Selasa, 14 Juli 2015

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PERSPEKTIF ISLAM



PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM
PERSPEKTIF ISLAM

Makalah
Dibuat Dalam Rangka Memenuhi tugas Mata Kuliah
Transformasi Global Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:  Dr. H. Ruswan, M.A dan Dr. H. Muslih, Mz, M.A









Disusun Oleh :
Ali Anwar (1400018020)


PROGRAM MAGISTER STUDI ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Masalah lingkungan telah menjadi isu global karena menyangkut berbagai sektor dan berbagai kepentingan umat manusia. Hal ini terbukti dengan munculnya isu kerusakan lingkungan yang semakin santer terdengar, jika dicermati sebenarnya berakar dari cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Kerusakan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini diakibatkan oleh manusia. Perilaku manusia yang kurang atau tidak bertanggungjawab terhadap lingkungannya telah mengakibatkan terjadinya berbagai macam kerusakan lingkungan.
Sebagai contoh pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah industri, rumah tangga, dan kegiatan lain yang tidak bertanggung jawab, akhirnya mengancam balik keselamatan dan kehidupan manusia. Penebangan dan atau penggundulan hutan, eksploitasi bahan tambang secara membabi buta juga merupakan perbuatan manusia yang rakus dan tidak bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Dalam hal ini perbaikan akhlak masyarakat merupakan sesuatu yang mutlak dan harus diletakkan pada fase pertama dalam upaya penyelamatan dan perbaikan lingkungan.
Untuk itu sebagai muslim kita seharusnya memahami landasan-landasan dari pelestarian lingkungan hidup. Karena pelestarian lingkungan hidup tak lepas dari tanggung jawab  manusia sebagai khalifah di bumi ini.Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi ini untuk mengatur kehidupan lingkungan hidup yang baik dan tertata, namun sebaliknya  justru saat ini manusia telah membuat kerusakan di bumi.
Islam merupakan agama yang mengatur semua aspek kehidupan di muka bumi, termasuk mengenai bagaimana manusia dalam menjaga lingkungan. Islam memberikan pandangan tersendiri terhadap lingkungan, karena manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi, yang harus menjaga dan melestarikan bumi. Apabila masyarakat muslim memahami bahwa interaksi yang benar dengan lingkungan juga merupakan ibadah mungkin kerusakan lingkungan tidak akan sebesar yang terjadi
B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka rumusan masalahanya adalah :
1.      Bagaimana konsep lingkungan?
2.      Bagaimana pandangan Islam dalam  pelestarian lingkungan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Konsep Lingkungan dalam Islam
Lingkungan alamiah (natural environment) yang sering dipendekkan menjadi “lingkungan” dan yang dalam istilah bahasa kita sering disebut “lingkungan hidup”, diberi ta’rif (pengertian) sebagai suatu keadaan atau kondisi alam yang terdiri atas benda-benda ( makhluk) hidup dan benda-benda tak hidup yang berada di bumi atau bagian dari bumi secara alami dan saling berhubungan antara satu dengan lainnya.[1]
Lingkungan Hidup adalah semua benda dan kondisi, termasuk manusia dan tingkah lakunya yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan serta mensejahterakan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya.[2]
Sedangkan menurut “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982” tentang “Ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup” dalam ketentuan umum pasal 1. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.[3]

Lingkungan (alam) ini terdiri atas beberapa komponen kunci yakni:
1.      Satuan landscape lengkap yang berfungsi sebagai sistem alami yang belum mengalami intervensi manusia, termasuk didalamnya terdapat tanah, air, bebatuan, hewan dan tumbuhan, serta segala fenomena alam yang terjadi dalam batas alami tersebut.
2.      Sumber daya alam umum dan fenomena yang tidak selalu berada di dalam batas-batas alami tersebut seperti udara, iklim dan atmosfer, akan tetapi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh landscape yang bersangkutan.
3.      Tampilan atau keadaan alam yang terjadi di dalam batas batas alami, akan tetapi keberadaannya dan kondisinya sangat dipengaruhi oleh atau direkayasa oleh manusia, seperti misalnya hewan liar di sebuah taman margasatwa atau kebun binatang.[4]

Dengan demikian terdapat dua macam lingkungan yakni lingkungan alamiah (natural environment) dan lingkungan buatan (built environment), yang antara keduanya berbeda sifat dan kondisinya. Lingkungan buatan merupakan areal atau komponen alam yang telah dipengaruhi atau direkayasa oleh manusia. Suatu wilayah geografis tertentu misalnya hutan konservasi, pada umumnya masih dipandang sebagai lingkungan alamiah, walaupun campur tangan manusia telah ada dalam wilayah tersebut, akan tetapi masih sangat terbatas. Sedangkan areal cagar alam misalnya, merupakan areal yang sama sekali belum ada campur tangan manusia didalamnya.
Antara manusia dengan lingkungan terdapat hubungan yang dinamis. Perubahan dalam lingkungan akan menyebabkan perubahan dalam kelakuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru. Karena sesungguhnya alam fikiran manusialah yang menyadari keberadaan alam semesta, ada tida pandangan filosofi berkenaan dengan kesadaran manusia terhadap alam yaitu:
1.    Bahwa alam ini berubah dari sistem yang berevolusi secara alamiah. Dalam hal ini alam pikiran manusia dapat dianggap sebagai unsure abstrak dari lingkungan hidup.
2.    Bahawa manusia terpisah dari lingkungannya, dan manusia hanya sekedar pelaku sedangkan lingkungan adalah objek yang dapat dieksploitasi secara maksimal untuk kepentingannya sendiri.
3.    Bahwa manusia dan lingkungan menjadi satu. Pandangan yang bersifat inklusif bahwa manusia adalah bagian dari pada alam.[5]
Pandangan terbaik yaitu menggabungkan dari ketiganya secara seimbang, bahwa manusia adalah bagian mutlak dari lingkungan hidupnya; manusia memiliki kemampuan yang lebih, terutama penguasaan tentang alam sadar fikiran.[6] Perubahan dalam kelakuan manusia ini selanjutnya akan menyebabkan pula perubahan dalam lingkungan. Dengan adanya hubungan dinamis-sirkuler antara manusia dan lingkungan dapat dikatakan hanya dalam lingkungan yang baik, manusia dapat berkembang secara maksimal, dan hanya dengan manusia yang baik lingkungan dapat berkembang ke arah yang optimal.
Lingkungan yang berkualitas memiliki konsep yang sangat erat hubungannya dengan konsep kualitas hidup. Suatu lingkungan hidup yang dapat mendukung kualitas hidup yang baik, dikatakan mempunyai kualitas yang baik pula pada lingkungannya. Konsep kualitas hidup adalah derajat terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Makin baik kebutuhan dasar itu dapat dipenuhi oleh lingkungan hidup, makin tinggi pula kualitas lingkungan hidup itu. Perbincangan lingkungan hidup dewasa ini adalah pencemaran oleh industri, pestisida, alat transportasi, erosi, banjir dan kekeringan. Karena masalah-masalah tersebut banyak menganggap bahwa tindakan manusia telah merusak lingkungan, sedangkan segala yang alamiah merupakan lingkungan yang baik. Apabila kita melihat kualitas lingkungan hidup dari kebutuhan dasar, maka anggapan tersebut tidaklah benar.
Oleh karena itu, dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh semena-mena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya. Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, didaratan dan didalam hutan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah sudah memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56:
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
" Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik". (al-A'raf:56)

Menyadari hal tesebut maka dalam pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus digunakan dengan rasional. Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan.
B.     Pelestarian Lingkungan dalam Perspektif Islam
1.      Tanggungjawab manusia terhadap lingkungan
Dalam konsep khilafah menyatakan bahwa manusia telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini (khalifatullah fil’ardh). Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul’alamin). Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya dalam batas-batas kemampuan manusia.[7]
Al-Qur'an membicarakan tentang Tuhan, Manusia dan Alam. Tiga tema yang berulang disebutkan dalam kitab suci umat Islam ini, bila dipahami dengan baik dan benar, serta dilaksanakan, maka ada harapan bahwa sebuah peradaban yang lebih ramah mungkin dapat diwujudkan. Apa yang senantiasa diingatkan ialah agar manusia tetap setia kepada konstitusi fitrinya.[8]
Manusia ialah makhluk terbaik diantara semua ciptaan Allah dan memegang tanggungjawab mengelola bumi, maka semua yang ada di bumi diserahkan untuk manusia. Manusia diberikan beberapa kelebihan diantara makhluk ciptaan-Nya, yaitu kemuliaan, diberikan fasilitas di daratan dan lautan, mendapat rizki dari yang baik-baik, dan kelebihan yang sempurna atas makhluk lainnya. Bumi dan semua isi yang berada di dalamnya diciptakan Allah untuk manusia, segala yang manusia inginkan berupa apa saja yang ada di langit dan bumi. Daratan dan lautan serta sungai-sungai, matahari dan bulan, malam dan siang, tanaman dan buah-buahan, binatang melata dan binatang ternak.
    Sebagai khalifah di bumi, manusia diperintahkan beribadah kepada-Nya dan diperintah berbuat kebajikan dan dilarang berbuat kerusakan. Selain konsep berbuat kebajikan terhadap lingkungan. Kekhalifahan mengandung tiga unsur pokok yang diisyaratkan dalam Al Qur’an (Q.S. Al Baqarah [2]:30).
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Unsur-unsur tersebut sesuai dengan ayat di atas adalah adalah: (1). Manusia sebagai khalifah. (2). Alam raya sebagai ardh (tempat tinggal). (3). Tugas kekhalifahan, yaitu hubungan antara manusia dan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia.[9]
Pemahaman ini juga selaras dengan penafsiran Tahabatabai yang memaknai terma khalifah pada ayat tersebut tidaklah berkonotasi politis individual, namun kosmologis komunal. Dengan demikian, Adam dalam hal ini bukanlah sebagai sosok personal, namun dimaknai sebagai simbol seluruh komunitas manusia.[10] Dengan demikian, penyandang khalifah dalam hal ini adalah seluruh spesies manusia.
Kekhalifahan menuntut pemeliharaan, bimbingan, pengayoman, dan pengarahan seluruh mahluk agar mencapai tujuan penciptaan. Melalui tugas kekhalifahan, Allah SWT. Memerintahkan manusia membangun alam ini sesuai dengan tujuan yang dikehendaki Nya.
uqèd Nä.r't±Rr& z`ÏiB ÇÚöF{$# óOä.tyJ÷ètGó$#ur $pkŽÏù çnrãÏÿøótFó$$sù ¢OèO (#þqç/qè? Ïmøs9Î) 4
 “… Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan memerintahkan kamu memakmurkannya…”(Q.S. Hud [11]:61)
Dalam ayat diatas menjelaskan bahwa fungsi manusia sebagai khalifah Allah untuk memakmurkan bumi (alam yang paling dekat dengan manusia) dengan jalan amal terbaik atau karya kreatif.[11]
Hubungan manusia dengan alam atau lingkungan hidup atau hubungan dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dengan hambanya, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Karena kemampuan manusia dalam mengelolah bukanlah akibat ketentuan yang dimilikinya, tetapi akibat anugerah dari Allah SWT.[12] 
Kekhalifahan juga mengandung arti “bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya”.Dalam pandsngan agama, seseorang tidak dibenarkan memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkannya dan bunga sebelum berkembang, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk ini untuk mencapai tujuan penciptaannya. Sebagaimana terdapat dalam surat Al Ahqof 46 ayat: 3
$tB $oYø)n=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur !$yJßgoYøŠt/ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 9@y_r&ur wK|¡B 4 tûïÏ%©!$#ur (#rãxÿx. !$£Jtã (#râÉRé& tbqàÊ̍÷èãB ÇÌÈ  
 “Kami tidak ciptakan langit dan bumi serta apa yang berada diantara keduanya  kecuali dengan (tujuan) yang hak dan dalam waktu yang ditentukan (QS. Al Ahqof 46:3)
Tugas manusia sebagai kholifah tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, kelompok atau bangsa dan sejenisnya, tetapi ia harus berpikir dan bersikap untuk kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya, karena sesungguhnya yang mampu menundukkan alam hanyalah Allah, manusia tidak mempunyai kemampuan sedikitpun kecuali kemampuan yang dianugerahkan kepadanya.
Kesadaran manusia dalam perannya sebagai khalifah yang telah ditunjuk oleh Allah di muka bumi seyogyanya mulai bertindak arif dan bijaksana dalam mengelola kekayaan alam dan bumi sehingga terhindar dari kerusakan. Dan kelestarian bumi dan lingkungan hidup tetap terjaga.
Menurut  pandangan  agama  manusia  dituntut untuk  mampu  menghormati proses-proses  yang  sedang tumbuh, dan terhadap  apa saja  yang  ada. Etika agama terhadap   alam   mengantar   manusia   untuk  bertanggung jawab sehingga ia tidak melakukan   perusakan  dengan   demikian, dengan  kemampuan  yang dimilikinya, manusia  tidak  hanya dituntut  dapat menyesuaikan diri. Akan tetapi, manusia juga dituntut untuk  dapat memanfaatkan potensi lingkungan untuk lebih mengembangkan kualitas kehidupannya.
Untuk itulah maka setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia itu sendiri. Bukankah Allah telah mengecam sikap   perusakan di bumi? Sehingga sudah sepantasnya Al Qur’an dan hadits dijadikan landasan berpijak guna tercapainya kelestarian lingkungan.[13]
2.       Etika terhadap lingkungan dalam perspektif ajaran Islam
Sejak akhir abad ke-17 degradasi alam diintensifikasikan oleh para ilmuwan menjadi suatu pengetahuan yang mekanistis. Alam dilihat sebagai mesin yang mempunyai sistem teratur, dan bagian-bagiannya dimaksudkan sebagai hokum alam yang dideduksi lewat pemikiran rasional dan diverifikasikan dengan eksperimen. Alam tidak lagi dilihat sebagai organisme hidup, tetapi hanyalah sebuah objek yang dapat diekspolitasi dan dimanipulasikan. Pandangan positivistik-mekanistik ini mendorong timbulnya penemuan-penemuan teknologi modern yang semakin maju. Kendati demikian, perkembangan teknologi dengan hasil-hasilnya semakin memperkuat posisi manusia dalam kedudukannya sebagai “sang penguasa” alam semesta dan berbagai kekayaan alam yang dikandungnya. Sikap superior manusia terhadap alam memberikan banyak peluang bagi manusia untuk merusak tatanan lingkungan hidupnya.[14]
Menurut Muhammad Idris ada tiga tahapan dalam beragama secara tuntas dapat menjadi sebuah landasan etika lingkungan dalam perspektif Islam.
Pertama ta`abbud. Bahwa menjaga lingkungan merupakan impelementasi kepatuhan kepada Allah. Karena menjaga lingkungan adalah bagian dari amanah manusia sebagai khalifah. Bahkan dalam ilmu fiqih menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan berstaus hukum wajib karena perintahnya jelasa baik dalam Al Qur`an maupun sabda Rasulullah Saw. Menurut Ali Yafie masalah lingkungan dalam ilmu fiqih masuk dalam bab jinayat (pidana) sehingga jika ada orang yang melakukan pengrusakan terhadap lingkungan dapat dikenakan sangsi atau hukuman.
Kedua, ta`aqquli. Perintah menjaga lingkungan secara logika dan akal pikiran memiliki tujuan yang sangat dapat difahami. Lingkungan adalah tempat tinggal dan tempat hidup makhluk hidup. Lingkungan alam telah didesain sedemikian rupa oleh Allah dengan keseimbangan dan keserasiaanya serta saling keterkaitan satu sama lain. Apabila ada ketidak seimbangan atau kerusakan yang dilakukan manusia. Maka akan menimbulkan bencana yang bukan hanya akan menimpa manusia itu sendiri tetapi semua makhluk yang tinggal dan hidup di tempat tersebut akan binasa.
Ketiga, takhalluq. Menjaga lingkungan harus menjadi akhlak, tabi`at dan kebiasaan setiap orang. Karena menjaga lingkungan ini menjdi sangat mudah dan sangat indah manakala bersumber dari kebiasaan atau keseharian setiap manusia sehingga keseimbangan dan dan kelestarian alam akan terjadi dengan dengan sendirinya tanpa harus ada ancaman hukuman dan sebab-sebab lain dengan iming-imning tertentu.[15]

3.      Pemeliharaan Dan Pemanfaatan Lingkungan Dalam Islam
Masalah lingkungan hidup adalah masalah global dunia. Musibah pencemaran udara dan air bukan hanya akan menimpa satu bangsa atau negara, tetapi juga akan menimpa Negara tetangga sekitar. Pencemaran di kota lambat laun juga akan sampai ke desa. Hujan asam akan menyebar melampaui batas-batas negara. Kebakaran hutan di pedalaman Kalimantan nyatanya juga mengganggu jalur laut dan udara, bahkan darat, yang pada akhirnya juga mengganggu tetangga sekitar. Polusi udara di kota memaksa orang membangun villa di daerah dataran tinggi, yang pada gilirannya akan merusak sumber mata air di pegunungan dan kembali lagi mengganggu banyak orang, namun anehnya, begitu lingkungan hidup itu ditarik ke permukaan, laju tingkat pencemaran udara dan air bukannya berkurang, melainkan malah bertambahtambah.
Kebakaran hutan semakin merajalela, penggunaan bahan bakar terus meningkat cepat berbarengan dengan laju bertambahnya jumlah kendaraan bermotor serta mesin-mesin industri, dan tingkat panas bumi pun semakin naik saja. Peresmian zona industri baru di berbagai kota terus bertambah luas, bukan bertambah surut.[16]
Jika kita membaca kitab suci Al Qur'an dengan teliti, Menurut Amin Abdullah, kita akan mempunyai pandangan dasar yang sangat mencolok bahwa ternyata Al Qur'an tidak semata-mata berbicara tentang hal-hal yang bersifat metafisis–eskatologis, tetapi dia juga berbicara panjang lebar tentang alam semesta yang dihuni oleh manusia serta makhluk-makhluk lainnya sekarang ini.[17]
Al Qur'an merupakan hudan li al-nas (petunjuk bagi manusia), bukan hudan li Allah (petunjuk bagi Allah). Sudah barang tentu, bukan hanya petunjuk dalam arti metafisis–eskatologis, melainkan juga menyangkut masalah-masalah praktis kehidupan manusia di alam dunia sekarang ini, termasuk didalamnya patokan dasar tentang bagaimana manusia menyantuni alam semesta dan lingkungan sekitarnya.
Beberapa ayat Al Qur'an yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup.
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya) mereka berkata, “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan siasia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka…” (Ali Imran : 190-191).
Pengertian yang terkandung dalam ilmu ekologi, memang tidak ada makhluk yang sia-sia diciptakan oleh. Khaliknya. Kehidupan makhluk di muka bumi, baik tumbuh-tumbuhan, binatang, maupun manusia, saling terkait dalam satu keutuhan lingkungan hidup. Apabila terjadi gangguan terhadap lingkungan hidup itu secara keseluruhan.
Hutan yang ada jauh di hulu sungai, apabila dibabat habis secara sewenang-wenang, akan menimbulkan akibat berupa hilangnya kesuburan tanah di gunung itu, dan mengakibatkan pula banjir bandang di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau, yang selanjutnya mengganggu kehidupan padi di sawahsawah dan akhirnya menimbulkan paceklik bagi manusia dan binatang yang hidup di dalam aliran sungai itu, dengan demikian semua makhluk yang hidup disitu mempunyai satu ikatan kehidupan.
Al Qur’an juga dengan tegas melarang perusakan di bumi dan supaya manusia menjaga keseimbangan alam.
Artinya: “ Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Al Qhashash 77).
Al Qur'an menjelaskan, Tuhan menciptakan segala sesuatu tidak sia-sia dan melarang manusia untuk berbuat kerusakan di bumi, hal ini mengandung makna keseimbangan.
Keseimbangan yang diciptakan Allah SWT dalam suatu lingkungan hidup akan terus berlangsung, dan baru akan terganggu apabila terjadi suatu keadaan luar biasa. Keadaan luar biasa itu terjadi dalam bentuk bencana alam. Bencana alam itu ada yang di luar penguasaan manusia, seperti gempa tektonik, gempa yang disebabkan terjadinya pergeseran kerak bumi. Al Qur'an dalam surat Ar Ruum ayat 41 telah menjelaskan, kebanyakan bencana alam di planet ini disebabkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab (lihat bab I hlm. 3).
Masih banyak lagi ayat Al Qur'an yang menerangkan lingkungan hidup. Ayat-ayat tersebut di atas, barangkali memang belum begitu gamblang artinya pada saat itu diturunkan 14 abad yang lalu. Akan tetapi, ayat-ayat tersebut ternyata sangat relevan untuk saat ini, ketika orang sedang kebingungan mencari cara bagaimana menanggulangi masalah pencemaran lingkungan hidup yang kian hari dirasakan semakin bertambah-tambah.
Amanat yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di bumi hendaknya diwujudkan sedalam tindakan memelihara, mengelola, mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan alam dengan sebaik-baiknya.[18]
Dorongan kepada manusia untuk pemeliharaan lingkungan hidup terdapat dalam perintah Allah yang telah Kesalehan terhadap alam dalam bentuk etika tersebut, dalam Islam dianggap sebagai manifestasi rasa keberimanan manusia kepada Allah SWT. Muaranya adalah bahwa manusia dikatakan sebagai orang yang beriman manakala lingkungannya terjaga dengan baik.
4.      Islam Sebagai Motivator Pergerakan Atas Eksitensi Lingkungan Hidup
Agama Islam adalah suatu agama yang dipeluk oleh sejumlah besar penduduk bumi. Dapat dibayangkan betapa besar dampak kebaikanya terhadap lingkungan hidup jika seluruh penganut Islam memiliki kesadaran yang sama untuk memberikan perhatian yang serius terhadap lingkungan hidup. Maka dari itu, kiranya saat ini para tokoh Islam sangat perlu menggali lebih jauh unsur-unsur keagamaan mereka, entah itu unsur teologis, fikih atau unsur-unsur ajaran yang lain agar dapat membantu atau memotivasi para penganut yang lain untuk semakin mencintai dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Untuk mewujudkan hal tersebut bisa direpresentasikan melalui persuasife methode, yaitu dengan :
a.      Pendekatan Teologis
Disadari bahwa al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam (kosmogoni) dan lebih spesifik lagi lingkungan hidup. Namun, bukan berarti bahwa al-Qur’an tidak memberikan perhatian yang serius terhadap lingkungan hidup. Mungkin dengan alasan bahwa pada saat al-Qur’an diturunkan masalah lingkungan hidup belumlah menjadi masalah yang mendesak, masalah minimnya al-Qura’an dalam membahas masalah alam dapat dijawab. Sekarang, kiranya yang penting dibicarakan bukanlah mempermasalah keminiman al-Qur’an yang membicarakan tetang alam tetapi justru sebaliknya bagaimana menggunakan sedikit teks atau ajaran-ajaran di dalam al-Qur’an yang membicarakan tentang alam tersebut dan mengembangkan dasar-dasar teologis atau pun mungkin juga fikih dengan tujuan menyediakan perspektif baru bagi umat Islam agar semakin peduli terhadap alam dan lingkungan hidup.
Dalam bagian tertentu al-Qur’an dikatakan bahwa Allah adalah pemilik yang mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal disamping pemeliharanya yang maha pengasih. Karena kekuasaan-Nya yang mutlak maka jika Allah hendak menciptkan langit dan bumi, maka Dia berkata kepada keduanya: “Jadilah kalian, baik dengan suka maupun dengan terpaksa!”(41: 11). Secara implisit, teks yang baru saja disebutkan di atas dalam arti tertentu dapat diangkat menjadi suatu dasar teologi bagaimana Allah memperlakukan alam. Dalam teks tersebut dikatakan bahwa “Allah adalah pemilik dari alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal disamping pemeliharanya yang maha pengasih”. Melalaui teks itu ditunjukkan bahwa Allah sendiri sebagai pencipta alam semesta begitu mengasihi apa yang Ia ciptakan. Jika makna ungkapan itu ditarik agak luas, maka sangat mungkin sekali untuk dikatakan bahwa semestinya manusia dan alam, sebagai sama-sama bagian dari alam semesta, saling kasih mengasihi seperti Allah sendiri yang juga mengasihi mereka sebagai ciptaan-Nya.
Selanjutnya, di dalam pemahaman mengenai konsep-konsep kosmologis al-Qur’an tertentu, ciptaan Allah memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Ciptaan Allah di seluruh jagad raya ini secara jelas disebutkan sebagai “ayat-ayat” Allah, misalnya dalam Surah’Ali Imran 190 disebutkan bahwa; Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar).[19]
Penghargaan yang cukup tinggi terhadap ciptaan Allah atau unsur-unsur alam terdapat juga dalam pandangan berberapa tokoh Islam, misalnya adalah al-Jahiz ketika membahas persoalan penafsiran mataforis fakta-fakta tekstual al-Qur’an dalam bukunya al-Hayawan. Di sana dikatakan bahwa ada orang-orang yang menduga bahwa batu merupakan makhluk berakal, berdasarkan Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 74”…dan di antaranya (di antara batu) sungguh ada yang meluncur karena takut kepada Allah…,” sebagaimana ada yang menduga bahwa ada nabi-nabi untuk lebah-lebah. Berdasarkan QS. al-Nahl: 68, “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah”.
Beberapa petikan ayat-ayat al-Qur’an yang dikemukakan di atas kiranya semakin memperkuat bukti bahwa ada cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang dapat diangkat dan dijadikan semacam pedoman teologis guna membangun atau memperkokoh pendapat bahwa al-Qur’an secara langsung memberikan tempat yang penting terhadap ciptaan Allah dan unsur-unsur alam. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan pendapat-pendapat di atas rasanya tidak ada cukup alasan yang kuat bagi manusia untuk seenaknya melakukan eksploitasi terhadap alam dan ciptaan Allah yang lain. Sebaliknya, diharapkan akan muncul kesadaran dan kehendak mereka untuk menghargai alam dan ciptaan lain sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan cukup tinggi bahkan dekat dengan Allah.
b.      Pendekatan Fikih
Dalam pendekatan teologis di atas, alam dan unsur-unsur ciptaan lain coba dipahami sebagai ciptaan Allah yang memiliki kedekatan sedemikian rupa dengan pencipta-Nya. Pemahaman tersebut sudah sangat bagus, akan tetapi rasanya masih kurang memadai. Artinya, rasanya perlu ada pendekatan lain yang lebih kuat untuk mengangkat ke permukaan persoalan lingkungan hidup serta bagaimana cara menanganinya. Pendekatan lain yang dimaksud adalah pendekatan fikih.
Mengapa pendekatan fikih perlu dalam membahas masalah lingkungan hidup, pertama-tama karena fikih yang berarti juga sebagai sistem pemikiran hukum Islam,[20]dapat memberikan kepastian bagi mereka yang meyakininya. Dengan adanya kepastian tersebut orang atau umat Islam menjadi tidak ragu-ragu lagi bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah yang memang penting untuk diperhatikan. Selanjutnya, kepastian tersebut dapat diharapkan menjadi suatu sumber motivasi yang sangat kuat bagi umat Islam khususnya untuk semakin peduli terhdap lingkungan hidup. Dalam konteks hukum Islam, pelestarian lingkungan hidup, dan tanggung jawab manusia terhadap alam banyak dibicarakan. Hanya saja, dalam pelbagai tafsir dan fikih, isu-isu lingkungan hidup hanya disinggung dalam konteks generik dan belum spesifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki kekuatan. Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam beberapa bab yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini
Melihat situasi modern saat ini yang dengan jelas-jelas ditandai oleh kerusakan lingkungan hidup yang begitu dahsyat, rasanya fikih tentang lingkungan hidup perlu dikembangkan terus-menerus agar dapat menjawab kebutuhan jaman yang semakin menekankan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan hidup. Dengan kata lain, pengembangan fikih lingkungan hidup kini bisa menjadi suatu pilihan penting di tengah krisis-krisis ekologis yang secara sistematis disebabkan oleh keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi.
Islam sebagai agama yang secara organik memperhatikan manusia dan lingkungannya memiliki potensi amat besar untuk melindungi bumi. Dalam al-Quran sendiri kata ‘bumi’ (ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam.  Di bagian lain komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan hidup juga banyak disebutkan dalam alQur’an dan hadis. Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam QS 2:30; segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia QS 45:13; dan sebagainya. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi.
Dalam kerangka pemikiran tersebut di atas, maka melindungi dan merawat lingkungan hidup menjadi semakin jelas sebagai suatu kewajiban setiap Muslim. Oleh karena itu, rasanya sangat perlu sekali gagasan yang telah terungkap di atas diintegrasikan dan disosialisaikan kepada segenap umat Muslim dan selanjutnya pada masyarakat luas dengan cara yang baru. Dalam hal ini, di Indonesia khususnya, para ulama memiliki peran penting untuk mewujudkan gagasan-gagasa yang telah dikemukakan di atas. Sebagai pribadi yang diberi label penerus para Nabi, ulama mempunyai kewajiban untuk memberikan sumbangsih riil bagi pembumian konsep fikih lingkungan hidup. Ulama harus meyakinkan publik bahwa tanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup menjadi “beban” setiap Muslim, bukan hanya institusi atau lembaga. Terlebih dalam konteks keindonesiaan, pembumian konsep fikih lingkungan hidup terasa menjadi demikian mendesak mengingat maraknya bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup.
Pandangan teologis dan fikih tentang lingkungan hidup yang telah diurakan di atas diyakini akan sangat bermanfaat untuk menanggapi krisis lingkungan hidup dan menyediakan landasan dasar motivasi bagi umat Muslim yang hendak mewujudkan perhatian dan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup. Dalam konteks negara Indonesia, yang 80 % penduduknya adalah umat Muslim, tanggungjawab, kepedulian dan perhatian terhadap lingkungan hidup tersebut pastilah akan memiliki dampak yang luar biasa besarnya bagi terwujudnya keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
        Dari uraian tersebut diatas dapat penulis simpulkan bahwa kerusakan  lingkungan hidup yang saat ini terjadi adalah akibat ulah manusia sendiri. Dan yang menjadi persoalan sekarang adalah bahwa kesadaran untuk memperhatikan , merawat dan melestarikan lingkungan hidup belum sejalan dengan kerusakan yang terjadi.Dalam keadaan seperti ini peran agama terutama agama Islam menjadi sangat penting karena:  
1.    Lingkungan Hidup adalah semua benda dan kondisi, termasuk manusia dan tingkah lakunya yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan serta mensejahterakan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya. Suatu lingkungan hidup yang dapat mendukung kualitas hidup yang baik, dikatakan mempunyai kualitas yang baik pula pada lingkungannya. Konsep kualitas hidup adalah derajat terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Makin baik kebutuhan dasar itu dapat dipenuhi oleh lingkungan hidup, makin tinggi pula kualitas lingkungan hidup itu.
2.    Sebagian penduduk bumi adalah orang-orang yang beragama. Dan sebagian besar besar adalah penganut agama Islam. Maka melalui agama dapat dilahirkan nilai – nilai positif terhadap alam dan lingkungan hidup yang diharapkan dapat membantu kesadaran banyak orang (paling tidak bagi mereka yang beragama) atas krisis yang sekarang ada.
Sehingga Agama menjadi motivator atau agama dapat menjadi media yang strategis guna membangun semangat untuk peduli terhadap lingkungan hidup.



DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Mujiono. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an. Cet I; Jakarta: Paramadina, 2001
Alex MA, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Suarabaya, Karya Harapan,Tanpa tahun.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. edisi III; Jakarta: Balai Pustaka, 2001
Fazlur Rahman,Tema pokok Al Qur,an, diterjemahkan dari Mayor Themes of Al qur’an terbitan Bibliotheca Islamica,Chicago, 1980, Bandung, Penerbit PUSTAKA, 1983
Ghazali, Bahri. Lingkungan Hidup dalam Pemahaman Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999
M.Thalhah,  Fiqih ekologi, yogjakarta, Total Media, 2008
Qardhawi, Yusuf. Ri’ayah al-Biah fi al-Syari’ah al-Islam diterjemahkan oleh Abdullah Hakam Shah dengan judul “Islam Agama Ramah Lingkungan”. Cet I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002
Riyadi, Slamet. Ekologi Ilmu Lingkungan Dasar-Dasar dan Pengertiannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1998
Shihab, Quraish. Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan,1994




[1] Ilyas Asaad, “Teologi Lingkungan”, (Yogyakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, Dan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2011), hal. 12
[2] Nani Soewondo,Hukum dan Kependudukan di Indonesia,(Bandung, Binacipta,1982), hal.187-188
[3] Kumpulan peraturan bidang Lingkungan Hidup,(Jakarta, CV .Eko Jaya, 1988), hal. 8
[4] Ilyas Asaad, “Teologi Lingkungan”, (Yogyakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, Dan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2011), hal. 12
[5] Adnan Harahap, dkk, Islam dan Lingkungan Hidup. (Jakarta: Cv. Fatma Press, 1997). hal. 25-26
[6] Soerjani  dalam , Islam dan Lingkungan Hidup. (Jakarta: Cv. Fatma Press, 1997). hal. 26
[7] Endang Syaifuddin Anshari dalam “ Islam untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan Hidup”, Jakarta:Litbang Agama,1984. hal.35
[8] Ahmad Syafi'I Ma'arif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 3-4
[9] Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, 2007, edisi baru. Cet. 1,  hal. 246.
[10] Mujiono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 2001, hlm. 205.
[11] Endang Syaifuddin Anshari dalam “ Islam untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan Hidup”, Jakarta:Litbang Agama,1984. hal.35
[12] Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung, Mizan,1994), hal. 295.
[13] Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, hla. 295-297.
[14] Muhammad Idrus, “Islam dan Etika Lingkungan”, www.mohidrus.wordpress.com,  dalam
Jurnal  Etika Islam Dalam Mengelola Lingkungan Hidup diakses tanggal 1 Juni 2015. 
[15] Ibid
[16] Otto Soemarwoto, Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 1
[17] Untuk Hal ini dapat dilihat dalam Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 95-116
[18] Yusuf Al Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, Pustaka al Kautsar, Jakarta,
2001,hlm.81
[19] Budhy Munawar-Rachman (ed), Kotekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Penerbit Paramadina: Jakarta, 1995, hlm. 59.
[20] Ibid

Tidak ada komentar: