PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
Makalah
Dibuat Dalam Rangka Memenuhi tugas Mata Kuliah
Transformasi
Global Pendidikan Islam
Dosen
Pengampu: Dr.
H. Ruswan, M.A dan Dr. H. Muslih, Mz, M.A
Disusun Oleh :
Ali Anwar (1400018020)
PROGRAM MAGISTER STUDI ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
lingkungan telah menjadi isu global karena menyangkut berbagai sektor dan
berbagai kepentingan umat manusia.
Hal ini terbukti dengan munculnya isu kerusakan lingkungan yang semakin santer
terdengar,
jika dicermati sebenarnya berakar dari cara pandang dan perilaku manusia
terhadap alam lingkungannya. Kerusakan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini
diakibatkan oleh manusia. Perilaku manusia yang kurang atau tidak
bertanggungjawab terhadap lingkungannya telah mengakibatkan terjadinya berbagai
macam kerusakan lingkungan.
Sebagai contoh pencemaran lingkungan
akibat pembuangan limbah industri, rumah tangga, dan kegiatan lain yang tidak
bertanggung jawab, akhirnya mengancam balik keselamatan dan kehidupan manusia.
Penebangan dan atau penggundulan hutan, eksploitasi bahan tambang secara
membabi buta juga merupakan perbuatan manusia yang rakus dan tidak bertanggung
jawab terhadap lingkungannya. Dalam hal ini perbaikan akhlak masyarakat
merupakan sesuatu yang mutlak dan harus diletakkan pada fase pertama dalam
upaya penyelamatan dan perbaikan lingkungan.
Untuk itu sebagai muslim kita
seharusnya memahami landasan-landasan dari pelestarian lingkungan hidup. Karena
pelestarian lingkungan hidup tak lepas dari tanggung jawab manusia
sebagai khalifah di bumi ini.Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi ini
untuk mengatur kehidupan lingkungan hidup yang baik dan tertata, namun
sebaliknya justru saat ini manusia telah membuat kerusakan di bumi.
Islam merupakan agama yang mengatur
semua aspek kehidupan di muka bumi, termasuk mengenai bagaimana manusia dalam
menjaga lingkungan. Islam memberikan pandangan tersendiri terhadap lingkungan,
karena manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi, yang harus menjaga dan
melestarikan bumi. Apabila masyarakat muslim memahami bahwa
interaksi yang benar dengan lingkungan juga merupakan ibadah mungkin kerusakan
lingkungan tidak akan sebesar yang terjadi
B. Rumusan Masalah
Dari latar
belakang diatas maka rumusan masalahanya adalah :
1. Bagaimana
konsep lingkungan?
2. Bagaimana
pandangan Islam dalam pelestarian
lingkungan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Konsep Lingkungan
dalam Islam
Lingkungan
alamiah (natural environment) yang sering dipendekkan menjadi
“lingkungan” dan yang dalam istilah bahasa kita sering disebut “lingkungan
hidup”, diberi ta’rif (pengertian) sebagai suatu keadaan atau kondisi
alam yang terdiri atas benda-benda ( makhluk) hidup dan benda-benda tak hidup
yang berada di bumi atau bagian dari bumi secara alami dan saling berhubungan
antara satu dengan lainnya.[1]
Lingkungan
Hidup adalah semua benda dan kondisi, termasuk manusia dan tingkah lakunya yang
ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan
serta mensejahterakan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya.[2]
Sedangkan
menurut “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982” tentang
“Ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup” dalam ketentuan umum pasal
1. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan mahluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk
hidup lainnya.[3]
Lingkungan (alam) ini terdiri atas beberapa komponen kunci
yakni:
1.
Satuan landscape
lengkap yang berfungsi sebagai sistem alami yang belum mengalami intervensi
manusia, termasuk didalamnya terdapat tanah, air, bebatuan, hewan dan tumbuhan,
serta segala fenomena alam yang terjadi dalam batas alami tersebut.
2.
Sumber daya alam
umum dan fenomena yang tidak selalu berada di dalam batas-batas alami tersebut
seperti udara, iklim dan atmosfer, akan tetapi mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh landscape yang bersangkutan.
3.
Tampilan atau
keadaan alam yang terjadi di dalam batas batas alami, akan tetapi keberadaannya
dan kondisinya sangat dipengaruhi oleh atau direkayasa oleh manusia, seperti
misalnya hewan liar di sebuah taman margasatwa atau kebun binatang.[4]
Dengan demikian terdapat dua macam lingkungan yakni lingkungan
alamiah (natural environment) dan lingkungan buatan (built
environment), yang antara keduanya berbeda sifat dan kondisinya. Lingkungan
buatan merupakan areal atau komponen alam yang telah dipengaruhi atau direkayasa
oleh manusia. Suatu wilayah geografis tertentu misalnya hutan konservasi, pada
umumnya masih dipandang sebagai lingkungan alamiah, walaupun campur tangan
manusia telah ada dalam wilayah tersebut, akan tetapi masih sangat terbatas.
Sedangkan areal cagar alam misalnya, merupakan areal yang sama sekali belum ada
campur tangan manusia didalamnya.
Antara
manusia dengan lingkungan terdapat hubungan yang dinamis. Perubahan dalam
lingkungan akan menyebabkan perubahan dalam kelakuan manusia untuk menyesuaikan
diri dengan kondisi yang baru. Karena sesungguhnya alam fikiran manusialah yang
menyadari keberadaan alam semesta, ada tida pandangan filosofi berkenaan dengan
kesadaran manusia terhadap alam yaitu:
1. Bahwa
alam ini berubah dari sistem yang berevolusi secara alamiah. Dalam hal ini alam
pikiran manusia dapat dianggap sebagai unsure abstrak dari lingkungan hidup.
2. Bahawa
manusia terpisah dari lingkungannya, dan manusia hanya sekedar pelaku sedangkan
lingkungan adalah objek yang dapat dieksploitasi secara maksimal untuk
kepentingannya sendiri.
3. Bahwa
manusia dan lingkungan menjadi satu. Pandangan yang bersifat inklusif bahwa
manusia adalah bagian dari pada alam.[5]
Pandangan
terbaik yaitu menggabungkan dari ketiganya secara seimbang, bahwa manusia
adalah bagian mutlak dari lingkungan hidupnya; manusia memiliki kemampuan yang
lebih, terutama penguasaan tentang alam sadar fikiran.[6] Perubahan
dalam kelakuan manusia ini selanjutnya akan menyebabkan pula perubahan dalam
lingkungan. Dengan adanya hubungan dinamis-sirkuler antara manusia dan
lingkungan dapat dikatakan hanya dalam lingkungan yang baik, manusia dapat
berkembang secara maksimal, dan hanya dengan manusia yang baik lingkungan dapat
berkembang ke arah yang optimal.
Lingkungan
yang berkualitas memiliki konsep yang sangat erat hubungannya dengan konsep
kualitas hidup. Suatu lingkungan hidup yang dapat mendukung kualitas hidup yang
baik, dikatakan mempunyai kualitas yang baik pula pada lingkungannya. Konsep
kualitas hidup adalah derajat terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. Makin baik
kebutuhan dasar itu dapat dipenuhi oleh lingkungan hidup, makin tinggi pula
kualitas lingkungan hidup itu. Perbincangan lingkungan hidup dewasa ini adalah
pencemaran oleh industri, pestisida, alat transportasi, erosi, banjir dan
kekeringan. Karena masalah-masalah tersebut banyak menganggap bahwa tindakan
manusia telah merusak lingkungan, sedangkan segala yang alamiah merupakan
lingkungan yang baik. Apabila kita melihat kualitas lingkungan hidup dari
kebutuhan dasar, maka anggapan tersebut tidaklah benar.
Oleh karena itu, dalam memanfaatkan
bumi ini tidak boleh semena-mena, dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya.
Pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada di laut, didaratan dan
didalam hutan harus dilakukan secara proporsional dan rasional untuk kebutuhan
masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya. Allah
sudah memperingatkan dalam surat al'A'raf ayat 56:
وَلاَ
تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ
رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
" Dan janganlah kalian membuat
kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah
kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat
baik". (al-A'raf:56)
Menyadari hal tesebut maka dalam
pelaksanaan pembangunan sumber daya alam harus digunakan dengan rasional.
Penggalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi
dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata hidup manusia. Perlu diusahakan
penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestariannya
sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan.
B. Pelestarian Lingkungan dalam Perspektif Islam
1. Tanggungjawab manusia terhadap lingkungan
Dalam konsep
khilafah menyatakan bahwa manusia telah dipilih oleh Allah di muka bumi ini
(khalifatullah fil’ardh). Sebagai wakil Allah, manusia wajib untuk bisa
merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat
Allah tentang alam adalah sebagai pemelihara atau penjaga alam (rabbul’alamin).
Jadi sebagai wakil (khalifah) Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan
bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Artinya, menjaga keberlangsungan fungsi
bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia sekaligus menjaga
keberlanjutan kehidupannya dalam batas-batas kemampuan manusia.[7]
Al-Qur'an
membicarakan tentang Tuhan, Manusia dan Alam. Tiga tema yang berulang
disebutkan dalam kitab suci umat Islam ini, bila dipahami dengan baik dan
benar, serta dilaksanakan, maka ada harapan bahwa sebuah peradaban yang lebih
ramah mungkin dapat diwujudkan. Apa yang senantiasa diingatkan ialah agar
manusia tetap setia kepada konstitusi fitrinya.[8]
Manusia
ialah makhluk terbaik diantara semua ciptaan Allah dan memegang tanggungjawab
mengelola bumi, maka semua yang ada di bumi diserahkan untuk manusia. Manusia diberikan
beberapa kelebihan diantara makhluk ciptaan-Nya, yaitu kemuliaan, diberikan
fasilitas di daratan dan lautan, mendapat rizki dari yang baik-baik, dan
kelebihan yang sempurna atas makhluk lainnya. Bumi dan semua isi yang berada di
dalamnya diciptakan Allah untuk manusia, segala yang manusia inginkan berupa
apa saja yang ada di langit dan bumi. Daratan dan lautan serta sungai-sungai,
matahari dan bulan, malam dan siang, tanaman dan buah-buahan, binatang melata
dan binatang ternak.
Sebagai khalifah di bumi, manusia diperintahkan beribadah kepada-Nya dan
diperintah berbuat kebajikan dan dilarang berbuat kerusakan. Selain konsep berbuat
kebajikan terhadap lingkungan. Kekhalifahan mengandung tiga unsur pokok yang
diisyaratkan dalam Al Qur’an (Q.S. Al Baqarah [2]:30).
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Unsur-unsur
tersebut sesuai dengan ayat di atas adalah adalah: (1). Manusia sebagai
khalifah. (2). Alam raya sebagai ardh (tempat tinggal). (3). Tugas
kekhalifahan, yaitu hubungan antara manusia dan alam dan segala isinya,
termasuk dengan manusia.[9]
Pemahaman ini
juga selaras dengan penafsiran Tahaba’taba’i
yang memaknai terma khalifah pada ayat tersebut tidaklah berkonotasi politis
individual, namun kosmologis komunal. Dengan demikian, Adam dalam hal ini
bukanlah sebagai sosok personal, namun dimaknai sebagai simbol seluruh
komunitas manusia.[10]
Dengan demikian, penyandang khalifah dalam hal ini adalah seluruh spesies
manusia.
Kekhalifahan
menuntut pemeliharaan, bimbingan, pengayoman, dan pengarahan seluruh mahluk agar
mencapai tujuan penciptaan. Melalui tugas kekhalifahan, Allah SWT.
Memerintahkan manusia membangun alam ini sesuai dengan tujuan yang dikehendaki
Nya.
uqèd Nä.r't±Rr& z`ÏiB ÇÚöF{$# óOä.tyJ÷ètGó$#ur $pkÏù çnrãÏÿøótFó$$sù ¢OèO (#þqç/qè? Ïmøs9Î) 4
“… Dia
(Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan memerintahkan kamu
memakmurkannya…”(Q.S. Hud [11]:61)
Dalam
ayat diatas menjelaskan bahwa fungsi manusia sebagai khalifah Allah untuk
memakmurkan bumi (alam yang paling dekat dengan manusia) dengan jalan amal
terbaik atau karya kreatif.[11]
Hubungan
manusia dengan alam atau lingkungan hidup atau hubungan dengan sesamanya, bukan
merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dengan
hambanya, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Karena
kemampuan manusia dalam mengelolah bukanlah akibat ketentuan yang dimilikinya,
tetapi akibat anugerah dari Allah SWT.[12]
Kekhalifahan juga mengandung arti
“bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya”.Dalam pandsngan
agama, seseorang tidak dibenarkan memetik buah sebelum siap untuk
dimanfaatkannya dan bunga sebelum berkembang, karena hal ini berarti tidak
memberi kesempatan kepada makhluk ini untuk mencapai tujuan penciptaannya. Sebagaimana
terdapat dalam surat Al Ahqof 46 ayat: 3
$tB $oYø)n=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur !$yJßgoYøt/ wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 9@y_r&ur wK|¡B 4 tûïÏ%©!$#ur (#rãxÿx. !$£Jtã (#râÉRé& tbqàÊÌ÷èãB ÇÌÈ
“Kami tidak ciptakan langit dan bumi serta apa
yang berada diantara keduanya kecuali dengan (tujuan) yang hak dan dalam
waktu yang ditentukan (QS. Al Ahqof 46:3)
Tugas manusia sebagai kholifah tidak
hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, kelompok atau bangsa dan
sejenisnya, tetapi ia harus berpikir dan bersikap untuk kemaslahatan semua
pihak. Ia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku
sewenang-wenang terhadapnya, karena sesungguhnya yang mampu menundukkan alam hanyalah
Allah, manusia tidak mempunyai kemampuan sedikitpun kecuali kemampuan yang dianugerahkan kepadanya.
Kesadaran manusia dalam perannya sebagai khalifah yang
telah ditunjuk oleh Allah di muka bumi seyogyanya mulai bertindak arif dan
bijaksana dalam mengelola kekayaan alam dan bumi sehingga terhindar dari
kerusakan. Dan kelestarian bumi dan lingkungan
hidup tetap terjaga.
Menurut
pandangan agama
manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses
yang sedang tumbuh, dan terhadap apa saja yang ada. Etika
agama terhadap alam mengantar
manusia untuk bertanggung jawab sehingga ia tidak
melakukan perusakan dengan demikian, dengan
kemampuan yang dimilikinya, manusia tidak hanya
dituntut dapat menyesuaikan diri. Akan tetapi, manusia juga
dituntut untuk dapat memanfaatkan potensi lingkungan untuk
lebih mengembangkan kualitas kehidupannya.
Untuk
itulah maka setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai
perusakan pada diri manusia itu sendiri. Bukankah Allah telah mengecam
sikap perusakan di bumi? Sehingga sudah
sepantasnya Al Qur’an dan hadits dijadikan landasan berpijak guna tercapainya
kelestarian lingkungan.[13]
2.
Etika terhadap lingkungan dalam perspektif
ajaran Islam
Sejak akhir abad ke-17 degradasi alam
diintensifikasikan oleh para ilmuwan menjadi suatu pengetahuan yang mekanistis.
Alam dilihat sebagai mesin yang mempunyai sistem teratur, dan bagian-bagiannya
dimaksudkan sebagai hokum alam yang dideduksi lewat pemikiran rasional dan
diverifikasikan dengan eksperimen. Alam tidak lagi dilihat sebagai organisme
hidup, tetapi hanyalah sebuah objek yang dapat diekspolitasi dan
dimanipulasikan. Pandangan positivistik-mekanistik ini mendorong timbulnya
penemuan-penemuan teknologi modern yang semakin maju. Kendati demikian,
perkembangan teknologi dengan hasil-hasilnya semakin memperkuat posisi manusia
dalam kedudukannya sebagai “sang penguasa” alam semesta dan berbagai kekayaan
alam yang dikandungnya. Sikap superior manusia terhadap alam memberikan banyak
peluang bagi manusia untuk merusak tatanan lingkungan hidupnya.[14]
Menurut Muhammad Idris ada tiga tahapan dalam
beragama secara tuntas dapat menjadi sebuah landasan etika lingkungan dalam
perspektif Islam.
Pertama ta`abbud.
Bahwa menjaga lingkungan merupakan impelementasi kepatuhan kepada Allah. Karena
menjaga lingkungan adalah bagian dari amanah manusia sebagai khalifah.
Bahkan dalam ilmu fiqih menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan
berstaus hukum wajib karena perintahnya jelasa baik dalam Al Qur`an maupun
sabda Rasulullah Saw. Menurut Ali Yafie masalah lingkungan dalam ilmu fiqih
masuk dalam bab jinayat (pidana) sehingga jika ada orang yang melakukan
pengrusakan terhadap lingkungan dapat dikenakan sangsi atau hukuman.
Kedua, ta`aqquli.
Perintah menjaga lingkungan secara logika dan akal pikiran memiliki tujuan yang
sangat dapat difahami. Lingkungan adalah tempat tinggal dan tempat hidup makhluk
hidup. Lingkungan alam telah didesain sedemikian rupa oleh Allah dengan
keseimbangan dan keserasiaanya serta saling keterkaitan satu sama lain. Apabila
ada ketidak seimbangan atau kerusakan yang dilakukan manusia. Maka akan
menimbulkan bencana yang bukan hanya akan menimpa manusia itu sendiri tetapi
semua makhluk yang tinggal dan hidup di tempat tersebut akan binasa.
Ketiga, takhalluq.
Menjaga lingkungan harus menjadi akhlak, tabi`at dan kebiasaan setiap orang.
Karena menjaga lingkungan ini menjdi sangat mudah dan sangat indah manakala
bersumber dari kebiasaan atau keseharian setiap manusia sehingga keseimbangan
dan dan kelestarian alam akan terjadi dengan dengan sendirinya tanpa harus ada
ancaman hukuman dan sebab-sebab lain dengan iming-imning tertentu.[15]
3.
Pemeliharaan Dan Pemanfaatan Lingkungan Dalam Islam
Masalah lingkungan hidup adalah masalah global dunia. Musibah
pencemaran udara dan air bukan hanya akan menimpa satu bangsa atau negara,
tetapi juga akan menimpa Negara tetangga sekitar. Pencemaran di kota lambat
laun juga akan sampai ke desa. Hujan asam akan menyebar melampaui batas-batas negara.
Kebakaran hutan di pedalaman Kalimantan nyatanya juga mengganggu jalur laut dan
udara, bahkan darat, yang pada akhirnya juga mengganggu tetangga sekitar.
Polusi udara di kota memaksa orang membangun villa di daerah dataran tinggi,
yang pada gilirannya akan merusak sumber mata air di pegunungan dan kembali
lagi mengganggu banyak orang, namun anehnya, begitu lingkungan hidup itu ditarik
ke permukaan, laju tingkat pencemaran udara dan air bukannya berkurang,
melainkan malah bertambahtambah.
Kebakaran hutan semakin merajalela, penggunaan bahan bakar terus
meningkat cepat berbarengan dengan laju bertambahnya jumlah kendaraan bermotor
serta mesin-mesin industri, dan tingkat panas bumi pun semakin naik saja.
Peresmian zona industri baru di berbagai kota terus bertambah luas, bukan bertambah
surut.[16]
Jika kita membaca kitab suci Al Qur'an dengan teliti, Menurut Amin
Abdullah, kita akan mempunyai pandangan dasar yang sangat mencolok bahwa
ternyata Al Qur'an tidak semata-mata berbicara tentang hal-hal yang bersifat metafisis–eskatologis,
tetapi dia juga berbicara panjang lebar tentang alam semesta yang dihuni oleh
manusia serta makhluk-makhluk lainnya sekarang ini.[17]
Al Qur'an merupakan hudan li al-nas (petunjuk bagi manusia),
bukan hudan li Allah (petunjuk bagi Allah). Sudah barang tentu, bukan
hanya petunjuk dalam arti metafisis–eskatologis, melainkan juga menyangkut
masalah-masalah praktis kehidupan manusia di alam dunia sekarang ini, termasuk
didalamnya patokan dasar tentang bagaimana manusia menyantuni alam semesta dan lingkungan
sekitarnya.
Beberapa ayat Al Qur'an yang berkaitan dengan pelestarian
lingkungan hidup.
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya) mereka berkata, “Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan siasia. Maha suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa api neraka…” (Ali
Imran : 190-191).
Pengertian yang terkandung dalam ilmu ekologi, memang tidak
ada makhluk yang sia-sia diciptakan oleh. Khaliknya. Kehidupan makhluk di muka
bumi, baik tumbuh-tumbuhan, binatang, maupun manusia, saling terkait dalam satu
keutuhan lingkungan hidup. Apabila terjadi gangguan terhadap lingkungan hidup
itu secara keseluruhan.
Hutan yang ada jauh di hulu sungai, apabila dibabat habis secara
sewenang-wenang, akan menimbulkan akibat berupa hilangnya kesuburan tanah di
gunung itu, dan mengakibatkan pula banjir bandang di musim hujan dan kekurangan
air di musim kemarau, yang selanjutnya mengganggu kehidupan padi di sawahsawah dan
akhirnya menimbulkan paceklik bagi manusia dan binatang yang hidup di dalam
aliran sungai itu, dengan demikian semua makhluk yang hidup disitu mempunyai
satu ikatan kehidupan.
Al Qur’an juga dengan tegas melarang perusakan di bumi dan supaya
manusia menjaga keseimbangan alam.
Artinya: “ Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan (Al Qhashash 77).
Al Qur'an menjelaskan, Tuhan menciptakan segala sesuatu tidak
sia-sia dan melarang manusia untuk berbuat kerusakan di bumi, hal ini
mengandung makna keseimbangan.
Keseimbangan yang diciptakan Allah SWT dalam suatu lingkungan hidup
akan terus berlangsung, dan baru akan terganggu apabila terjadi suatu keadaan
luar biasa. Keadaan luar biasa itu terjadi dalam bentuk bencana alam. Bencana
alam itu ada yang di luar penguasaan manusia, seperti gempa tektonik, gempa
yang disebabkan terjadinya pergeseran kerak bumi. Al Qur'an dalam surat Ar Ruum
ayat 41 telah menjelaskan, kebanyakan bencana alam di planet ini disebabkan
oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab (lihat bab I hlm. 3).
Masih banyak lagi ayat Al Qur'an yang menerangkan lingkungan hidup.
Ayat-ayat tersebut di atas, barangkali memang belum begitu gamblang artinya
pada saat itu diturunkan 14 abad yang lalu. Akan tetapi, ayat-ayat tersebut
ternyata sangat relevan untuk saat ini, ketika orang sedang kebingungan mencari
cara bagaimana menanggulangi masalah pencemaran lingkungan hidup yang kian hari
dirasakan semakin bertambah-tambah.
Amanat yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di bumi
hendaknya diwujudkan sedalam tindakan memelihara, mengelola, mengembangkan dan
memanfaatkan kekayaan alam dengan sebaik-baiknya.[18]
Dorongan kepada manusia untuk pemeliharaan lingkungan hidup
terdapat dalam perintah Allah yang telah Kesalehan terhadap alam dalam bentuk
etika tersebut, dalam Islam dianggap sebagai manifestasi rasa keberimanan
manusia kepada Allah SWT. Muaranya adalah bahwa manusia dikatakan sebagai orang
yang beriman manakala lingkungannya terjaga dengan baik.
4.
Islam Sebagai
Motivator Pergerakan Atas Eksitensi Lingkungan Hidup
Agama
Islam adalah suatu agama yang dipeluk oleh sejumlah besar penduduk bumi. Dapat
dibayangkan betapa besar dampak kebaikanya terhadap lingkungan hidup jika
seluruh penganut Islam memiliki kesadaran yang sama untuk memberikan perhatian
yang serius terhadap lingkungan hidup. Maka dari itu, kiranya saat ini para
tokoh Islam sangat perlu menggali lebih jauh unsur-unsur keagamaan mereka,
entah itu unsur teologis, fikih atau unsur-unsur ajaran yang lain agar dapat
membantu atau memotivasi para penganut yang lain untuk semakin mencintai dan
bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Untuk mewujudkan hal tersebut bisa
direpresentasikan melalui persuasife methode, yaitu dengan :
a.
Pendekatan
Teologis
Disadari
bahwa al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam (kosmogoni) dan
lebih spesifik lagi lingkungan hidup. Namun, bukan berarti bahwa al-Qur’an
tidak memberikan perhatian yang serius terhadap lingkungan hidup. Mungkin dengan
alasan bahwa pada saat al-Qur’an diturunkan masalah lingkungan hidup belumlah
menjadi masalah yang mendesak, masalah minimnya al-Qura’an dalam membahas
masalah alam dapat dijawab. Sekarang, kiranya yang penting dibicarakan bukanlah
mempermasalah keminiman al-Qur’an yang membicarakan tetang alam tetapi justru
sebaliknya bagaimana menggunakan sedikit teks atau ajaran-ajaran di dalam
al-Qur’an yang membicarakan tentang alam tersebut dan mengembangkan dasar-dasar
teologis atau pun mungkin juga fikih dengan tujuan menyediakan perspektif baru
bagi umat Islam agar semakin peduli terhadap alam dan lingkungan hidup.
Dalam
bagian tertentu al-Qur’an dikatakan bahwa Allah adalah pemilik yang mutlak dari
alam semesta dan penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal disamping
pemeliharanya yang maha pengasih. Karena kekuasaan-Nya yang mutlak maka jika
Allah hendak menciptkan langit dan bumi, maka Dia berkata kepada keduanya:
“Jadilah kalian, baik dengan suka maupun dengan terpaksa!”(41: 11). Secara
implisit, teks yang baru saja disebutkan di atas dalam arti tertentu dapat
diangkat menjadi suatu dasar teologi bagaimana Allah memperlakukan alam. Dalam
teks tersebut dikatakan bahwa “Allah adalah pemilik dari alam semesta dan
penguasa alam semesta yang tak dapat disangkal disamping pemeliharanya yang
maha pengasih”. Melalaui teks itu ditunjukkan bahwa Allah sendiri sebagai
pencipta alam semesta begitu mengasihi apa yang Ia ciptakan. Jika makna
ungkapan itu ditarik agak luas, maka sangat mungkin sekali untuk dikatakan bahwa
semestinya manusia dan alam, sebagai sama-sama bagian dari alam semesta, saling
kasih mengasihi seperti Allah sendiri yang juga mengasihi mereka sebagai
ciptaan-Nya.
Selanjutnya,
di dalam pemahaman mengenai konsep-konsep kosmologis al-Qur’an tertentu, ciptaan
Allah memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Ciptaan Allah di seluruh jagad raya
ini secara jelas disebutkan sebagai “ayat-ayat” Allah, misalnya dalam Surah’Ali
Imran 190 disebutkan bahwa; Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi,
serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi
orang-orang yang berakal (dapat menalar).[19]
Penghargaan
yang cukup tinggi terhadap ciptaan Allah atau unsur-unsur alam terdapat juga
dalam pandangan berberapa tokoh Islam, misalnya adalah al-Jahiz ketika membahas
persoalan penafsiran mataforis fakta-fakta tekstual al-Qur’an dalam bukunya
al-Hayawan. Di sana dikatakan bahwa ada orang-orang yang menduga bahwa batu
merupakan makhluk berakal, berdasarkan Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah 74”…dan
di antaranya (di antara batu) sungguh ada yang meluncur karena takut kepada
Allah…,” sebagaimana ada yang menduga bahwa ada nabi-nabi untuk lebah-lebah.
Berdasarkan QS. al-Nahl: 68, “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah”.
Beberapa
petikan ayat-ayat al-Qur’an yang dikemukakan di atas kiranya semakin memperkuat
bukti bahwa ada cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang dapat diangkat dan
dijadikan semacam pedoman teologis guna membangun atau memperkokoh pendapat
bahwa al-Qur’an secara langsung memberikan tempat yang penting terhadap ciptaan
Allah dan unsur-unsur alam. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan
pendapat-pendapat di atas rasanya tidak ada cukup alasan yang kuat bagi manusia
untuk seenaknya melakukan eksploitasi terhadap alam dan ciptaan Allah yang
lain. Sebaliknya, diharapkan akan muncul kesadaran dan kehendak mereka untuk
menghargai alam dan ciptaan lain sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan cukup
tinggi bahkan dekat dengan Allah.
b.
Pendekatan
Fikih
Dalam
pendekatan teologis di atas, alam dan unsur-unsur ciptaan lain coba dipahami
sebagai ciptaan Allah yang memiliki kedekatan sedemikian rupa dengan
pencipta-Nya. Pemahaman tersebut sudah sangat bagus, akan tetapi rasanya masih
kurang memadai. Artinya, rasanya perlu ada pendekatan lain yang lebih kuat
untuk mengangkat ke permukaan persoalan lingkungan hidup serta bagaimana cara
menanganinya. Pendekatan lain yang dimaksud adalah pendekatan fikih.
Mengapa
pendekatan fikih perlu dalam membahas masalah lingkungan hidup, pertama-tama
karena fikih yang berarti juga sebagai sistem pemikiran hukum Islam,[20]dapat
memberikan kepastian bagi mereka yang meyakininya. Dengan adanya kepastian
tersebut orang atau umat Islam menjadi tidak ragu-ragu lagi bahwa masalah
lingkungan hidup adalah masalah yang memang penting untuk diperhatikan.
Selanjutnya, kepastian tersebut dapat diharapkan menjadi suatu sumber motivasi
yang sangat kuat bagi umat Islam khususnya untuk semakin peduli terhdap
lingkungan hidup. Dalam konteks hukum Islam, pelestarian lingkungan hidup, dan
tanggung jawab manusia terhadap alam banyak dibicarakan. Hanya saja, dalam
pelbagai tafsir dan fikih, isu-isu lingkungan hidup hanya disinggung dalam
konteks generik dan belum spesifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki
kekuatan. Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam beberapa bab
yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena
konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum menghadapi krisis
lingkungan sebagaimana terjadi sekarang ini
Melihat
situasi modern saat ini yang dengan jelas-jelas ditandai oleh kerusakan
lingkungan hidup yang begitu dahsyat, rasanya fikih tentang lingkungan hidup
perlu dikembangkan terus-menerus agar dapat menjawab kebutuhan jaman yang
semakin menekankan pentingnya perlindungan terhadap lingkungan hidup. Dengan
kata lain, pengembangan fikih lingkungan hidup kini bisa menjadi suatu pilihan
penting di tengah krisis-krisis ekologis yang secara sistematis disebabkan oleh
keserakahan manusia dan kecerobohan penggunaan teknologi.
Islam
sebagai agama yang secara organik memperhatikan manusia dan lingkungannya
memiliki potensi amat besar untuk melindungi bumi. Dalam al-Quran sendiri kata
‘bumi’ (ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang
beragam. Di bagian lain komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan
hidup juga banyak disebutkan dalam alQur’an dan hadis. Sebagai contoh, manusia
sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai khalifah terdapat dalam QS 2:30;
segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia QS
45:13; dan sebagainya. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam
semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannya amat bergantung pada
moralitas manusia sebagai khalifah di bumi.
Dalam
kerangka pemikiran tersebut di atas, maka melindungi dan merawat lingkungan
hidup menjadi semakin jelas sebagai suatu kewajiban setiap Muslim. Oleh karena
itu, rasanya sangat perlu sekali gagasan yang telah terungkap di atas
diintegrasikan dan disosialisaikan kepada segenap umat Muslim dan selanjutnya
pada masyarakat luas dengan cara yang baru. Dalam hal ini, di Indonesia
khususnya, para ulama memiliki peran penting untuk mewujudkan gagasan-gagasa
yang telah dikemukakan di atas. Sebagai pribadi yang diberi label penerus para
Nabi, ulama mempunyai kewajiban untuk memberikan sumbangsih riil bagi pembumian
konsep fikih lingkungan hidup. Ulama harus meyakinkan publik bahwa
tanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup menjadi “beban” setiap Muslim,
bukan hanya institusi atau lembaga. Terlebih dalam konteks keindonesiaan,
pembumian konsep fikih lingkungan hidup terasa menjadi demikian mendesak
mengingat maraknya bencana alam yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan
hidup.
Pandangan
teologis dan fikih tentang lingkungan hidup yang telah diurakan di atas
diyakini akan sangat bermanfaat untuk menanggapi krisis lingkungan hidup dan
menyediakan landasan dasar motivasi bagi umat Muslim yang hendak mewujudkan
perhatian dan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup. Dalam konteks negara
Indonesia, yang 80 % penduduknya adalah umat Muslim, tanggungjawab, kepedulian
dan perhatian terhadap lingkungan hidup tersebut pastilah akan memiliki dampak
yang luar biasa besarnya bagi terwujudnya keseimbangan dan kelestarian
lingkungan hidup.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas dapat penulis simpulkan bahwa kerusakan
lingkungan hidup yang saat ini terjadi adalah akibat ulah manusia sendiri. Dan
yang menjadi persoalan sekarang adalah bahwa kesadaran untuk memperhatikan ,
merawat dan melestarikan lingkungan hidup belum sejalan dengan kerusakan yang
terjadi.Dalam keadaan seperti ini peran agama terutama agama Islam menjadi sangat penting
karena:
1. Lingkungan Hidup adalah semua benda dan kondisi, termasuk
manusia dan tingkah lakunya yang ada dalam ruang yang kita tempati yang
mempengaruhi kelangsungan kehidupan serta mensejahterakan manusia dan
jasad-jasad hidup lainnya. Suatu lingkungan hidup yang dapat
mendukung kualitas hidup yang baik, dikatakan mempunyai kualitas yang baik pula
pada lingkungannya. Konsep kualitas hidup adalah derajat terpenuhinya kebutuhan
dasar manusia. Makin baik kebutuhan dasar itu dapat dipenuhi oleh lingkungan
hidup, makin tinggi pula kualitas lingkungan hidup itu.
2.
Sebagian penduduk bumi adalah orang-orang yang beragama. Dan
sebagian besar besar adalah penganut agama Islam. Maka melalui agama dapat
dilahirkan nilai – nilai positif terhadap alam dan lingkungan hidup yang diharapkan dapat membantu
kesadaran banyak orang (paling tidak bagi mereka yang beragama) atas krisis
yang sekarang ada.
Sehingga Agama menjadi motivator
atau agama dapat menjadi media yang strategis guna membangun semangat untuk
peduli terhadap lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah,
Mujiono. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an. Cet I; Jakarta:
Paramadina, 2001
Alex
MA, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Suarabaya, Karya Harapan,Tanpa
tahun.
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. edisi III; Jakarta:
Balai Pustaka, 2001
Fazlur
Rahman,Tema pokok Al Qur,an, diterjemahkan dari Mayor Themes of Al
qur’an terbitan Bibliotheca Islamica,Chicago, 1980, Bandung, Penerbit PUSTAKA,
1983
Ghazali,
Bahri. Lingkungan Hidup dalam Pemahaman Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1999
M.Thalhah,
Fiqih ekologi, yogjakarta, Total Media, 2008
Qardhawi,
Yusuf. Ri’ayah al-Biah fi al-Syari’ah al-Islam diterjemahkan oleh
Abdullah Hakam Shah dengan judul “Islam Agama Ramah Lingkungan”. Cet I;
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2002
Riyadi,
Slamet. Ekologi Ilmu Lingkungan Dasar-Dasar dan Pengertiannya. Surabaya:
Usaha Nasional, 1998
Shihab,
Quraish. Membumikan Al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung, Mizan,1994
[1]
Ilyas Asaad, “Teologi Lingkungan”, (Yogyakarta: Kementerian Lingkungan
Hidup, Dan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2011), hal. 12
[4] Ilyas Asaad, “Teologi
Lingkungan”, (Yogyakarta: Kementerian Lingkungan Hidup, Dan Majelis
Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2011), hal. 12
[5] Adnan Harahap,
dkk, Islam dan Lingkungan Hidup. (Jakarta: Cv. Fatma Press, 1997). hal.
25-26
[6] Soerjani dalam , Islam dan Lingkungan Hidup. (Jakarta:
Cv. Fatma Press, 1997). hal. 26
[7] Endang
Syaifuddin Anshari dalam “ Islam untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Lingkungan Hidup”, Jakarta:Litbang Agama,1984. hal.35
[9] Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, 2007, edisi
baru. Cet. 1, hal. 246.
[10] Mujiono
Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:
Paramadina, 2001, hlm. 205.
[11] Endang
Syaifuddin Anshari dalam “ Islam untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Lingkungan Hidup”, Jakarta:Litbang Agama,1984. hal.35
[12] Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung, Mizan,1994), hal. 295.
[13] Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, hla. 295-297.
[14] Muhammad
Idrus, “Islam dan Etika Lingkungan”, www.mohidrus.wordpress.com, dalam
Jurnal Etika Islam Dalam Mengelola Lingkungan Hidup
diakses tanggal 1 Juni 2015.
[15] Ibid
[16]
Otto Soemarwoto, Indonesia Dalam Kancah Isu Lingkungan Global, Gramedia,
Jakarta, 1991, hlm. 1
[17] Untuk Hal ini
dapat dilihat dalam Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al Qur’an, terj. Anas
Mahyudin, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 95-116
[18]
Yusuf Al Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, Pustaka al Kautsar,
Jakarta,
2001,hlm.81
[19] Budhy Munawar-Rachman (ed), Kotekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, Penerbit Paramadina: Jakarta, 1995, hlm. 59.
[20] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar