusia dengan manusia dan lainnya
(muamalah) itu menjadi sikap hidup dan kepribadian hidup manusia dalam menjalankan
sistem kehidupannya (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kekeluargaan,
kebudayaan/seni, iptek, olahraga/ kesehatan, dan lain-lain) yang dilandasi oleh
aqidah yang kokoh.
Sedangkan tarikh (sejarah) kebudayaan Islam merupakan
perkembangan perjalanan hidup manusia muslim dari masa ke masa dalam usaha
bersyariah (beribadah dan bermuamalah) dan berakhlak serta dalam mengembangkan
sistem kehidupannya yang dilandasi oleh aqidah.
Pendidikan agama Islam (PAI) di Madrasah Aliyah yang
terdiri atas empat mata pelajaran tersebut memiliki karakteristik
sendiri-sendiri. Al-Qur’an-Hadis, menekankan pada kemampuan baca tulis yang
baik dan benar, memahami makna secara tekstual dan kontekstual, serta
mengamalkan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari. Aspek aqidah menekankan
pada kemampuan memahami dan mempertahankan keyakinan/keimanan yang benar serta
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai al-asma’ al-husna. Aspek Akhlak
menekankan pada pembiasaan untuk melaksanakan akhlak terpuji dan menjauhi
akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari. Aspek Fiqh menekankan pada
kemampuan cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan baik.
Sedangkan aspek Tarikh & kebudayaan Islam menekankan
pada kemampuan mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa bersejarah (Islam),
meneladani tokoh-tokoh berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial,
budaya, politik, ekonomi, ipteks dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan
dan peradaban Islam.
Sesuai dengan standar
kompetensi dan kompetensi Dasar yang merupakan kurikulum hasil refleksi,
pemikiran dan pengkajian dari kurikulum yang berlaku sebelumnya pembelajaran
PAI di Madrasah Tsanawiyah diharapkan dapat membantu mempersiapkan peserta
didik menghadapi tantangan di masa depan. Standar kompetensi dan kompetensi
dasar diarahkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam
kondisi penuh dengan berbagai perubahan, persaingan, ketidakpastian dan
kerumitan dalam kehidupan. Melalui kurikulum yg sedang berlaku saat ini, yakni
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pembelajaran PAI di Madrasah
diharapkan menghasilkan tamatan yang kompeten, cerdas dalam membangun
integritas sosial, serta mewujudkan karakter nasional (BNSP, 2007: 3).
Dalam
konteks madrasah, tujuan pembelajaran PAI di madrasah adalah untuk menghasilkan
lulusan yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dengan pendekatan
berbasis kompetensi. Basis kompetensi yang dikembangkan diharapan agar siswa/peserta
didik tumbuh dan berkembang rasa keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT,
menghayati dan mengamalkan hukum Islam, penguasaan keterampilan hidup,
kemampuan akademik, seni dan pengembangan kepribadian yang paripurna, yaitu
berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi (BNSP, 2007: 5).
Tujuan
masing-masing mata pelajaran yang masuk lingkup mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dikembangkan di Madrasah Tsanawiyah
adalah sebagai berikut:
1) al-Qur’an Hadis
Mata Pelajaran al-Qur’an Hadis di Madrasah Tsanawiyah bertujuan agar
peserta didik bergairah untuk membaca al-Qur’an Hadis dengan baik dan benar,
serta mempelajarinya, memahami, meyakini kebenarannya, dan mengamalkan ajaran-ajaran
dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai petunjuk dan pedoman dalam
seluruh aspek kehidupan (Depag. RI, 2004: 4).
2) Aqidah Akhlaq
Mata pelajaran ini bertujuan untuk: 1) menumbuhkan dan meningkatkan keimanan peserta
didik yang diwujudkan dalam akhlaqnya yang terpuji, melalui pemberian dan
pemupukan pengetahuan, penghayatan, serta pengalaman peserta didik tentang
aqidah dan akhlaq Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang
dan meningkat kualitas keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT, serta
berahlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat berbangsa dan bernegara,
serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi (Depag. RI, 2004: 22); 2) mewujudkan manusia
Indonesia yang berakhlak mulia dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan
sehari-hari baik dalam kehidupan individu maupun sosial, sebagai manifestasi
dari ajaran dan nilai-nilai aqidah Islam.
3) Fiqih
Mata pelajaran ini bertujuan untuk membekali peserta didik agar dapat: (1) Mengetahui
dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik
berupa dalil naqli dan aqli. Pengetahuan dan pemahaman tersebut
diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial. (2) Melaksanakan
dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar. Pengamalan tersebut
diharapkan dapat menumbuhkan kataatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan
tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya
(Depag. RI, 2004: 47).
4) Sejarah Kebudayaan Islam
Mata pelajaran ini bertujuan untuk: (1) Memberi
pengetahuan tentang sejarah agama Islam dan kebudayaan Islam kepada peserta
didik, agar memiliki data yang obyektif dan sistematis tentang sejarah. (2)
Mengapresiasi dan mengambil ibrah, nilai dan makna yang terdapat dalam sejarah.
(3) Menanamkan penghayatan dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan nilai-nilai
Islam berdasarkan cermatan atas fakta sejarah yang ada. (4) Membekali peserta
didik untuk membentuk kepribadiannya melalui imitasi terhadap tokoh-tokoh
teladan sehingga terbentuk kepribadian yang luhur (Depag. RI, 2004: 69).
e. Materi Pembelajaran Pendidikan
Agama Islam di MTs.
Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 36 dan 38, kurikulum
dikembangkan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional; dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah dan peserta didik. Kurikulum madrasah dikembangkan dengan
mengacu dan didasarkan pada dokumen kurikulum yang dikembangkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional, sebagai konsekuensi logis eksistensi madrasah sebagai
bagian yang integral dalam satu sistem pendidikan nasional (Depag. RI, 2004: iii-iv).
Materi pokok pembelajaran pendidikan agama Islam meliputi, aspek
pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Aspek pengetahuan terkait dengan kemampuan
pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan, dan kemampuan menjelaskan
terhadap materi yang telah diterima. Dari kemampuan memahami dan menjelaskan
inilah kemudian diaplikasikan kedalam bentuk ketrampilan konkrit, kemudian
dijadikan sikap dasar dalam berperilaku sehari-hari.
Materi pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) MTs. yang terdiri dari mata
pelajaran al-Qur’an Hadis, Aqidah akhlaq, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam,
disampaikan berjenjang mulai kelas VII sampai kelas IX dengan pokok-pokok
materi sebagai berikut.
1.
Mata pelajaran al-Qur’an Hadis
Materi-materi pokok mata pelajaran al-Qur’an Hadis pada Madrasah Tsanawiyah
kelas VII semester gasal terdiri dari satu standar kompetensi, yaitu: Mampu
menerapkan kaidah ilmu tajwid dalam bacaan al-Qur’an, meliputi 3 kompetensi
dasar yaitu: 1) membaca makhorijul huruf, alif lam syamsiyah dan qomariyah.
2) Mendemontrasikan hukum bacaan nun sukun dan tanwin, 3) Menguasai hukum dasar
bacaan al-Qur’an (Ilmu Tajwid) dan penerapannya. Semester genap standar
kompetensi: Mampu memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang akhlaq terhadap ibu
bapak dan sesama manusia, dan memahami hadis tentang perintah bertaqwa dan
berbuat baik pada sesama manusia, dan mampu menerapkan ilmu tajwid dalam bacaan
al-Qur’an. Kelas VII semester genap; Terdiri dari tiga standar kompetensi,
yaitu: 1) Menunjukkan cara berakhlaq pada ibu bapak dan sesamama manusia. 2)
Membaca qolqolah dan waqof. 3) Melaksanakan perintah bertakwa dan
akhlaq kepada sesama manusia (Depag.
RI, 2004 : 11).
Untuk Kelas VIII semester gasal standar kompetensinya adalah: Mampu
memahami sejarah turunnya al-Qur’an, memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang
persatuan dan persaudaraan, memahami arti hadis| dan macam-macamnya, memahami Hadis-Hadis dan
meyakini kebenaran dan istiqomah dan mampu menerapkan ilmu tajwid dalam bacaan al-Qur’an.
Meliputi komptensi dasar;1) menjelaskan sejarah turunnya al-Qur’an, 2)
membedakan arti Hadis dan macam-macamnya 3) menunjukkan sikap persatuan dan
persaudaraan 4) meyakini kebenaran Islam dan beristiqomah. 5) memahami hukum bacaan mim sukun, ra’ dan lam.
Standar kompetensi materi al-Qur’an Hadis kelas VIII semester genap adalah
Mampu memahami ayat al-Qur’an tentang setan sebagai musuh manusia, berlaku
dermawan, memahami Hadis-Hadis tentang cinta kepada Allah dan Rasul dan mampu
menerapkan ilmu tajwid dalam bacaan al-Qur’an. Kompetensi dasar 1) menyadari syetan
sebagai musuh manusia 2) berlaku dermawan 3) mendemontrasikan bacaan mad 4)
menunjukkan sikap cinta kepada Allah dan Rasul (Depag. RI, 2004 : 15).
Kelas IX Semester gasal standar kompetensinya: Mampu memahami ayat-ayat al-Qur’an
tentang semangat keilmuan, tentang makanan yang halal dan baik, dan memahami Hadis-Hadis
tentang perintah menuntut ilmu dan keutamaan orang yang berilmu. Meliputi
kompetensi dasar: 1) memiliki semangat keilmuaan, 2) membiasakan makan-makan
yang halal dan baik serta tidak berlebih-lebihan, 3) menguasai Hadis tentang
perintah menuntut ilmu secara lisan dan tertulis, 4) menjelaskan Hadis tentang
keutamaan orang yang berilmu.
Kelas IX Semester genap standar kompetensinya; Mampu memahami ayat-ayat al-Qur’an
tentang sabar dan tabah menghadapi cobaan, tentang bersikap konsekuen dan
jujur, serta memahami hadis-hadis tentang taat kepada Allah, Rasul dan
pemerintah. Kompetensi dasarnya meliputi: 1) berperilaku sabar dan tabah dalam
menghadapi cobaan, 2) bersikap konsekuen dan jujur, 3) membiasakan taat kepada
Allah, Rasul dan pemerintah (Depag. RI, 2004 : 18).
2.
Mata Pelajaran Aqidah ahklaq
Materi pokok mata pelajaran Aqidah akhlaq kelas VII Semester gasal standar
kompetensi: Memahami sifat-sifat wajib, mustahil Allah yang nafsiyah dan
salbiyah, berakhlaq terpuji kepada Allah dan menghindari akhlaq tercela
kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi dasarnya; 1) meyakini sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz Allah yang nafsiyah-salbiyah, 2) meyakini sifat-sifat wajib Allah yang nafsiyah
dan salbiyah, 3) meyakini sifat-sifat Allah yang nafsiyah dan salbiyah
4) membiasakan diri berakhlaq terpuji terhadap Allah, 5) membiasakan diri
menghindari berakhlaq tercela terhadap Allah, 6) mencintai dan meneladani sifat
dan perilaku kehidupan rasul/sahabat/ ulama’/ulil amri dan atau tokoh.
Kelas VII Semester genap standar kopetensi: Memahami kitab-kitab Allah yang
diturunkan kepada para Nabi dan rasul serta mempedomani dan mengamalkan al-Qur’an
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kompetensi dasarnya meliputi; 1) beriman
kepada kitab-kitab Allah, 2) meyakini kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Daud As, Musa As. dan Isa As., 3) mempedomani kitab suci al-Qur’an yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. dalam kehidupan sehari-hari, 4)
mencintai dan meneladani sifat dan perilaku kehidupan sahabat/ulama’ (Depag.
RI, 2004:33).
Kelas VIII Semester gasal standar kompetensi: Memahami dan mengamalkan
sifat-sifat wajib dan mustahil Allah yang ma’ani/ma’nawiyah serta sifat
jaiz bagi Allah, berakhlaq terpuji pada diri sendiri, menghindari akhlaq
tercela kepada diri sendiri, serta meneladani perilaku kehidupan Rasul/sahabat/
ulama’ dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi dasarnya adalah: 1) memahami dan
meyakini sifat-sifat wajib dan mustahil Allah yang ma’ani/ma’nawiyah, 2)
meyakini sifat-sifat mustahil Allah yang ma’ani/ma’nawiyah 3) meyakini
sifat jaiz Allah, 4) membiasakan diri berakhlaq terpuji kepada diri sendiri
dalam kehidupan bersama, 5) membiasakan diri menghindari akhlaq tercela dalam
kehidupan sehari-hari, 6) mencintai dan meneladani sifat dan perilaku kehidupan
Rasul/sahabat/ulama’.
Kelas VIII Semester genap standar kompetensi: Memahami sifat-sifat dan
mu’jizat Nabi dan Rasul dan meneladani akhlak Nabi Muhammad dalam kehidupan
sehari-hari. Kompetensi dasarnya: 1) meyakini mu’jizat Allah yang diturunkan
kepada rasul-Nya, 2) meyakini sifat-siafat wajib dan mustahil rasul, 3) meneladani
kisah rasul Ulul ’Azmi, 4) meneladani akhlaq Nabi Muhammad saw., 5) mencintai
dan meneladani sifat dan perilaku kehidupan sahabat/ulama’ (Depag. RI, 2004 :
38).
Kelas IX Semester gasal standar kompetensi: Memahami dan meyakini adanya
hari akhir dan alam gaib dalam kehidupan sehari-hari, berakhlaq terpuji dan
menghindari akhlaq tercela terhadap lingkungan sosial/sesama manusia dalam
masyarakat. Kompetensi dasarnya; 1) beriman kepada hari akhir, 2) beriman
kepada alam gaib yang berhubungan dengan hari akhir, 3) mengamalkan akhlaq
terpuji terhadap lingkungan sosial/sesama manusia dalam masyarakat, 4)
membiasakan diri berakhlaq terpuji terhadap sesama, 5) membiasakan diri
menghindari akhlaq tercela terhadap sesama.
Kelas IX Semester genap standar kompetensi: Berakhlaq terpuji terhadap
lingkungan flora dan fauna serta menghindari akhlaq tercela terhadap lingkungan
flora dan fauna, serta meneladani akhlaq para rasul/sahabat atau ulul amri
dalam kehidupan sehari-hari, 1) mengamalkan akhlaq terpuji terhadap lingkungan
flora dan fauna (tumbuh-tumbuhan dan hewan), 2) menjauhi akhlaq tercela
terhadap lingkunagn flora dan fauna (tumbuh-tumbuhan dan hewan), 3) mencintai
dan meneladani sifat dan perilaku kehidupan rasul/sahabat/ulama’/ulil
amri/tokoh yang beriman dan berakhlaq mulia (Depag. RI, 2004 : 42).
3.
Mata Pelajaran Fiqih
Materi pokok mata pelajaran Fiqih kelas VII Semester gasal dan genap
standar kompetensi: Menguasai tata cara bersuci (t}aharah), pelaksanaan shalat (s}alat wajib,
jamaah, jama’ qas}ar,
darurat, janazah, s}alat sunnah) serta mampu mengamalkannya
dalam kehiupan sehari-hari. Kompetensi dasar 1) menjelaskan tata cara bersuci
dari hadas̀^, najis dan
kotoran. 2) menjelaskan tata cara berwudlu dan mempraktekannya. 3) menjelaskan
tata cara mandi. 4) menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan haid. 5)
menjelaskan tata cara tayamum dan mempraktekannya. 6) menjelaskan tata
cara s}alat jum’at. 7) menjelaskan tata cara pelaksanaan s}alat berjamaah. 8) menjelaskan tata cara s}alat jama’. 9) menjelaskan tata cara s}alat qas}ar. 10) menjelaskan tata cara s}alat
dalam keadaan darurat. 11)
menjelaskan tata cara s}alat janazah. 12) menjelaskan tata cara shalat sunnah malam. 13)
menjelaskan tata cara s}alat ’Id. 14) menjelaskan tata cara shalat D{uha. 15)
menjelaskan cara s}alat Tahiyyatul Masjid (Depag. RI, 2004: 56).
Kelas VIII Semester gasal dan genap standar kompetensi: Kemampuan
membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi
tentang sujud syukur, z^ikir dan doa’, haji dan umroh, qurban dan aqiqah.
Kompetensi dasarnya adalah: 1) menjelaskan tata cara pelaksanaan sujud syukur
dan tilawah, 2) menjelaskan tata cara pelaksanaan berz^ikir dan berdo’a
setelah shalat, 3) menjelaskan tata cara pelaksanaan puasa naz^ar, 4)
menjelaskan tata cara pelaksanaan menginfaqkan harta benda di luar kewajiban
zakat, 5) menjelaskan tata cara pelaksanaan haji dengan benar, 6) menjelaskan
tata cara pelaksanaan umrah, 7) menjelaskan ketentuan kurban, 8) menjelaskan
ketentuan aqiqah (Depag. RI, 2004: 58).
Kelas IX Semester gasal dan genap standar kompetensi: Menguasai tata cara
muamalah, muamalah selain jual beli, kewajiban terhadap sesama (janazah, dan
ziarah kubur), tata pergaulan remaja, jinayat, hudud dan sangsi hukumannya,
kewajiban mematuhi undang-undang negara dan syariat Islam, kewajiban mengelola
dan mengolah lingkungan untuk kesejahteraan sosial.
Kompetensi dasar
1) menjelaskan tata cara pelaksanaan jual beli yang benar. 2) menjelaskan tata
cara khiyar. 3) menjelaskan tata cara pelaksanaan qirad}. 4) menjelaskan tata cara berpiutang,
gadai dan borg dengan baik. 5) menjelaskan tata cara pelaksanaan upah dan luqat}ah. 6) menjelaskan
batasan-batasan riba dengan benar. 7) menjelaskan tindakan yang harus dilakukan
terhadap jenazah. 8) menjelaskan tata cara pelaksanaan ta’ziyah dan
ziarah kubur dengan benar. 9) Menjelaskan tata cara pergaulan remaja yang
sesuai ajaran Islam. 10) menjelaskan hukum jinayat dan hudud. 10) menjelaskan
tata cara pelaksanaan diyat. 11) menjelaskan larangan minuman keras. 12)
menjelaskan hukum pencopetan, penjambretan, pencurian, penyamunan, perampokan
dan perompakan. 13) menjelaskan permasalahan hukum zina. 14) menjelaskan
undang-undang negara. 15) menjelaskan hukum kewajiban membela tanah air. 16)
menjelaskan hukum mematuhi syariat Islam. 17) menjelaskan pola kepemimpinan
dalam Islam. 18) menjelaskan pentingnya memelihara lingkungan hidup. 19)
menjelaskan cara meningkatkan kesejahteraan sosial (Depag. RI, 2004 : 63).
4.
Mata Pelajaran SKI
Materi pokok
mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kelas VII Semester gasal dan genap
standar kompetensi: Membiasakan untuk mencari, menyerap, menyampaikan, dan
menggunakan informasi tentang sejarah pembentukan Dinasti Umayah; biografi dan
kebijakan khalifah-khalifah Dinasti Umayah (Muawiyah bin Abi Sofyan, Abdul
Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin
Abdul Malik); Kemajuan Dinasti Umayah (bidang politik dan militer). Kompetensi
dasar 1) mendiskripsikan pembentukan pemerintah Dinasti Umayah. 2) menjelaskan
biografi dan kebijakan khalifah Muawiyah bin Abi Sofyan. 3) menjelaskan
biografi dan kebijakan khalifahh Abdul Malik bin Marwan serta meneladani keberanian,
keteguhan dan kebijaksanaannya. 4) menjelaskan biografi dan kebijakan khalifah
Walid bin Abdul Malik. 5) menjelaskan biografi dan kebijakan kholifah Umar bin
Abdul Aziz serta meneladani kesalehannya dan kezuhudannya. 6) mrenjelaskan
biogarafi dan kebijakan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. 7) menganalisis
kemajuan-kemajuan Dinasti Umayah di bidang sosial budaya. 8) menganalisis
kemajuan-kemajuan Dinasti Umayah di bidang politik dan militer (Depag. RI, 2004
: 76).
Kelas VIII Semester gasal dan genap standar kompetensi: Membiasakan untuk
mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang
kemajuan-kemajuan Dinasti Umayah (bidang ilmu agama Islam) dan mengkaji sebab-sebab
keruntuhannya; Sejarah terbentuknya Dinasti Abbasiyah, biografi dan kebijakan
khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah yang terkenal (Abu Ja’far al- Mansur, Harun
al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun); Kemajuan Dinasti Abbasiyah (bidang sosial
budaya, politik dan militer). Kompetensi dasar 1) menganlisis kemajuan-kemajuan
Dinasti Umayah di bidang ilmu Agama Islam. 2) menganalisis keruntuhan Dinasti
Umayah dan mengambil ibrahnya. 3) menjelaskan sejarah terbentuknya Dinasti
abbasiyah. 4) menjelaskan biografi dan kebijakan khalifah Abu Ja’far al Mansur.
5) menjelaskan biografi dan kebijakan khalifah Harun al-Rasyid. 6) menjelaskan
biografi dan kebijakan khalifah Abdullah al-Ma’mun serta meneladani
kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. 7) menganlisis kemajuan-kemajuan
Dinasti Abbasiyah dibidang sosial budaya. 8) menganlisi kemajuan-kemajuan
Dinasti Abbasiyah di bidang politik dan militer (Depag. RI, 2004 : 79).
Kelas IX Semester gasal dan genap standar kompetensi: Membiasakan untuk
mencari, menyerap, menyampaikan, dan menggunakan informasi tentang
kemajuan-kemajuan Dinasti Abbasiyah (bidang ilmu pengetahuan dan bidang Agama
Islam) dan mengkaji sebab-sebab keruntuhannya, serta kemajuan-kemajuan Dinasti
al-Ayyubiyah. Kompetensi dasar 1) menganlisis kemajuan-kemajuan Dinasti
Abbasiyah di bidang ilmu pengetahuan. 2) menganalisis kemajuan-kemajuan Dinasti
Abbasiyah di bidang ilmu Agama Islam. 3) menganalisis keruntuahan Dinasti
Abbasiyah (1.4) menganalisis kemajuan-kemajuan Dinasti al-Ayyubiyah (Depag. RI,
2004 : 80).
Program pengajaran agama dapat dipandang sebagai suatu
usaha mengubah tingkah laku siswa dengan menggunakan bahan pengajaran agama. Tingkah laku
yang diharapkan itu terjadi setelah siswa mempelajari pelajaran agama dan
dinamakan hasil belajar siswa dalam bidang pangajaran agama.
Hasil belajar atau bentuk perubahan tingkah laku yang
diharapkan itu meliputi tiga aspek yaitu: Pertama, aspek kongnitif, meliputi
perubahan-perubahan dalam segi penguasaan pengetahuan dan perkembangan
ketrampilan atau kemampuan yang diperlukan untuk menggunakan pengetahuan
tersebut. Kedua, Aspek afektif meliputi perubahan-perubahan dalam
segi mental, perasaan dan kesadaran. Ketiga, aspek psikomotor, meliputi
perubahan dalam bentuk-bentuk tindakan motorik.
f. Pengukuran Prestasi
Belajar PAI
Untuk mengetahui suatu keberhasilan
dalam proses pembelajaran, diperlukan adanya evaluasi/ penilaian atau
pengukuran yang dapat dilakukan melalui tes. Hasil penilaian tes digunakan
sebagai parameter untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar anak didik,
apakah pembelajaran berhasil atau gagal. Hasil belajar digunakan oleh seorang
pendidik selain untuk mengetahui keberhasilan proses pembelajaran juga untuk
memperbaiki motivasi belajar yang akan diberikan kepada siswa, aktivitas dan
cara belajar siswa dan fasilias yang perlu disediakan (Purwanto, 2002 :5).
Untuk mengetahui sampai sejauh mana
prestasi yang dicapai oleh siswa dalam proses pembelajaran dapat ditempuh
dengan mengadakan pengukuran atau penilaian. Dari hasil penilaian atau evaluasi
inilah akan diketahui apakah siswa yang bersangkutan berprestasi ataukah tidak.
Jika pencapaian nilai atau skor yang dicapai oleh siswa memenuhi atau bahkan
melampaui standar yang telah ditentukan, maka siswa bersangkutan dapat
dikatakan sebagai siswa yang berprestasi. Hal ini menunjukkan juga bahwa proses
pembelajaran telah berlangsung sesuai dengan tujuan (Slameto, 1984:3). Skor
yang dicapai oleh siswa sebagai simbul pencapaian prestasi belajar merupakan
kumulatif dari pengukuran aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek motorik,
yang masing- masing ranah memiliki jenis, indikator dan cara evaluasi yang
berbeda (Syah, 1999: 187-188).
Obyek pengukuran yang meliputi aspek
kognitif, afektif dan psikomotor menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa tidak
semata-mata dari hasil pengembangan intelektual saja, melainkan juga mencakup
sikap dan perilaku yang berkembang dari kondisi siswa sebelum belajar sampai
kondis siswa setelah belajar. Untuk lebih jelasnya berikut ini disajikan jenis,
indikator, dan cara evaluasi prestasi belajar.
Tabel 2.1
Jenis, Indikator, dan Cara Evaluasi Prestasi
Belajar
Ranah/JenisPrestasi
|
Indikator
|
Cara Evaluasi
|
|
A. Kognitif
(ranah cipta )
1. Pengamatan
2. Ingatan
3. Pemahaman
4. Aplikasi
5. Analisis
pemeriksaan dan pemilihan secara teliti).
6. Sintesis
pembuat panduan baru dan utuh).
|
1. Dapat
menunjukkan, mem-bandingkan,menghubungkan.
2. Dapat
menyebutkan, menunjuk-kan kembali.
3. Dapat
menjelaskan, mendefini-sikan dengan lisan sendiri.
4. Dapat
memberikan Contoh dan menggunakan secara tepat.
5. Dapat
menguraikan dan meng-klasifikasi.Dapat menghubung-kan, menyimpulkan,
mengene-ralisasi.
|
1. Tes
lisan, tulisan, observasi.
2. Tes
lisan, tulisan, observasi.
3. Tes
lisan, tulisan.
4. Tes
lisan, tulisan, observasi.
5. Tes
tulis dan pem-berian tugas.
6. Tes
tulis dan pem-berian tugas.
|
|
B. Afektif
(ranah
rasa)
1. Penerimaan
2. Sambutan
3. Apresiasi
(sikap menghargai)
4. Internalisasi
(pendalaman)
5. Karakterisasi
(penghayatan)
|
1. Menunjukkan
sikap menerima, dan menolak.
2. Kesediaan
terlibat dan meman-faatkan.
3. Menganggap
penting, berman-faat, indah, harmonis, menga-gumi
4. Mengakui,
meyakini, menging-kari.
5. Melembagakan
atau meniada-kan. menjelmakan dalam peri-laku sehari- hari.
|
1. Tes
tulis, tes skala sikap, observasi.
2. Tes
skala sikap, pemberian tugas, observasi.
3. Tes
skala penilai-an sikap, pemberi-an tugas, obser-vasi.
4. Tes
skala sikap, pemberian tugas, ekspresi.
5. Pemberian
tugas, ekspresif dan proyektif observasi
|
|
C. Psikomotor
(ranah karsa)
1. Ketrampilan
bergerak dan ber-tindak
2. Kecakapan
Ekspresi verbal
dan non verbal
|
1. Kecakapan
mengkordinasikan gerak mata, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya.
2. kefasihan
melafalkan keca-kapan membuat mimik dan gerakan jasmani.
|
g.
Tes tindakan
h. observasi
1. Tes
lisan, obser-vasi
2. Tes
tindakan.
|
|
Sumber: Syah (1999: 193-195)
Dari pengukuran yang meliputi tiga
ranah, kognitif, afektif, dan psikomotor tersebut, dapat ditentukan tingkat
pencapaian hasil belajar atau prestasi belajar siswa melalui skor yang
diperoleh siswa. Kemudian dari
perolehan skor tersebut dikonsultasikan kepada alternatif norma pengukuran
tingkat keberhasilan siswa yang telah dibakukan. Diantara norma-norma
pengukuran tersebut adalah: 1). Norma skala angka dari 0 sampai 10; dan 2).
Norma skala angka dari 0 sampai 100. Perolehan skor terendah yang dapat
dinyatakan sebagai keberhasilan belajar atau kelulusan (passing grade)
untuk skala 0-10 adalah 5,5 atau 6,0, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55
atau 60. artinya, jika seorang siswa dapat menyelesaikan lebih dari separuh
tugas atau dapat menjawab lebih dari setengah instrumen evaluasi dengan benar,
maka ia dianggap telah memenuhi target minimal keberhasilan belajar.
Namun demikian, untuk mata pelajaran
inti (Core Subjects) perlu dipertimbangkan perlunya menetapkan passing
grade atau KKM (kriteria ketuntasan minimal) yang lebih tinggi (misalnya 65
atau 70), mengingat mata pelajaran inti merupakan “kunci pembuka” ilmu
pengetahan lainnya. Mata pelajaran inti ini (Core Subjects) meliputi
bahasa dan matematika. Skala pengukuran tingkat keberhasilan siswa tersebut
berlaku untuk siswa tingkat pendidikan dasar dan menengah (Syah, 1999:
196-197). Pencapaian skor tersebut merupakan hasil interaksi dari berbagai
faktor yang mempengaruhinya, yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan atau
kegagalan proses pembelajaran.
Keberhasilan proses pembelajaran
pendidikan agama Islam dapat diketahui dengan menunjukkan hasil pencapaian
prestasi belajar agama Islam siswa, yang dapat ditempuh melalui pengukuran dari
tiga aspek sebagaimana telah ditentukan dalam kurikulum pendidikan agama Islam,
yakni aspek pengetahuan, aspek ketrampilan, dan aspek sikap. Artinya, dalam
menentukan prestasi belajar agama Islam, seorang guru dalam menentukan nilai
yang diperoleh siswa berdasarkan jumlah total nilai yang diperoleh siswa dari
masing-masing aspek dengan menggunakan skala 0–100. Dari perhitungan tersebut,
siswa dapat dinyatakan memiliki prestasi sangat baik jika mampu mencapai nilai
komulatif lebih dari (<90), dinyatakan berprestasi baik jika mampu meraih
nilai komulatif (80–89), dan berprestasi cukup baik jika mencapai nilai
komulatif (70-79), serta dianggap berprestasi cukup jika mencapai nilai
komulatif (60-69) dan dianggap memiliki prestasi kurang apabila siswa hanya
mampu mencapai nilai kurang dari (>59) (Tabel Kriteria Ketuntasan Minimal, MTs
Sholihiyyah Kalitengah Mranggen tahun pelajaran 2009/2010).
Bentuk pengukuran prestasi belajar
agama Islam, terbagi dalam tiga bentuk pengukuran untuk tiga aspek. Pertama,
untuk aspek pengetahuan berbentuk pemberian tes tertulis kepada siswa dengan
sejumlah pertanyaan yang terkait dengan materi pelajaran. Dari hasil jawaban
atau respon siswa terhadap pertanyaan tersebut, kemudian dicocokkan dengan
norma pengukuran atau standar penilaian yang telah ditentukan oleh guru, dari
hasil respon inilah siswa diberi skor untuk aspek pengetahuan.
Kedua, aspek ketrampilan
dengan bentuk pemberian tugas kepada siswa untuk mempraktekkan materi pelajaran
yang telah disampaikan guru kepada siswa. dari pemberian tugas praktek tersebut
akan diketahui sampai sejauhmana siswa mampu mempraktekkan materi pelajaran
yang telah disampaikan guru kepada siswa secara tepat dan benar. Misalnya
materi pelajaran shalat janazah, maka yang diukur adalah sampai sejauh mana
siswa mampu mempraktekkan shalat janazah secara tepat dan benar, baik kefasihan
lafaz, mahraj, maupun kekhusuan.
Ketiga, aspek sikap, dengan
bentuk pengamatan langsung terhadap perilaku siswa sehari-hari di sekolah, atau
dapat juga melalui bantuan guru BP untuk mengetahui apakah siswa yang
bersangkutan sering mempunyai kasus ataukah tidak. Disamping melakukan
pengamatan langsung, juga melakukan pengamatan tidak langsung melalui orang tua
siswa tentang perilaku siswa bersangkutan ketika di rumah. Dari hasil
pengamatan tersebut kemudian guru memberi skor kepada siswa bersangkutan untuk
aspek sikap (Depdiknas, 2003: 58).
Jumlah total skor yang dicapai oleh
siswa dari tiga aspek tersebut, kemudian dijumlahkan. Hal ini menunjukkan bahwa
penentuan nilai pendidikan agama Islam untuk siswa, tidak lagi semata-mata
ditentukan hanya dari aspek kognitif, tetapi juga ditentukan oleh aspek afektif
dan psikomotor. Karena ajaran Islam bukan hanya terkait dengan pengetahuan
semata, akan tetapi yang paling menentukan adalah dalam aplikasinya dalam
kehidupan (pengamalannya). Azizy (2003: 58), menekankan pentingnya pelajaran
agama Islam diikuti dengan praktek langsung oleh tiap-tiap siswa yang mengikuti
materi pelajaran pendidikan Islam. Lebih lanjut Azizy mencontohkan, ajaran
Islam yang bermuatan etika sosial seperti kesucian dan kebersihan (t}aharah dan naz}afah) seharusnya
bukan untuk dihafal saja, melainkan harus langsung dipraktekkan.
Demikian pula ajaran tentang ketepatan
waktu (al-as}r), tanggung jawab (mas’u<liyah),
menepati janji (wafa’ al ‘ahd), dan hal-hal yang terkait dengan hak-hak
orang lain (haq al-adami), juga harus dipraktekkan langsung, disamping
tentunya ajaran pokok Islam, s}alat, zakat, puasa dan haji (Azizy, 2003: 58). Dengan demikian, akan dapat dihindari adanya
pemberian nilai yang kurang tepat. Misalnya, memberikan nilai 9 atau bahkan 10
pada mata pelajaran agama Islam terhadap siswa yang tidak rajin shalat, tidak
rajin puasa, dan tidak memiliki akhlak yang baik, hanya karena siswa tersebut
mampu menjawab dengan benar sebagian besar atau bahkan keseluruhan pertanyaan
yang diujikan.
Sedangkan siswa yang rajin s}alat, rajin puasa, dan menunjukkan prilaku akhlakul
karimah memperoleh nilai 6 pada mata pelajaran agama Islam hanya karena tidak
dapat menjawab dengan benar semua pertanyaan atau sebagian besar pertanyaan
yang diujikan. Dengan sitem penilaian semisal ini, akan lebih fair dan jujur
dalam menilai siswa, sekaligus menghindari tuduhan sebagian orang yang
beranggapan bahwa Islam diajarkan lebih menekankan pada hafalan, menekankan
pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhan, mengabaikan penalaran dan
argumentasi berfikir untuk problem-problem keagamaan, dan mengabaikan
penghayatan nilai-nilai agama dalam pengamalannya, serta mengukur keberhasilan
pendidikan agama Islam hanya masih bersifat formalitas dan verbalitas (Azizy,
2003: 61).
B. Motivasi Belajar
1. Pengertian
Dalam pengggunaan istilah, sering
terdapat penyamaan istilah motif dan motivasi untuk menyatakan hal yang
sama. Mempersamakan kedua istilah itu memang tidak menimbulkan kerugian, namun
ada baiknya diketahui, bahwa istilah itu tidak persis sama.
W.S. Winkel (1983: 53) mengatakan
bahwa ”motif” adalah:
”...daya penggerak di dalam diri orang untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi motif
itu merupakan suatu kondisi internal atau disposisi internal. Dalam bahasa yang
lebih sederhana, motif itu adalah ”kesiap-siagaan” dalam diri seseorang.
Motivasi diartikan sebagai motif yang sudah menjadi aktif pada saat melakukan
suatu perbuatan, sedangkan motif sudah ada dalam diri seseorang, jauh sebelum
orang itu melakukan suatu perbuatan”.
Whittaker
dalam Pasaribu (1983: 50), mendefinisikan motif sebagai berikut: ”Motivasion
is broad term used in psichology to cover those internal conditions or states
that activate or energize the organism and that lead to goal directed
behaviour”. (motivasi adalah suatu istilah yang sifatnya luas, yang
digunakan dalam psikologi, yang meliputi kondisi-kondisi atau keadaan internal
yang mengaktifkan atau memberi kekuatan kepada organisme, dan mengarahkan
tingkah laku organisme mencapai tujuan).
Mulyani M. dalam Darsono (1984: 62),
mengambil definisi dari Atkinson sebagai berikut: ”Motif adalah suatu disposisi
laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu; tujuan ini
dapat berupa prestasi, afiliasi, atau kekuasaan”. ”Motivasi adalah keadaan
individu yang terangsang yang terjadi jika suatu motif telah dihubungkan dengan
suatu pengharapan yang sesuai”.
Sardiman (2001: 71), berpendapat
bahwa motivasi berasal dari kata “motif ” yang diartikan sebagai daya upaya
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai
daya penggerak dari dalam dan di dalam subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas
tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu
kondisi intern (kesiap-siagaan ). Berawal dari kata “motif” maka
motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif.
Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang
ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan
terhadap adanya tujuan. W.S Winkel mengatakan bahwa “motif” adalah daya
penggerak di dalam diri orang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu,
demi mencapai suatu tujuan tertentu. Motif adalah keadaan dalam pribadi orang
yang mendorong individu atau melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu
tujuan (Suryabrata, 1990: 70).
Sedangkan Clifford
T. Morgan (1961: 66) berpendapat, “Motivation is a general term referring to
state that motivate behaviour, to the behaviour motivated by these, and to the
goals or end of such behaviour”. Motivasi adalah istilah umum yang
menunjukkan kepada keadaan yang menggerakkan tingkah laku, tingkah laku itu
digerakkan oleh adanya kedudukan dan untuk tujuan akhir dari tingkah laku.
Dalam kegiatan belajar mengajar, apabila ada seseorang
siswa, tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dikerjakan, maka perlu diselidiki
sebab-sebabnya. Sebab itu biasanya bermacam-macam, mungkin ia tidak senang,
mungkin sakit, lapar, ada problem pribadi dan lain-lain. Hal ini berarti pada
diri anak tidak terjadi perubahan energi, tidak terangsang afeksinya untuk
melakukan sesuatu, karena tidak memiliki tujuan atau kebutuhan belajar. Keadaan
semacam ini perlu dilakukan daya upaya yang dapat menemukan sebab-sebabnya dan
kemudian mendorong seseorang siswa mau melakukan pekerjaan yang seharusnya
dilakukan, yakni belajar. Dengan
kata lain siswa perlu diberi rangsangan agar tumbuh motivasi pada dirinya.
Motivasi juga dapat dikatakan
serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga sesorang
mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akan berusaha
untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Jadi motivasi dapat
dirangsang oleh faktor luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam diri
seseorang. Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai
keseluruhan daya penggerak didalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan
belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan
arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek
belajar itu dapat tercapai. Dikatakan keseluruhan, karena pada umumnya ada
bebrapa motif yang bersama-sama menggerakkan siswa untuk belajar. Motivasi belajar adalah merupakan faktor psikis
yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang khas adalah dalam menumbuhkan
gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi
kuat, akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar. Ibaratnya
seseorang itu menghadiri suatu ceramah, tetapi karena tidak tertarik pada
materi yang diceramahkan, maka tidak akan mencamkan, apalagi mencatat isi ceramah
tersebut. Seseorang itu tidak memiliki motivasi, kecuali karana paksaan atau
sekedar seremonial. Seseorang yang memiliki intelligensia cukup tinggi, boleh
jadi gagal karena kekurangan motivasi (Sardiman, 2001: 73).
Hasil belajar itu akan optimal kalau
ada motivasi yang tepat dengan demikian maka kegagalan belajar siswa jangan
begitu saja mempersalahkan pihak siswa. Sebab mungkin saja guru tidak berhasil
dalam memberi motivasi yang mampu membangkitkan semangat dan kegiatan siswa
untuk berbuat belajar. Jadi
tugas guru bagaimana mendorong para siswa agar pada dirinya tumbuh motivasi.
Persoalan motivasi ini, dapat juga dikaitkan dengan
persoalan minat. Minat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi apabila
seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan
keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu, apa
yang dilihat seseorang sudah tentu akan membangkitkan minatnya sejauh apa yang
dilihat itu mempunyai hubungan dengan kepentingannya sendiri. Hal ini menunjukkan
bahwa minat merupakan kecenderungan jiwa seseorang kepada seseorang (biasanya
disertai dengan perasaan senang), karena itu merasa ada kepentingan dengan
sesuatu itu. Menurut Bernard, minat timbul tidak secara tiba-tiba/spontan,
melainkan timbul akibat dari partisipasi, pengalaman, kebiasaan pada waktu
belajar atau bekerja. Jadi minat akan selalu berkait
dengan soal kebutuhan atau keinginan. Oleh karena itu yang penting bagaimana
menciptakan kondisi tertentu agar siswa itu selalu butuh dan ingin terus
belajar.
Berdasarkan definisi dan penjelasan tersebut
dapat disimpukan bahwa ”motif” tidak hanya mendorong orang untuk bertingkah
laku, tetapi juga memberi arah pada tingkah laku yang mengarah pada pencapaian
tujuan, bahwa motif itu bersifat potensial, sedangkan motivasi bersifat aktual.
”Motivasi belajar” dapat diartikan suatu tenaga daya penggerak yang bersifat
non intelektual, yang berupa dorongan, (alasan, kemauan), dari dalam maupun
dari luar yang menyebabkan siswa berbuat atau melakukan aktivitas belajar.
2. Macam-macam Motivasi
Berbicara tentang macam atau jenis
motivasi, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian menurut
Sardiman (2001: 84), motivasi atau motif-motif yang aktif itu sangat
bervariasi.
a. Motivasi dilihat dari dasar
pembentukannya
1) Motif-motif bawaan.
Yang dimaksud
dengan motif bawaan adalah motif yang dibawa sejak lahir, jadi motivasi itu ada
tanpa dipelajari. Misalnya dorongan untuk makan, dorongan untuk minum, dorongan
untuk bekerja, untuk beristirahat, dorongan seksual. Motif-motif
ini seringkali disebut motif-motif yang disyaratkan secara biologis. Relevan dengan ini, maka Frandsen (Sardiman, 2001:
84) memberi istilah jenis motif Psysiological drives.
2) Motif-motif yang dipelajari.
Maksudnya motif-motif
yang timbul karena dipelajari. Misalnya; doronganm untuk mengajar sesuatu
didalam masyarakat. Motif-motif ini seringkali disebut dengan motif-motif yang
diisyaratkan secara sosial. Sebab manusia hidup dalam lingkungan sosial dengan
sesama manusia yang lain, sehingga motivasi itu terbentuk. Frandsen
mengistilahkan dengan affiliative needs. Sebab justru dengan kemampuan
berhubungan, kerja sama di dalam masyarakat tercapailah suatu kepuasan diri.
Sehingga manusia perlu mengembangkan sifat-sifat ramah, kooperatif, membina
hubungan baik dengan sesama, apalagi orang tua dan guru. Dalam kegiatan belajar-mengajar, hal ini dapat membantu
dalam usaha mencapai prestasi. Frandsen
masih menambah jenis- jenis motif ini:
a)
Cognitive motives
Motif ini
menunjuk pada gejala intrinsic, yakni menyangkut kepuasan individual. Kepuasan individual yang berada di dalam diri
manusia dan biasanya berwujud proses dan produk mental. Jenis motif seperti ini
adalah sangat primer dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah, terutama yang
berkaitan dengan pengembangan intelektual.
b)
Self-Expression
Penampilan
diri adalah sebagaian dari perilaku manusia. yang penting kebutuhan individu
itu tidak sekedar tahu mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi, tetapi juga
mampu membuat suatu kejadian. Untuk ini memang diperlukan kreativitas, penuh
imajinasi. Jadi dalam hal ini seseorang itu ada keinginan untuk aktualisasi
diri.
c)
Self-enhancement
Melalui
aktualisasi diri dan pengembangan kompetensi akan meningkatkan kemajuan diri
seseorang. Ketinggian dan kemajuan diri ini menjadi salah satu keinginan bagi
setiap individu. Dalam belajar dapat diciptakan suasana kompetisi yang sehat
bagi anak didik untuk mencapai suatu prestasi.
b.
Jenis-jenis Motivasi Menurut Woodworrth
dan Marquis
Menurut Woodworrth dan Marquis dalam Sardiman (2001: 86),
jenis-jenis motivasi adalah:
1) Motif atau kebutuhan organis, misalnya; kebutuhan untuk
minum, makan, bernafas, seksual, berbuat dan kebutuhan untuk beristirahat. Ini sesuai dengan jenis Psysiological drives
dari Frandsen.
2) Motif-motif darurat, yang
termasuk dalam jenis ini anatara lain: dorongan untuk menyelamatkan diri,
dorongan untuk membalas, untuk berusaha, untuk memburu. Jelasnya motivasi jenis
ini timbul karena rangsangan dari luar.
3) Motif-motif obyektif. Dalam
hal ini menyangkut kebutuhan untuk melakukan eksplorasi, melakukan manipulasi,
untuk menaruh minat. Motif-motif
ini muncul karena dorongan untuk dapat menghadapi dunia luar secara efektif .
c. Motivasi Jasmaniah dan Rohaniah
Ada beberapa
ahli yang menggolongkan jenis motivasi itu menjadi dua jenis yakni motivasi
jasmaniah dan motivasi rohaniah. Yang termasuk motivasi jasmaniah misalnya;
refleks, instink otomatis, nafsu. Sedangkan yang termasuk motivasi rohaniah,
yaitu kemauan (Sardiman, 2001: 86).
d. Motivasi intrinsik dan
ekstrinsik
1) Motivasi intrinsik
Yang dimaksud
dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau
berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap
individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh seseorang
yang senang membaca, tidak usah ada yang menyuruh atau mendorongnya, ia sudah
rajin mencari buku-buku untuk dibacanya. Dilihat dari segi tujuan kegiatan yang
dilakukannya, maka yang dimaksud dengan motivasi instrinsik ini adalah ingin
mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan membaca itu sendiri. Seorang
siswa itu melakukan belajar, karena betul-betul ingin mendapat pengetahuan,
nilai atau ketrampilan agar dapat berubah tingkahlakunya secara konstruktif,
tidak karena tujuan yang lain-lain. ” Instrinsic motivations
are inherent in the learning situasions and meet pupil-needs and purpses”. Motivasi instrinsik dapat
juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang didalamnya aktivitas belajar
dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak
berkait dengan aktivitas belajarnya. Seperti contoh bahwa seseorang belajar,
memang benar-benar ingin mengetahui segala sesuatunya, bukan karena ingin
pujian atau ganjaran.
Perlu diketahui bahwa siswa yang memiliki motivasi
intrinsik akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, yang
berpengetahuan, yang ahli dalam bidang studi tertentu. Satu-satunya jalan untuk
menuju ke tujuan yang ingin dicapai adalah belajar, tanpa belajar tidak mungkin
dapat pengetahuan, tidak mungkin menjadi ahli. Dorongan yang menggerakkan itu
bersumber pada suatu kebutuhan, kebutuhan yang berisikan keharusan untuk
menjadi orang yang terdidik dan berpengetahuan. Jadi memang motivasi itu muncul dari kesadaran diri
sendiri dengan tujuan secara esensial, bukan sekedar simbul dan seremonial.
2) Motivasi ekstrinsik
Motivasi
ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya
perangsang dari luar. Sebagai contoh seseorang itu belajar, karena tahu besuk
paginya akan ujian dengan harapan mendapatkan nilai baik, sehingga akan
mendapatkan pujian dari temannya. Jadi yang penting bukan karena belajar ingin
mengetahui sesuatu, tetapi ingin mendapatkan nilai yang baik, atau agar
mendapatkan pujian. Jadi kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang
dilakukannya, tidak secara langsung bergayut dengan esensi apa yang
dilakukannya itu. Oleh karena itu motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan
sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan
diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan
dengan aktivitas belajar.
Perlu
ditegaskan, bukan berarti bahwa motivasi esktrinsik ini tidak baik dan tidak
penting. Dalam kegiatan belajar-mengajar tetap penting. Sebab kemungkinan besar
keadaan siswa itu dinamis, berubah-ubah, dan juga mungkin komponen-komponen
lain dalam proses belajar-mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa, sehingga
diperlukan motivasi ekstrinsik. Karena itu pula motivasi diklasifikasikan
menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik
(Rusyan,1989:120).
Kesimpulanya
adalah bahwa motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau
berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dari dalam individu sudah
ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah
motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar.
3. Fungsi Motivasi dalam Belajar
Di dalam realitas pendidikan, motivasi
belajar tidak selalu timbul dalam diri siswa. Sebagian siswa mempunyai motivasi
belajar yang tinggi, tetapi sebagian lain motivasinya rendah atau bahkan tidak
ada sama sekali (Darsono, 1984: 63). Bagi siswa yang tidak mempunyai motivasi
belajar, besar kemungkinan ia tidak akan mencapai tujuan belajar. Bila hal
seperti ini tidak diperhatikan, di bantu, maka siswa akan gagal dalam belajar.
Oleh karena itu, guru sebagai orang yang membelajarkan siswa, harus peduli
dengan masalah motivasi ini. Guru bukanlah pengajar yang sudah lega bila semua
pokok bahasan dari suatu mata pelajaran sudah tersampaikan tepat pada waktunya.
Ia tidak hanya berbangga hati bila ia telah menyampaikan materi pelajaran
dengan berbagai metode pembebelajaran yang canggih.
Disamping itu semua, yang tidak
kalah pentingnya, ia harus mau dan mampu memotivasi siswa yang rendah motivasi
belajarnya, dan meningkatkan motivasi siswa yang sudah mempunyai motivasi
belajar. Kepedulian guru terhadap masalah motivasi belajar siswa bukanlah hal
yang mengada-ada, melainkan sebagai tugas yang melekat dalam diri guru. Sekali
guru dapat membangun motivasi siswa terhadap pelajaran yang diajarkan,
diharapkan seterusnya siswa akan selalu meminta mata pelajaran tersebut.
Bahwa motivasi yang dilakukan oleh
guru, pada mulanya bersifat ekstrinsik, tetapi diharapkan untuk selanjutnya
dapat berubah menjadi motivasi intrinsik. Sebagai konsekuensi tugas memotivasi
siswa, guru hendaknya memahami, menghayati dan menerapkan konsep-konsep dan
teknik-teknik memotivasi siswa.
Dalam proses belajar, motivasi
sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar,
tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru. Bagi siswa
pentingnya motivasi belajar adalah:
a.
Menyadarkan kedudukan pada awal belajar, proses dan hasil
akhir
b.
Menginformasikan tentang
kekuatan usaha belajar, yang dibandingkan dengan teman sebaya
c.
Mengarahkan kegiatan
belajar
d.
Membesarkan semangat
belajar
e.
Menyadarkan tentang
adanya perjalanan belajar dan kemudian bekerja yang berkesinambungan; individu
dilatih untuk menggunakan kekuatannya sedemikian rupa sehingga dapat berhasil (Dimyati
dan Mudjiono, 1994: 120).
Keberhasilan
siswa dalam belajar bukan hanya ditentukan oleh kemampuan intelektual, tetapi
juga oleh segi-segi afektif terutama motivasi. Dalam membangkitkan motivasi belajar para siswa, guru perlu memperhatikan
beberapa hal, yaitu:
1)
Lebih banyak memberikan penghargaan atau pujian daripada
hukuman, sebab siswa lebih termotivasi oleh hal-hal yang menimbulkan rasa
senang daripada rasa sakit
2)
Terhadap pekerjaan-pekerjaan siswa, sebaiknya guru
memberikan komentar tertulis dan jangan hanya komentar lisan
3)
Pendapat dari teman-teman
sekelas lebih memberikan motivasi yang kuat daripada hanya pendapat dari guru
4)
Strategi atau metode mengajar yang sesuai dengan minat
siswa akan lebih membangkitkan motivasi dibandingkan dengan yang bersifat teoritis
5)
Guru hendaknya banyak menekankan pelajaran kepada
kenyataan sebab hal-hal yang nyata lebih membangkitkan motivasi dibandingkan
dengan yang bersifat teoritis
6)
Penggunaan metode atau strategi mengajar yang bervariasi
dapat membangkitkan motivasi belajar
7)
Kegiatan belajar yang banyak memberikan tantangan, lebih
mengaktifkan dan memberikan dorongan yang wajar (Sukmadinata, 2003: 265-266).
4. Bentuk-bentuk Motivasi di Sekolah
Motivasi bagi pelajar dapat
mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat mengarahkan dan memelihara
ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar (Sardiman AM, 2001: 89 ). Dalam
kaitan itu, perlu diketahui bahwa cara dan jenis menumbuhkan motivasi adalah
bermacam-macam. Tetapi untuk motivasi ekstrinsik kadang-kadang tepat, dan
kadang-kadang juga bisa kurang sesuai. Guru harus hati-hati dalam menumbuhkan dan
memberi motivasi bagi kegiatan belajar para anak didik. Sebab mungkin maksudnya
memberikan motivasi tetapi justru tidak menguntungkan perkembangan belajar
siswa.
Beberapa bentuk dan cara untuk
menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah menurut Djamarah (2002: 115),
diantaranya:
a. Memberi angka
Angka dalam
hal ini sebagai simbul dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa belajar,
yang utama justru untuk mencapai angka atau nilai baik. Sehingga siswa biasanya
yang dikejar adalah nilai ulangan atau nilai-nilai pada raport angkanya baik.
Angka-angka
yang baik bagi para siswa merupakan motivasi yang sangat kuat. Bahkan banyak
siswa bekerja atau belajar hanya ingin mengejar pokoknya naik kelas saja. Ini
menunjukkan motivasi yang dimilikinya kurang berbobot bila dibandingkan dengan
siswa-siswa yang menginginkan angka baik. Namun semua itu harus diingat oleh
guru bahwa pencapaian angka-angka seperti itu belum merupakan hasil belajar yang
sejati, hasil belajar yang bermakna. Oleh karena itu langkah selanjutnya yang
ditempuh adalah bagaimana cara memberikan angka- angka dapat dikaitkan dengan values
yang terkandung di dalam setiap pengetahuan yang diajarkan kepada para siswa
sehingga tidak sekedar kognitif saja tetapi juga keterampilan dan afeksinya.
b. Hadiah
Hadiah dapat
juga dikatakan sebagai motivasi, tetapi tidaklah selalu demikian. Karena hadiah
untuk suatu pekerjaan, mungkin tidak akan menarik bagi seorang yang tidak
senang dan tidak berbakat untuk suatu pekerjaan tersebut. Misalnya hadiah yang
diberikan untuk gambar yang terbaik mungkin tidak akan menarik bagi seseorang
siswa yang tidak memiliki bakat menggambar.
c. Saingan/ kompetisi
Saingan atau
kompetisi dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk mendorong belajar siswa.
persaingan, baik persaingan individual maupun persaingan kelompok dapat
meningkatkan prestasi belajar siswa. memang persaingan banyak dimanfaatkan di
dalam dunia industri atau perdagangan, tetapi juga sangat baik digunakan untuk
meningkatkan kegiatan belajar siswa.
d. Ego-involvement
Menumbuhkan
kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai
tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri, adalah
sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting. Seseorang akan berusaha
dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi yang baik dengan menjaga harga
dirinya. Penyelesaian tugas dengan baik adalah simbol kebanggaan dan harga
diri, begitu juga untuk siswa subjek belajar. Para siswa akan belajar dengan keras bisa jadi karena harga dirinya.
e. Memberi ulangan
Para siswa
akan menjadi giat belajar kalau mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu
memberi ulangan ini juga merupakan sarana motivasi. Tetapi yang harus diingat
oleh guru, adalah jangan terlalu sering (misalnya setiap hari) karena bisa
membosankan dan bersifat rutinitas. Dalam hal ini guru harus terbuka maksudnya, kalau akan ulangan
harus diberitahukan kepada siswanya.
f. Mengetahui hasil
Dengan
mengetahui hasil pekerjaan, apalagi kalau terjadi kemajuan, akan mendorong
siswa untuk lebih giat belajar. Semakin mengetahui bahwa hasil belajar
meningkat, maka ada motivasi pada diri siswa untuk terus belajar, dengan suatu
harapan hasilnya terus meningkat.
g. Pujian
Apabila ada
siswa yang sukses yang berhasil menyelesaikan tugas dengan baik, perlu
diberikan pujian. Pujian ini adalah bentuk reinforcement yang positif
dan sekaligus merupakan motivasi yang baik. Oleh karena itu supaya pujian ini
merupakan motivasi, pemberiannya harus tepat. Dengan pujian yang tepat akan
memupuk suasana yang menyenangkan dan mempertinggi gairah belajar serta
sekaligus akan membangkitkan harga diri.
h. Hukuman
Hukuman
sebagai reinforcement yang negatif tetapi kalau diberikan secara tepat
dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Oleh karena itu, guru harus memahami
prinsip-prinsip pemberian hukuman.
i.
Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk
belajar, berarti ada unsur kesengajaan, ada maksud untuk belajar. Hal ini akan
lebih baik, bila dibandingkan segala sesuatu kegiatan yang tanpa maksud. Hasrat
untuk belajar berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk
belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya akan lebih baik.
j.
Minat
Motivasi
muncul karena ada kebutuhan, begitu juga minat sehingga tepatlah kalau minat
merupakan alat motivasi yang pokok. Proses belajar itu akan berjalan lancar
kalau disertai dengan minat. Minat dapat dibangkitkan dengan cara; a)
membangkitkan adanya suatu kebutuhan, b) menghubungkan dengan persoalan
pengalaman yang lampau, c) memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil yang
baik, d) menggunakan berbagai macam bentuk mengajar.
k. Tujuan yang diakui
Rumusan tujuan
yang diakui dan diterima baik oleh siswa, merupakan alat motivasi yang sangat
penting. Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, dirasa sangat berguna
dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk terus belajar.
5. Faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Belajar
Belajar adalah suatu
tingkahlaku atau kegiatan dalam rangka mengembangkan diri, baik dalam aspek
kognitif, psikomotor, maupun sikap (Darsono, 64). Agar kegiatan ini terwujud,
harus ada motivasi, yang disebut motivasi belajar.
Motivasi belajar dapat timbul
tenggelam atau berubah, terkadang siswa memiliki motivasi belajar tinggi dan
terkadang motivasi belajarnya rendah, hal ini disebabkan beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Menurut Darsono(1984: 64-67), siswa yang memiliki motivasi
belajar tinggi atau rendah di indikasikan sebagai berikut:
a. Cita-cita atau Aspirasi
Cita-cita
disebut juga aspirasi adalah suatu target yang ingin dicapai. Penentuan target
ini tidak sama bagi semua siswa. Target ini diartikan sebagai tujuan yang
ditetapkan dalam suatu kegiatan yang mengandung makna bagi seseorang.
Yang dimaksud
dengan cita-cita atau aspirasi disini ialah tujuan yang ditetapkan dalam suatu
kegiatan yang mengandung makna bagi seseorang (Winkel, 1989: 96). Aspirasi ini
dapat bersifat positif, dapat pula bersifat negatif. Siswa yang mempunyai
aspirasi positif adalah siswa yang menunjukkan hasratnya untuk memperoleh
keberhasilan (Darsono, 1984: 65).
Sebaliknya
siswa yang memiliki aspirasi negatif adalah siswa yang menunjukkan keinginan
atau hasrat menghindari kegagalan. Siswa yang mempunyai aspirasi positif dan
memmiliki taraf aspirasi realistik biasanya mempunyai motif berprestasi,
demikian sebaliknya. Siswa yang mempunyai aspirasi negatif atau tidak realistik
apabila penetapan taraf keberhasilan itu tidak wajar, artinya terlalu tinggi
atau terlalu rendah dibanding dengan kemampuan belajar siswa atau kenyataan
yang dicapai siswa sehari-hari.
b. Kemampuan Belajar
Dalam belajar
dibutuhkan kemampuan, kemampuan ini meliputi beberapa aspek psikis yang
terdapat dalam diri siswa, misalnya pengamatan, perhatian, ingatan, daya pikir,
dan fantasi. Orang belajar dimulai dengan mengamati bahan yang dipelajari.
Pengamatan dilakukan dengan mengfungsikan panca indera. Makin baik pengamatan
seseorang makain jelas tanggapan yang terekam dalam dirinya, dan makin mudah
orang mereproduksi atau mengingatnya dan mengolahnya kembali dengan berfikir,
sehingga memperoleh sesuatu yang baru. Daya fantasi juga sangat berpengaruh
terhadap perolehan pengetahuan, ketrampilan dan sikap.
Dalam
kemampuan belajar, taraf perkembangan berfikir siswa, menjadi ukuran. Siswa
yang taraf perkembangan berfikirnya kongkrit tidak sama dengan siswa yang sudah
sampai pada taraf perkembangan berpikir operasional. Jadi siswa yang mempunyai
kemampuan belajar tinggi biasanya lebih bermotivasi dalam belajar, karena siswa
sepertinya itu lebih sering memperoleh sukses, sehingga kesuksesan ini memperkuat
motivasinya.
c. Kondisi Siswa
Kondisi siswa
juga mempengaruhi motivasi belajar, kondisi fisik yang lemah, misalnya lesu,
mengantuk atau sakit, serta kondisi psikis, cemas dan perasaan-perasaan yang
tidak menyenagkan yang terbawa ke sekolah. Maka kondisi-kondisi fisik dan
psikologis semacam ini dapat menguragi bahkan menghilangkan motivasi belajar
siswa.
d. Kondisi Lingkungan
Kondisi
lingkungan merupakan unsur-unsur yang datang dari luar diri siswa. Lingkungan
siswa, sebagaimana juga lingkungan individu pada umumnya, ada tiga, yaitu
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Berarti unsur-unsur yang
mendukung atau yang menghambat dapat berasal dari ketiga lingkungan tersebut. Suasana belajar yang menyenagkan, penampilan diri
guru yang menarik, membantu siswa termotivasi dalam belajar. Lingkungan fisik
sekolah, sarana dan prasarana yang baik dan memadai membuat siswa betah dan
termotivasi belajar. Kebutuhan berprestasi, dihargai, diakui yang merupakan
kebutuhan emosional psikologis harus terpenuhi, agar motivasi belajar timbul
dan dapat dipertahankan.
e. Unsur-unsur Dinamis dalam
Belajar
Unsur-unsur
dinamis dalam belajar adalah unsur-unsur yang keberadaannya dalam proses
belajar tidak stabil, kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah dan bahkan hilang
sama sekali, khususnya kondisi-kondisi yang sifatnya kondisioanal. Misalnya
keadaan emosi siswa, gairah belajar, situasi dalam keluarga dan lain-lain.
f. Upaya Guru Membelajarkan
siswa
Upaya yang
dimaksud adalah bagaimana guru mempersiapkan diri dalam membelajarkan siswa
mulai dari penguasaan materi, cara menyampaikannnya, menarik perhatian siswa,
mengevaluasi hasil belajar siswa dan lain-lain. Bila upaya-upaya tersebut
dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan siswa maka diharapkan akan
menimbulkan motivasi belajar siswa.
C. Kecerdasan (Intelegensi)
1. Pengertian
Kecerdasan atau intelligence
ini pada awalnya menjadi perhatian utama bagi kalangan ahli psikologi
pendidikan. Semiawan (1997: 81-83) mengikhtisarkan berbagai pengertian dan
definisi tentang kecerdasan (intelligence) dari para ahli ke dalam tiga
kriteria, yakni judgment (penilaian), comprehension (pengertian),
dan reasoning (penalaran). Kecerdasan, (kecakapan) atau inteligence
bukanlah substansi (suatu benda) atau kekuatan, yang terletak dalam bagian
tertentu dari tubuh seseorang, perilaku intelegen atau cerdas ada kaitannya
dengan konsep intelegensi. Kecerdasan adalah penyifatan kualifikasi perilaku
individu yang menunjukkan pernyataan intelek yang digunakan (Makmun, 2004:53).
Claparede dan Stern dalam Sarwono
(1996: 71), memberi definisi inteligensi adalah penyesuaian diri secara mental
terhadap situasi atau kondisi baru. Di lain pihak Buhler memberi definisi
intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian. Lebih
lanjut ia memberikan definisi intelegensi sebagai berikut: Intelegensi adalah
kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah, serta mengolah
dan menguasai lingkungan secara efektif. Kemampuan itu adalah kemampuan untuk
mengolah lebih jauh lagi hal-hal yang kita amati. Kemampuan ini terdiri dari
dua jenis, yaitu kemampuan umum dan kemampuan khusus.
Menurut Langer (2001: 16),
inteligensi adalah kesanggupan dalam suatu kesatuan untuk mendeteksi,
mengartikan, menyimpan, menyusun dan memproses tanda-tanda yang timbul di alam
sekitar dan diri sendiri dan mengubah serta menghasilkan itu semua menjadi satu
pola-pola instruksi yang optimal. Optimal
dalam artian memberikan hasil yang menguntungkan bagi individu atau kelompok
dimana inteligensi itu bekerja.
Kesimpulanya inteligensi adalah
kesanggupan penyesuaian diri secara mental melalui penilaian, pengertian dan
penalaran, dalam suatu kesatuan untuk mendeteksi, mengartikan, menyimpan,
menyusun dan memproses tanda-tanda yang timbul di alam sekitar dan diri sendiri
dan mengubah serta menghasilkan itu semua menjadi satu pola-pola instruksi yang
optimal. Optimal dalam artian
memberikan hasil yang menguntungkan bagi individu atau kelompok dimana
inteligensi itu bekerja.
2. Kecerdasan Intelektual
Salah satu keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah
disamping manusia diberi kesempurnaan dan keindahan tubuh oleh Allah, manusia
juga diberi otak yang cerdas, dengan otak yang cerdas inilah manusia sangat
berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Karena dengan kecerdasan otak manusia bisa berfikir dan melahirkan
peradaban. Sedangkan makhluk yang lain tidak mampu berfikir layaknya manusia (Amin,
2003: 51).
Istilah kecerdasan Intelektual diperkenalkan untuk pertama kalinya pada
tahun 1912 oleh seorang ahli psikologi berkebangsaan Jerman bernama William
Stero. Salah satu cara yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya
intelegensi adalah dengan menerjemahkan hasil tes Intelegensi kedalam
angka-angka yang menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang
bila di bandingkan secara relatif terhadap suatu norma (Azwar, 1999: 51).
Dalam perspektif psikologis, kecerdasan Intelektual dianggap sebagai
kemampuan mental seseorang dalam merespon dan menyelesaikan problem-problem,
dari yang bersifat kuantitatif dan fenomenal, seperti matematika, fisika,
data-data sejarah dan sebagainya. Menurut Suharsono kecerdasan intelektual
adalah kemampuan seseorang untuk mengenal dan merespon alam semesta atau obyek
yang berada diluar dirinya (outward looking). Hal senada diungkapkan
oleh Mulyadi dalam Ummi (2002: 9) pemerhati dan praktisi masalah anak, ia mengatakan
bahwa kecerdasan Intelektual itu penting untuk memahami gejala alam dan gejala
pengetahuan.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa semua jenis kecerdasan itu sebagai suatu
potensi; sesungguhnya ada pada setiap orang hanya saja tinggi rendah atau kuat
lemahnya masing-masing kecerdasan itu berbeda-beda. Demikian halnya dengan
potensi kecerdasan intelektual, ada pada setiap orang akan tetapi tingkatnya
berbeda-beda. Perbedaan tingkat Kecerdasan Intelektual (IQ) itu, dapat dilihat
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wechster yang dikutip oleh Amin
(2003: 70), dengan klasifikasi intelegensi sebagai berikut:
IQ 130 – ke atas :
Sangat unggul (genius)
IQ 120 – 129 : Unggul
IQ 110 – 119 : Cakap normal
IQ 90 – 109 :
Rata-rata
IQ 80 – 89 :
Lamban normal
IQ 70 – 79 :
Batas dungu
IQ 70 – ke bawah : Cacat mental
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan kecerdasan Intelektual (Amin, 2003: 70-80) adalah:
a.
Penalaran
Penalaran adalah cara kerja dan sekaligus
karakteristik kecerdasan Intelektual, untuk mengembangkan kecerdasan
Intelektual harus terus menerus melakukan penalaran terhadap segala hal,
terutama tentang fenomena alam, pada diri manusia sendiri, perkembangan IPTEK
dan sebagainya.
b.
Eksperimen
Disamping
penalaran, eksperimen juga merupakan langkah penting untuk mengembangkan
kecerdasan intelektual dan menjadi kegiatan yang disenangi oleh orang cerdas
intelektual. Dorongan rasa
ingin tahu yang tinggi membuat mereka suka melakukan eksperimen. Biasanya
mereka tidak terlalu mempedulikan kegagalan, justru kegagalan menjadi batu
loncatan bagi penyempurnaan-penyempurnaan terhadap temuan mereka.
c.
Ingatan
Orang yang cerdas Intelektual, mempunyai daya ingat yang
baik. Daya ingat atau kemampuan mengingat itu sangat penting, baik untuk
keperluan belajar, pengembangan ilmu pengetahuan dan lain-lain. Lebih lanjut
Amin (2003: 51-52) mengutip dalam buku “The Great Memory Book” karya
Eric Jensen dan Karen Markowitz: “ingatan merupakan suatu proses biologi yakni
informasi di beri kode dan dipanggil kembali”. Pada dasarnya ingatan adalah
suatu yang membentuk jati diri manusia dan membedakan manusia dari makhluk
hidup lainnya. Ingatan memberi manusia titik-titik rujuk pada masa lalu dan
perkiraan masa depan, ingatan merupakan kumpulan reaksi elektronika yang rumit
yang diaktifkan melalui beragam saluran inderawi dan disimpan dalam jaringan
syaraf yang sangat rumit dan unik diseluruh bagian otak. Ingatan yang sifatnya dinamis itu terus berubah dan
berkembang sejalan dengan bertambahnya informasi yang disimpan.
Taraf kecerdasan umum tiap-tiap
orang berbeda-beda. Hal ini antara
lain sudah ditentukan atau merupakan bawaan sejak lahir. Di samping orang-
orang yang pandai, terdapat pula orang-orang yang bodoh, sedangkan yang
terbanyak adalah yang bertaraf rata-rata (Sarwono, 1996: 72). Menyadari hal
ini, sejak lama sudah diusahakan dalam psikologi, untuk mengukur taraf
inteligensi pada manusia. Dalam psikologi, pengukuran inteligensi dilakukan
dengan alat-alat psiko-diagnostik tertentu (psikometri), yang oleh orang
awam lebih dikenal dengan nama psikotes, hasil pengukuran inteligensi
biasanya dinyatakan dalam satuan ukuran tertentu yang dapat menyatakan tinggi
rendahnya inteligensi yang diukur, yaitui IQ (singkatan dari istilah
bahasa Inggris “ Intelligence Quotient”, yang berarti “ hasil bagi taraf
kecerdasan” (Makmun, 2004: 59-60).
Dengan demikian dapat diambil suatu
pengertian bahwa kecerdasan intelektual adalah kemampuan mental seseorang dalam
merespon dan menyelesaikan problem-problem dari yang bersifat kualitatif dan
fenomenal (matematika, fisika, data-data sejarah dan sebagainya), dan atau
kemampuan seseorang untuk mengenal dan merespon alam semesta atau obyek yang
berada diluar dirinya.
3.
Kecerdasan Emosional
a.
Pengertian
Istilah kecerdasan emosional pertama kali
dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University
dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas
emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan (Shapiro, 1997: 5).
Istilah kecerdasan emosional baru dikenal secara
luas dengan diterbitkannya buku Daniel Goleman: Emotional Intelligence. Goleman
mengatakan: “Emotional Intelligence: abilities as being able to motivate
oneself and persist in the face of frustration, to control impulse and delay
gratification, to regulate one’s moods and keep distress from swamping the
ability to think, to empathizes and to hape (Goleman, 1995: 35).
“Kecerdasan emosional: kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan mengahadapi
frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan,
mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress yang dapat melumpuhkan
kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.”
Dengan
kata lain kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan untuk memahami perasaan
diri masing-masing dan perasaan orang lain. Kemampuan untuk memotivasi dirinya
sendiri dan menata dengan baik emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam
hubungan dengan orang lain.
b.
Komponen
Kecerdasan Emosional
1) Empati: Kemampuan untuk ikut merasakan perasaan orang
lain empati diartikan sebagai melihat sesuatu melalui mata orang lain. Beberapa
ketrampilan yang diperlukan adalah mendengarkan dengan seksama serta membaca
bahasa tubuh non verbal dan nada suara, yang sering lebih banyak mengungkapkan
perasaan dari pada kata-kata. Empati
bisa dipandang dengan memahami emosi non verbal orang lain (Asatiadarma, 2003:
45).
2) Kemandirian: Bentuk sikap
terhadap obyek dimana individu memiliki independensi yang tidak terpengaruh
terhadap orang lain. Schaefer menggunakan otonomi untuk kemandirian yang
berarti berdiri di atas kaki sendiri yaitu keinginan untuk menguasai dan
mengendalikan tindakan sendiri dan bebas dari pengendalian luar (Schaefer,
1994: 45). Tujuannya adalah untuk menjadi seorang manusia yang mengatur diri
sendiri, mengarahkan diri sendiri, mengambil inisiatif mengatasi
kesulitan-kesulitannya.
3) Motivasi: Sesuatu yang
mendorong terjadinya suatu tindakan, perbuatan atau pekerjaan, dapat dikatakan
pula motivasi adalah kondisi mental seseorang yang mendorong, mengarahkan dan
menuntun melakukan aktivitas guna mencapai tujuan dimana motif ini bukanlah
sesuatu yang dapat diamati secara langsung melainkan hanya dapat disimpulkan
adanya, karena suatu yang dapat disaksikan.
4.
Kecerdasan
Spiritual
a.
Pengertian
Kecerdasan
spiritual merupakan kecerdasan jenis ketiga setelah IQ dan EQ. Pencetusnya
adalah salah seorang anggota dari angkatan ke empat (the fourth force) dalam sejarah psikologi yaitu David
Lukots. Spiritual dalam Bahasa Inggris berasal dari kata “Spirit” yang berarti
batin, rohani dan keagamaan (Echol, 1992: 546). Sedangkan dalam kamus
psikologi, spiritual diartikan sebagai sesuatu mengenai nilai-nilai transcendental
(Hanafi, 1995:633). makna spiritual sendiri berhubungan erat dengan eksistensi
manusia dalam dunia ini.
Zohar
dan Ian Marsal (2000: 3) berpendapat bahwa kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup seseorang dalam makna dan
konteks makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibanding dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk
menfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Dengan SQ manusia dapat menggali potensi
yang demikian untuk tumbuh dan berubah serta menjalankan lebih lanjut evaluasi
potensi yang dimilikinya. Manusia menggunakan SQ untuk
menjadi kreatif, serta untuk berhadapan dengan masalah eksistensial yaitu saat
seseorang secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan.
SQ menjadikan kita sadar
bahwa kita memiliki masalah eksistensial dan membuat kita mampu mengatasinya
atau setidak-tidaknya bisa berdamai dengan masalah tersebut. SQ memberi kita semua rasa yang “dalam” menyangkut
perjuangan hidup. Kita menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang
lebih utuh karena kita memiliki potensi untuk itu. Pada tingkatan ego murni kita adalah egois, ambisius
terhadap materi, serba aku, dan sebagainya. Akan tetapi kita memiliki
gambaran-gambaran transpersonal terhadap kebaikan, keindahan, kesempurnaan,
pengorbanan dan sebagainya. SQ membantu kita tumbuh melebihi ego terdekat diri
kita dan mencapai lapisan yang lebih dalam yang tersembunyi di dalam diri kita
ia membantu kita menjalani hidup pada tingkatan makna yang lebih dalam
(Nggermanto, 2002:143).
b. Komponen Kecerdasan Spiritual.
Disiplin
merupakan kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian
perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan,
keteraturan dan ketertiban. Nilai-nilai tersebut telah menjadi
bagian perilaku dalam kehidupannya. Perilaku
itu tercipta melalui proses binaan melalui keluarga, pendidikan dan pengalaman.
Kejujuran adalah memberitahukan, memutuskan
sesuatu dengan sebenarnya. SQ
menuntut kita untuk benar-benar jujur kepada diri sendiri, benar-benar sadar
akan diri kita sendiri. SQ tinggi menuntut integritas pribadi yang paling kuat,
menuntut kita agar terbuka menerima pengalaman, agar kita dapat menangkap
kembali kemampuan kita untuk memandang kehidupan dan orang lain denga cara
pandang baru. Seolah-olah dengan mata seorang anak, ia menuntut kita untuk
tidak lagi mencari perlindungan di dalam apa yang kita ketahui dan
terus-menerus kita selidiki dan pelajari apa yang tidak kita ketahui.
Kesadaran diri
adalah mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk
memandu mengembalikan keputusan diri sendiri, mempunyai tolok ukur yang
realitis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri
meliputi:
·
Kesadaran emosi diri sendiri.
·
Penilaian diri serta teliti: mengetahui kekuatan dan
batas-batas diri sendiri.
·
Percaya diri, keyakinan tentang harga diri dan kemampuan
sendiri.
5.
Tes IQ (Inteleligensi Question)
Ukuran
inteligensi dinyatakan dalam IQ (Intelligence Quotient). Pada orang
dewasa (umur 16 tahun ke atas) IQ dihitung dengan cara memberikan seperangkat
pertanyaan yang terdiri dari berbagai soal (hitungan, kata-kata, gambar-gambar,
dan lain-lain) dan menghitung berapa banyaknya pertanyaan yang dapat dijawab
dengan benar dan membandingkannnya dengan sebuah daftar (yang dibuat
berdasarkan penelitian yang terpercaya) dan didapatkanlah nilai IQ orang yang
bersangkutan (Sarwono, 2004: 78).
Tetapi pada
anak-anak cara menghitung IQ adalah dengan menyuruh anak untuk melakukan
pekerjaan tertentu dan menjawab pertanyaan tertentu (misalnya menghitung sampai
10 atau 100, menyebut nama-nama hari atau bulan, membuka pintu dan menutupnya
kembali, dan lain-lain). Jumlah
pekerjaan yang bisa dilakukan anak kemudian dicocokkan dengan membuat daftar
untuk mengetahui usia mental (mental age = MA) anak. Makin banyak yang
bisa dijawab atau dikerjakan anak, makin tinggi usia mentalnya. Usia mental ini
kemudian dibagi dengan usia kalender (Callender age = CA) dan dikalikan
100, maka didapatkan IQ anak.
Jadi rumusnya
adalah sebagai berikut: IQ = MA/CA X 100. Misalnya seorang anak mempunyai usia
mental 7 tahun sedangkan usia kalendernya 6 tahun, usia IQnya = 7/6 X 100 = 116,6
atau 117. Kalau usia mentalnya hanya 5,5 tahun sedangkan usia kalendernya 6
tahun, maka IQnya = 92. Kalau usia mentalnya tepat 6 tahun, maka anak yang
berumur 6 tahun itu mempunyai IQ =100.
Di antara
berbagai skala IQ yang diajukan oleh berbagai ahli, yang paling banyak
digunakan adalah skala yang dikembangkan oleh Wechsler dan Bellevue yang
dimulai dari 0 (nol) sampai dengan 200, dengan bilangan 100 sebagai titik tengah
atau rata-rata. (Sarwono, 1986: 72-73). Mereka menyatakan bahwa kalau semua
orang di dunia diukur inteligensinya maka akan terdapat orang-orang yang sangat
pandai sama banyaknya dengan orang-orang yang terbelakang. Orang-orang yang
superior sama banyaknya dengan orang-orang yang tergolong perbatasan (border-line).
Sedangkan yang terbanyak adalah orang-orang dari golongan inteligensi rata-rata.
Kalau dijabarkan skor IQ dan klasifikasinya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3
Klasifikasi kecerdasan intelektual
IQ
|
Klasifikasi
|
% di antara Penduduk Dunia
|
Bila dihubungkan dg Tingkat
Sekolah
|
Sampai de-ngan 67
68 – 79
80 – 90
91 – 110
111 – 119
120 – 127
128 ke atas
|
Terbelakang
Perbatasan
Kurang
dari rata- rata
Rata-rata
Di
atas rata-rata
Superior
Sangat
superior
|
2,2
6,7
16,1
50,0
16,1
6,7
2,2
|
Tidak dapat mengikuti sekolah biasa
Dapat mempelajari se-suatu tetapi lambat
Dapat menyelesaikan se-kolah dasar
Dapat menyelesaikan sekolah lanjutan
Dapat menyelesaikan sekolah di atas sekolah lanjutan
tanpa banyak kesulitan
Dapat menyelesaikan tingkat Universitas tanpa banyak
kesulitan
Orang-orang yg sangat pandai: sarjana terke-muka,
pemimpin dunia, para jenius dsb.
|
(Sarwono, 1996 : 73, 2004 : 79 ).
Pengukuran IQ
yang dilakukan di atas diarahkan pada satu teori bahwa ada yang dinamakan
faktor umum (General faktor atau G-Faktor) pada inteligensi itu. G. Faktor
inilah yang diukur dengan IQ tersebut. Dengan demikian orang yang ber IQ 120,
misalnya, akan berpenampilan sama dengan orang- orang lain yang ber IQ 120
juga. Kalau ada perbedaan maka itu disebabkan oleh faktor-faktor lain di luar
intelligensi seperti minat, pengalaman, sikap dan sebagainya.
Spearman dalam
Sarwono (1986: 107) menyatakan bahwa di samping G-Faktor ada juga S-Faktor (Special
Faktor atau faktor khusus) di dalam intelligensi itu sendiri. S. Faktor
inilah yang menyebabkan orang-orang yang ber IQ sama, penampilannya
berbeda-beda. Sama-sama ber IQ 120, misalnya, orang yang satu lebih terampil
dalam bidang angka-angka sehingga ia menjadi ahli matematika, sedangkan orang
yang lain lebih fasih dalam kemampuan lisan sehingga ia menjadi ahli bahasa.
Sedangkan Thurstone
(1887-1955), mengatakan bahwa faktor umum itu tidak ada. Yang ada hanya
sekelompok faktor khusus yang olehnya diberi nama kemampuan mental primer (Primary
Menthal Abilities) yang terdiri dari 7 faktor yaitu: pengertian lisan (verbal
comprehension), kemampuan angka-angka (numerical ability),
penglihatan keruangan (spatial visualization), kemampuan penginderaan (perceptual
ability), ingatan (memory), penalaran (reasoning) dan
kelancaran kata-kata (word fluency) (Sarwono, 1986: 106).
Selanjutnya
Thomson (1881-1955), kurang sependapat, bahkan juga tidak setuju dengan
faktor-faktor yang disebutkan oleh Thurstone itu. Ia berpendapat bahwa faktor
umum dalam intelligensi tidak ada, tetapi juga faktor khusus yang berbeda-beda
dari orang ke orang dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Faktor-faktor
itu sedemikian banyaknya, tetapi yang berfungsi pada suatu saat tertentu
hanyalah sebagian kecil saja dari keseluruhan faktor yang ada (Sarwono, 1986
:107).
Di antara alat
ukur kecakapan dasar (inteligensi) yang paling banyak dikenal dan digunakan,
juga di Indonesia, ialah Test Binet Simon (verbal test) yang
dikembangkan sejak tahun 1905 di Perancis dan direvisi serta dikembangkan di
Stanford (USA) mulai tahun 1916 ( Makmun, 59). Test Binet Simon dipersiapkan
untuk orang yang berusia mulai 3 sampai 15 tahun. Perhitungan IQ untuk orang
yang berusia lebih dari 15 tahun, CA-nya diperhitungkan menurut tingkat usia 15
tahun ini, dengan asumsi bahwa perkembangan kecerdasan mencapai kemantapannya (mature)
pada tingkat usia tersebut (Makmun, 60).
Selanjutnya
sejumlah ahli pendidikan, seperti Charles Spearman, Thurston, Guilford dan
Gardner, mengembangkan konsep kecerdasan baru yang dikenal dengan multiple
intelligence, yakni teori faktor jamak, dimana kecerdasan manusia dianggap
memiliki tujuh dimensi yang semi otonom, masing-masing adalah (i) linguistik,
(ii) estetis-musik, (iii) matematis-logis, (iv) visual-spasial, (v) kinestetik
fisik, (vi) sosial-interpersonal dan (vii) intra personal. Disebut
dimensi-dimensi yang semi otonom, karena orang yang cerdas dalam satu dimensi,
misalnya matematika, tidak selalu cerdas pada dimensi lainnya, misalnya
estetik-musik. Teori ini banyak dirujuk sejumlah pihak karena dianggap bisa
memberikan deteksi dini terhadap bakat, potensi dan kecenderungan anak (Suharsono,
2001: 82).
Untuk mendeteksi dasar khusus (aptitudes,
bakat khusus) telah pula ada berbagai perangkat alat ukurnya, antara lain:
SRA-PMA (Science Research Association-Primary Mental Abilities), DAT (Differential
Aptitudes Tests), FACT (Flanagan Aptitude Classification Tests). Tes
ini dapat digunakan untuk mengungkapkan, antara lain:
V
= Verbal comprehension (pemahaman kata)
W = Word
fluency (Kefasihan mengungkapkan kata)
N = Number
(pemahaman bilangan)
S = Space
(tilikan ruang)
M = Associative
memory (daya mengingat secara asosiatif)
I or R = Induction
or General Reasoning (berpikir logis)
Mo = Motor
(Kecakapan gerak)
(Makmun, 2004: 60).
Kalau diperhatikan secara seksama
teori multiple intelligence tersebut, sebenarnya sebagian besarnya telah
diimplementasikan di dalam mata pelajaran di sekolah. Anak-anak kita yang telah sekolah, baik ditingkat
dasar maupun lanjutan, sebenarnya sedang dalam proses meningkatkan kecerdasan
dalam pengertian tersebut. Tetapi dalam proses pendidikan tersebut apakah anak
kita cukup cerdas, sangat cerdas, atau kurang cerdas? Pertanyaan seperti ini
selalu menjadi konsern dan kepedulian orang tua. Karena dengan mengetahui
tingkat kecerdasan tersebut, orang tua bisa mengambil langkah-langkah yang
sesuai, tentunya demi masa depan anaknya.
6. Indikator Kecerdasan (Intelligen)
Kecerdasan, (kecakapan) atau inteligence
bukanlah substansi (suatu benda) atau kekuatan, yang terletak dalam bagian
tertentu dari tubuh seseorang, perilaku intelegen atau cerdas ada kaitannya
dengan konsep intelegensi. Kecerdasan adalah penyifatan kualifikasi perilaku
individu yang menunjukkan pernyataan “intelect put to use” (intelek yang
digunakan) (Makmun, 2004:53).
Individu memperoleh kecakapan
tertentu bukan karena kelahirannya semata-mata, melainkan juga karena
perkembangan dan pengalamannya. Memang ia dianugerahi potensi dasar atau
kapasitas (capacity) untuk berperilaku intelligen, sesungguhnya
kecakapan individu atau yang sering juga disebut abilitas (ability) itu
dapat dibedakan ke dalam dua kategori, 1) kecakapan nyata atau aktual
(actual ability), yang menunjukkan kepada aspek kecakapan yang segera dapat
didemontrasikan dan diuji sekarang juga karena merupakan hasil, atau belajar
yang bersangkutan dengan cara, bahan, dan dalam hal tertentu yang telah
dijalaninya (achievement, prestasi); 2) kecakapan potensial (potensial
ability), yang menunjukkan kepada aspek kecakapan yang masih terkandung
dalam diri yang bersangkutan yang diperolehnya secara herediter (pembawaan
kelahirannya), yang mungkin dapat merupakan: abilitas dasar umum (general
intelligence), dan abilitas dasar khusus dalam bidang tertentu (bakat/aptitudes).
Kecerdasan atau intelegensi
dan bakat (kecakapan potensial) hanya dapat dideteksi dengan
mengidentifikasi indikator-indikator yang dimanifestasikan dalam kualifikasi
perilaku. Witherington (1952) dalam (Makmun, 2004: 54), menunjukkan
manifestasi dari indikator-indikator perilaku intelegen antara lain: 1)
kemudahan dalam menggunakan bilangan (facility in the use of the numbers);
2) efisiensi dalam bahasa (language efficiency); 3) kecepatan dalam
pengamatan (speed of perception ); 4)kemudahan dalam mengingat (facility
in memorizing ); 5)kemudahan dalam memahami hubungan (facility in
comprehending relationships ); 6) imaginasi (imagination).
Dengan mengetahui indikator-indikator perilaku intelligen,
para ahli telah mengembangkan alat ukurnya yang dibakukan (standardized
test) baik untuk kecerdasan dasar umum (general intelegence test) maupun
kecakapan dasar khusus (aptitude tests). Berdasarkan data atau informasi
hasil pengukuran, para ahli telah mengadakan pengelompokan, yang diperlukan
bagi proses seleksi atau penempatan orang-orang, menurut intelegensia perilaku.
Dalam term kecakapan dasar umum (general intelegence), orang-orang yang
berasal dari atau berada lama dalam populasi produk dapat dibagi ke dalam
kategori: (a) superior atau genius[1] (b) normal[2] (c) sub normal atau mentally
deffective atau mentally retarded[3].
Dalam term kecakapan dasar khusus (aptitudes, group faktors)
orang-orang dapat dikelompokkan ke dalam kategori yang memiliki kemampuan
dasar khusus dalam bidang: (a) bilangan (numirical abilities); (b)
bahasa (verbal abilities) (c) tilikan ruang (spatial abilities);
(d) tilikan hubungan sosial (social abilities); (e) gerak motoris (motorical
abilities) (Makmun, 2004: 55).
Kecerdasan atau intelegensi dan bakat (kecakapan
potensial) hanya dapat dideteksi dengan mengidentifikasi indikator-indikator
yang dimanifestasikan dalam kualifikasi perilaku. Manifestasi dari
indikator-indikator perilaku intelegen antara lain: 1) kemudahan dalam
menggunakan bilangan, 2) efisiensi dalam bahasa, 3) kecepatan dalam pengamatan,
4) kemudahan dalam mengingat, 5) kemudahan dalam memahami hubungan, 6)
imaginasi.
Dalam term kecakapan dasar umum (general intelegence),
orang-orang yang berasal dari atau berada lama dalam populasi produk dapat
dibagi ke dalam kategori : (a) superior atau genius (b) normal
(c) sub normal atau mentally deffective atau mentally retarded.
Sedangkan dalam term
kecakapan dasar khusus (aptitudes, group faktors) orang-orang dapat
dikelompokkan ke dalam kategori yang memiliki kemampuan dasar khusus dalam
bidang: (a) bilangan, (b) bahasa, (c) tilikan ruang, (d) tilikan hubungan
social, (e) gerak motoris.
Dengan demikian indikator-indikator perilaku intelligen
adalah, orang yang mempunyai kemampuan; kemudahan dalam menggunakan bilangan,
efisien dalam berbahasa, kecepatan dalam pengamatan, kemudahan dalam mengingat,
kemudahan dalam memahami hubungan, dan memiliki imaginasi positif.
D.
Penelitian Terkait
Telaah atas penelitian, tentang pengaruh motivasi belajar
dan kecerdasan intelektual terhadap prestasi belajar siswa Madrasah Tsanawiyah,
pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), secara umum memiliki kesamaan
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Namun secara spesifik dan fokus masalah, ada
perbedaan. Beberapa peneliti dimaksud:
Muchtarom (2005) menulis tesis
dengan judul “Pengaruh Perhatian Orang Tua dan Latar Belakang Pendidikan
Siswa terhadap Prestasi Belajar Agama Siswa SMKN Jepara”. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui perbedaan hubungan antara latar belakang pendidikan
siswa dengan perhatian orang tua, dan interaksi antar faktor-faktor tersebut
terhadap pencapaian prestasi belajar PAI siswa. hasil penelitian itu
menunjukkan bahwa: 1) tidak terdapat perbedaan antara prestasi belajar PAI yang
cukup signifikan, 2) tidak terdapat perbedaan antara siswa yang mendapat
perhatian tinggi dan perhatian rendah dari orang tua mereka. 3) tidak terdapat
pengaruh yang interaktif antara perhatian orang tua baik tinggi maupun rendah
dan latar belakang pendidikan baik MTs maupun SMP terhadap prestasi belajar, 4)
terdapat perbedaan antara prestasi belajar PAI yang cukup signifikan antara
yang berlatar belakang pendidikan MTs dan SMP.
Astuti (2007) dengan judul “Perbedaan
motivasi berprestasi dan Hasil Belajar Fisika Dengan menggunakan Model
Pembelajaran Induktif dan Model Pembelajaran Konvensional Siswa SMP Negeri 24
Bandar Lampung” dalam tesis ini menyimpulkan adanya hubungan yang positif
dan cukup erat serta signifikan antara motivasi belajar dengan hasil belajar
pada pembelajaran induktif.
Berdasar telaah penelitian Muchtarom
dan Astuti, maka dalam penelitian ini akan ditampilkan kajian tentang hubungan
antara motivasi belajar dan kecerdasan intelektual siswa terhadap prestasi
belajar PAI siswa. Karena
variabel-variabel tersebut, menurut peneliti belum tersentuh sama sekali.
Padahal variabel kecerdasan intelektual siswa, sangat penting dan belum pernah
ada yang meneliti, terutama pada MTs tempat penulis melakukan penelitian.
E. Kerangka Pemikiran
1. Hubungan Motivasi Belajar dengan
Prestasi Belajar Agama Islam.
Melakukan perbuatan belajar, secara
relatif, tidak semudah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang sudah dilakukan
secara rutin, seperti makan, tersenyum, tidur dan lain-lain. Oleh karena itu
motivasi belajar sangat dibutuhkan dalam proses belajar dan pembelajaran.
Motivasi belajar tidak sama kuatnya pada setiap siswa, dan motivasi dalam diri
seorang siswa tidak tetap, kadang-kadang kuat, dan kadang-kadang lemah, bahkan
suatu saat motivasi belajar dapat hilang sama sekali.
Dalam kenyataannya, motivasi belajar
ini (motivasi Intrinsik) tidak selalu timbul dalam diri siswa. Sebagian siswa
mempunyai motivasi belajar yang tinggi, tetapi sebagian lain motivasinya rendah
atau bahkan tidak ada sama sekali. Bagi siswa yang tidak mempunyai motivasi
belajar. Bila hal ini tidak diperhatikan, tidak dibantu, maka siswa akan gagal
dalam belajar. Oleh karena itu, guru sebagai orang yang membelajarkan siswa,
harus peduli dengan masalah motivasi ini (motivasi ekstrinsik). Guru bukanlah
pengajar yang sudah lega bila semua pokok bahasan dari suatu mata pelajaran
sudah tersampaikan tepat pada waktunya. Dan tidak hanya berbangga hati bila ia
telah menyampaikan materi pelajaran dengan bebagai metoda pembelajaran yang
canggih. Disamping itu semua, yang tidak kalah pentingnya, adalah harus mau dan
mampu memotivasi siswa yang rendah motivasi belajarnya, dan meningkatkan
motivasi siswa yang sudah mempunyai motivasi belajar. Kepedulian guru terhadap
masalah motivasi belajar siswa bukanlah hal yang mengada-ada, melainkan sebagai
tugas yang melekat dalam diri guru. Asumsinya sekali guru dapat membangun
memotivasi siswa terhadap pelajaran yang diajarkan, diharapkan seterusnya siswa
akan selalu meminta mata pelajaran tersebut.
Dengan demikian, dapat ditarik suatu pmahaman bahwa
diasumsikan semakin tinggi motivasi belajar anak, baik motivasi itu bersifat (intrinsik
) dari dalam ataupun karena dorongan dari luar (ekstrinsik), maka
semakin tinggi pula prestasi belajar agama yang diraih siswa. Demikian
sebaliknya, semakin rendah motivasi belajar anak, baik motivasi itu bersifat (intrinsik
) dari dalam ataupun karena dorongan dari lauar (ekstrinsik ), maka
semakin rendah pula prestasi belajar agama yang diraih siswa.
2. Hubungan Kecerdasan
Intelektual dengan Prestasi Belajar Agama Islam
Kecerdasan adalah penyifatan
kualifikasi perilaku individu yang menunjukkan pernyataan “intelect put to
use” (intelek yang digunakan). Individu memperoleh kecakapan tertentu bukan
karena kelahirannya semata-mata, melainkan juga karena perkembangan dan
pengalamannya. Memang ia dianugerahi potensi dasar atau kapasitas (capacity)
untuk berperilaku intelegen, sesungguhnya kecakapan individu atau yang
sering juga disebut abilitas (ability) itu dapat dibedakan ke dalam dua
kategori yaitu; kecakapan nyata atau aktual (actual ability), yang
menunjukkan kepada aspek kecakapan yang segera dapat didemontrasikan dan diuji
sekarang juga karena merupakan hasil, atau belajar yang bersangkutan dengan
cara, bahan, dan dalam hal tertentu yang telah dijalaninya (achievement,
prestasi). Dan kecakapan potensial (potensial ability), yang
menunjukkan kepada aspek kecakapan yang masih terkandung dalam diri yang
bersangkutan yang diperolehnya secara heredite (pembawaan kelahirannya),
yang dapat merupakan: Abilitas dasar umum (general intelligence), dan
abilitas dasar khusus dalam bidang tertentu (bakat, aptitudes). Sesungguhnya
kecerdasan intelektual ada pada setiap orang, hanya saja tinggi rendah atau
kuat lemahnya kecerdasan dari masing-masing orang itu berbeda-beda. Perbedaan
tingkat kecerdasan para siswa (Orang) dapat di klasifikasikan sebagai berikut.
IQ 130 – ke atas :
Sangat unggul
IQ 120 – 129 : Unggul
IQ 110 – 119 :
Cakap normal
IQ 90 – 109 :
Rata-rata
IQ 80 – 89 :
Lamban normal
IQ 70 – 79 :
Batas dungu
IQ 70 – ke bawah :
Cacat mental
Mengingat siswa yang belajar di
Madrasah rata-rata memiliki IQ sedang maka, dari penjelasan tersebut dapat
diasumsikan bahwa, siswa yang memiliki kemampuan IQ tinggi akan mampu meraih
prestasi belajar yang lebih tinggi dari pada siswa yang hanya memiliki
kemampuan IQ sedang bahkan rendah.
Dengan demikian, diasumsikan semakin
tinggi kecerdasan intelektual siswa, maka semakin tinggi pula prestasi belajar
agama siswa, demikian sebaliknya, semakin rendah kecerdasan intelektual siswa,
maka semakin rendah pula prestasi belajar agama yang diraih siswa.
3. Hubungan Motivasi Belajar dan
Kecerdasan Intelektual secara Bersama- sama (Simultan) dengan Prestasi Belajar
Salah satu rahasia psikologi yang
telah menjadi makanan umum adalah ketidakmampuan relatif nilai-nilai IQ, atau
nilai SAT (School Aptitude Test, tes bakat), kendati daya tarik test
tersebut amat besar, untuk meramalkan dengan tepat siapa-siapa yang akan
berhasil. Yang jelas ada, suatu kaitan antara IQ dan lingkungan tempat tinggal
bagi kelompok-kelompok besar secara keseluruhan.
Ada banyak perkecualian terhadap
pemikiran yang menyatakan bahwa IQ meramalkan kesuksesan banyak (atau lebih
banyak) perkecualian daripada kasus yang cocok dengan pemikiran itu. Setinggi-tingginya,
IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses
dalam hidup (termasuk prestasi belajar), maka yang 80 persen diisi oleh
kekuatan-kekuatan lain.
Anak yang mempunyai IQ (Inteligensi
Question) tinggi mungkin gagal dalam pelajaran karena kekurangan/rendahnya
motivasi. Anak yang gagal, tak begitu saja dapat disalahkan. Hal ini bukan
hanya faktor guru saja yang tak berhasil memberi motivasi yang membangkitkan
kegiatan pada anak, akan tetapi IQ anak itu sendiri juga mempunyai bagian
penting dalam penentuan tinggi rendahnya motivasi.
Disamping itu, siswa yang memiliki
tingkat kecerdasan tinggi atau dapat disebut sebagai anak dalam golongan gilted
child atau talented chil, jika didalam proses pembelajaran,
kemampuan yang dimilikinya tidak terakomodasi secara layak dan tepat, maka anak
tersebut akan mengalami kesulitan belajar yang pada akhirnya diduga tidak akan
mampu mencapai prestasi belajar dengan baik. Demikian juga sebaliknya, jika
seorang siswa memiliki kecerdasan yang sedang, akan tetapi dia mendapatkan
pendidikan dan bimbingan dari seorang guru yang tepat, dan dia mempunyai
motivasi belajar yang tinggi, dia mendapatkan fasilitas yang memadai, maka
siswa tersebut diasumsikan akan mampu meraih prestasi yang baik. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa semua faktor yang ada, akan mampu berfungsi
sebagaimana seharusnya, jika semua faktor tersebut berfungsi secara simultan
dan bersama-sama dalam bekerja.
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berfikir tersebut diatas, maka
hipotesis yang penulis ajukan adalah:
1. Terdapat hubungan antara
motivasi belajar dengan prestasi belajar PAI.
2. Terdapat hubungan antara
kecerdasan intelektual dengan prestasi belajar PAI.
3. Terdapat hubungan antara
motivasi belajar dan kecerdasan inteletual siswa secara bersama-sama (simultan)
dengan prestasi belajar PAI.
[1] Superior
atau genius (mereka yang dapat bertindak jauh lebih cepat dan dengan
kemudahan dibandingkan dengan anggota kelompok lainnya); Pria ber IQ tinggi
dicirikan-tak mengherankan dengan serangkaian luas kemampuan dan minat
intelektual. Penuh ambisi dan produktif, dapat diramalkan dan tekun dan tidak
dirisaukan oleh urusan-urusan tentang dirinya sendiri. Cenderung bersikap
kritis dan meremehkan, pilih-pilih dan malu-malu, kurang menikmati seksualitas
dan pengalaman sensual, kurang ekspresif dan menjaga jarak, dan secara
emosional membosankan dan dingin (Goleman, 2000: 60). Wanita yang ber-IQ tinggi mempunyai keyakinan
intelektual yang tinggi, lancar mengungkapkan gagasan, menghargai masalah-masalah
intelelektual, dan mempunyai minat intelektual dan estetika yang amat luas.
Mereka juga cenderung mawas diri, mudah cemas, gelisah dan merasa bersalah dan
ragu-ragu untuk mengungkapkan kemarahan secara terbuka (meskipun melakukannya
secara tidak langsung) (Goleman: 61).
[2] Normal
(mereka yang rata-rata atau pada umumnya dapat bertindak biasa dengan
kecepatan, ketepatan, dan kemudahannya seperti tampak pada sebagian besar
kelompoknya menurut batasan- batasan waktu dan tingkat kesukaran yang telah
ditetapkan );
[3] Sub-normal atau mentally defective atau mentally retarded (mereka
yang bertindak jauh lebih lambat kecepatannya, dan jauh lebih banyak ketidak
tepatannya dan kesulitannya, dibandingkan dengan anggota kelompoknya yang lain
) yang secara lebih teliti lagi dibedakan ke dalam kategori orang- orang 1)
debil (moron) yang masih mendekati orang normal yang berusia 9-10 tahun; 2)
imbecile mendekati orang normal sekitar usia 5-6 tahun; 3) idiot mendekati
orang normal berusia di bawah 4 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar